______---Assalamualaikum sahabat ku........Selamat datang di " Kantie Baselo " .........Jika kau memerlukan nikmat dunia, cukuplah Islam sebagai nikmatmu. Jika kau memerlukan keasyikan, cukuplah taat pada Allah sebagai keasyikanmu. Dan jika kau memerlukan pengajaran, cukuplah maut itu sebagai pengajaran bagimu (Ali ibn Abi Thalib), semoga bermanfaat---_______

Monday, February 27, 2012

Dinamika Pemuda Dalam Pemerintahan Nagari

Posted by Dovi Eka Wiranata |




Sebenarnya saya belum begitu faham dengan kebudayaan dan sistem pemerintahan nagari di minangkabau, mungkin alasan yang lebaaay kalieee (hehehehe), saya bukan dilahirkan dari lingkungan tersebut, suku asli saya adalah melayu Jambi, namun saya akan sedikit beragument dalam tulisan ini tentang bagaimana "Dinamika Pemuda Dalam Pemerintahan Nagari", Sebelumnya terima kasih saya ucapkan kepada Dosen saya Buk Rika yang telah memberi saya pengetahuan dan pembelajaran dalam studi Sistem Pemerintahan Desa dan Nagari, Ilmu Politik-Unand...
 ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dalam konteks lokal masyarakat minangkabau  fungsi dan peran Generasi Muda diakui dan dijunjung tinggi dalam adat. Eksistensi ini Bahkan di ungkapkan dalam pepatah adat minangkabau yang berbunyi “Nan Mudo Pambimbiang Dunia Ancang[1]. Namun sangat disayangkan belakangan ini eksistensi pemuda di Minangkabau dikebiri dengan pandangan negatif yang tertanam ditengah-tengah masyarakat. Dalam konteks daerah Sumatera Barat yang mayoritas masayarakat dengan suku minangkabau yang idelanya memiliki pemuda dengan semangat yang tinggi, namun sangat disayangkan semua harapan tersebut berbanding terbalik. Selain itu ada yang menarik untuk kita kaji.
 
Pertanyaannya mengapa semasa pemerintahan desa kegiatan kepemudaan begitu serasa hidup, banyak kegiatan yang bisa dilakukan oleh pemuda didesa-desa. Kegiatan yang  biasanya diangkatkan oleh sebuah organisasi pemuda yang berkembang dimasanya yaitu Karang Taruna[2]. Namun sangat disayangnya disaat pemerintahan disumatera barat kembali kesarangnya yaitu babaliak kanagari[3], yang menunjukkan ciri khas system pemerintahan minangkabau. Dalam system hidup bernagari idealnya tentu memegang teguh nilai- nilai yang diwariskan oleh nenek moyang dahulunya.

Pengakuan adat tentang eksistensi pemuda dengan system pemerintahan nagari ternyata tidak terlalalu dihiraukan. Buktinya semenjak Sumatera Barat baliak ka nagari gerakan organisasi pemuda seakan-akan tidak ada. Lihat saja kegiatan pemuda beberapa tahun belakangan ini seolah-olah tidak ada. Yang ada hanya sekelompok pemuda yang berjoget di iringi orgentunggal setiap tahunnya. Tidak lagi terlihat pemuda kasak kusuk latihan randai[4], tari minang, latihan band, begitu juga dengan organisasinya karang taruna atau organisasi sejenisnya tidak lagi melihatkan wujudnya.

 Dikampung  tidak ada lagi rapat pemuda terlihat dimasjid atau dibalai pemuda, yang ada hanya kedai-kedai yang diisi sekelompok pemuda nongkrong di lapau-lapau dengan segelas kopi dan kartu koa, domino ditangannya.

Kenapa hal ini terjadi, jawabannya mudah saja pemerintahan nagari tidak lagi melihat potensi pemuda. hampir tidak ada lagi pemuda yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan ditingkat nagari. Pemuda hanya dijadikan objek eksprimen penguasa dan siap dijadikan kambing hitam atas ketidakberdayaan mengurus masyarakat. tidak ada lagi  fasilitas dinagari teruntuk pemuda. Dari hal ini dapat disimpulkan bahawa pemerintahan nagari tidak lagi menghiraukan amanat leluhur minangkabau “Nan Mudo Pambimbiang , Dunia Ancang-ancang dalam nagari” Ini adalah kesalahan fatal pertama. Selain itu anggapan bahwa pemuda harus dibina, dan dianggap negerasi pengacau harus segera dihilangkan. Penulis ingin menegaskan, pemuda yang ada di nagari merupakan potensi yang sangat luar biasa jika diberi kebebasan untuk ber-ekpresi dan tentunya harus difasilitasi.

Semenjak pemerintahan kembali kenagari pemuda dikampung seolah-olah kebingungan apa yang mau diperbuatnya. Desa-desa lama digabungkan kedalam satu nagari dan tentunya sistem kepemudaan yang telah lama ada harus berubah. Dalam perubahan system ini ternyata ada salah satu sub-system masyarakat yang terlupakan untuk diperbaruhi dengan serius yaitu kepemudaan. Sehingga hal ini membuat koordinasi pemuda dinagari menjadi tidak jelas. Hal ini menurut penulis merupakan pemicu hilangnya aktivitas pemuda dalam konteks nagari diminangkabau.

Berdasarkan fenomena yang tergambar dari kasus diatas. Terjawab sudah kenapa pemuda nagari minim kegiatan karena memang sangat sedikit peluang yang diberikan pada generasi muda. Selain itu banyak fakta yang menunjukkan bahwa keinginan pemuda untuk kembali beraktivitas dinagari dalam rangka membangun nagari sangatlah tinggi, namun kenyataannya mereka tidak mendapat keterbukaan ruang untuk bergerak.


[1] ancang dalam nagari yang artinya, Pemuda harapan bangsa ditangan pemuda terletak maju mundurnya bangsa dimasa depan.
[2] Karang Taruna adalah Organisasi Sosial wadah pengembangan generasi muda yang tumbuh dan berkembang atas dasar kesadaran dan tanggung jawab sosial dari, oleh dan untuk masyarakat terutama generasi muda di wilayah desa/ kelurahan dan terutama bergerak di bidang usaha kesejahteraan sosial
[3] Nagari berasal dari kata Memagari atau dipagari (Arsitektur Minangkabau, Mangunwijaya, Y.B, 1988, Wasthu Citra, Gramedia, Jakarta)
Nagari adalah wilayah atau sekumpulan kampung yang dipimpin atau dikepalai oleh satu penghulu atau disebut juga dengan distrik. Pengertian distrik disini adalah bagian kota atau negara yang dibagi untuk tujuan tertentu atau disebut juga wilayah.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan Poerdawarminta pengertian Nagari adalah wilayah atau sekumpulan kampung yang dipimpin atau dikepalai oleh satu penghulu atau disebut juga dengan distrik. Pengertian distrik disini adalah bagian kota atau negara yang dibagi untuk tujuan tertentu atau disebut juga wilayah.
[4] tarian yg dibawakan oleh sekelompok orang yg berkeliling membentuk lingkaran sambil bernyanyi dan bertepuk tangan, merupakan medium cerita "kaba";

Sunday, February 26, 2012

Adat Kerinci

Posted by Dovi Eka Wiranata |

ADAT ISTIADAT


Wujud kebudayaan merupakan sistem nilai budaya berisikan ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan aturan-aturan yang berlaku di dalam masyarakat pendukung di mana kebudayaan itu tumbuh dan berkembang. Oleh masyarakat pendukungnya, sistem nilai budaya itu dihormati, dijunjung tinggi dan diyakini kebenarannya, mengikat bahkan ada sanksi bagi pelanggarnya. Nilai budaya ini bersifat abstrak karena lokasinya ada di dalam alam pikir manusia pendukungnya. Istilah lain untuk menyebut sistem nilai budaya ini adalah adat atau adat-istiadat.

Adat adalah sesuatu yang menjadi kebiasaan masyarakat lokal atau setempat, yang telah berlangsung lama dan diikuti oleh sebagian besar masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu, berbeda masyarakat maka berbeda pula adatnya. Berbicara mengenai adat maka konteksnya adalah keragaman, baik keragaman suku, keragaman agama, maupun sosial budaya. Agar adat-istiadat dapat berfungsi dalam terciptanya ketertiban, kerukunan, kedamaian, kesetiakawanan sosial, serta kesejahteraan sosial masyarakat, maka pelaksanaannya telah diatur dan diselaraskan oleh hukum adat. Kaidah-kaidah yang mengandung pokok adat adalah sloko adat yang sering disebut sebagai petatah-petitih adat. Sloko adat paling kurang memiliki 4 (empat) fungsi utama:
1. sebagai kesusasteraan yang bernilai tinggi
2. sebagai alat masyarakat adat dalam menjaga dan melaksanakan ketertiban umum
3. sebagai pedoman dasar (literatur) adat
4. sebagai referensi adat masyarakat lokal

MASALAH

Jauh, sebelum masa berlakunya 'Undang-Undang No. 5 Tahun 1974' dan 'Undang-Undang No. 5 Tahun 1979', di seluruh wilayah Indonesia telah berlaku suatu bentuk otonomi asli menurut adat-istiadat masyarakat lokal. Pada masa itu, adat-istiadat menjadi acuan dasar dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan sosial politik. Dengan kata lain, adat-istiadat dan hukum adat dipandang mampu menciptakan ketertiban, kerukunan, kedamaian, dan kesetiakawanan sosial masyarakat.

Di daerah Jambi, misalnya, otonomi asli itu terwujud dalam bentuk pemerintahan marga, 'mendapo' (di Kerinci), kampung dan dusun, yang berlaku di seluruh wilayah Keresidenan Jambi. Di sinilah kedudukan nilai budaya masyarakat lokal (adat) mendapat tempat terhormat di dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Pada kala itu, pimpinan pemerintahan menjalankan roda pemerintahannya berdasarkan atas adat-istiadat yang berlaku pada masyarakat adat (lokal).

Kemudian terjadi perubahan di mana pemerintahan Orde Lama berganti dengan Orde Baru sehingga tatanan yang lama berganti dengan tatanan yang baru pula. Pemerintah Orde Baru membawa perubahan yang besar dengan menerapkan beberapa undang-undang antara lain sebagai berikut:

1) UUPK Nomor 5/Tahun 1967 dan PP Nomor 21 Tahun 1970, yang mengundang pengusaha Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dari Jakarta.
2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang 'Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah'.
3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang 'Pemerintahan Desa dan Kelurahan'.

Kehadiran perusahaan kayu ini, pada mulanya, memang menjanjikan kehidupan baru bagi masyarakat dalam menunjang ekonominya yang sedang menurun. Pada masa awal dekade tahun 1970-an, masyarakat Jambi sedang menghadapi kesulitan ekonomi karena harga karet turun drastis. Oleh karena itulah maka pada dekade tahun 1970-an hutan-hutan di Jambi mulai dieksploitasi secara besar-besaran. Sebagian besar para pelopor eksploitasi hutan-hutan tersebut adalah pengusaha pendatang dari Jakarta yang memang sengaja diundang oleh pemerintah pusat.

Dari sisi ekonomi, kehadiran pengusaha pemegang HPH dipandang mampu menopang percepatan roda perekonomian, akan tapi bagi masyarakat hukum adat kehadiran HPH ini dipandang sebagai awal dari penghapusan hak masyarakat adat. Menghadapi kenyataan ini masyarakat adat tidak dapat berbuat apa-apa karena kuatnya sentralisasi. Akibatnya, masyarakat adat pun semakin lama semakin kehilangan hak adatnya untuk mengelola dan mengawasi sumber daya hutan miliknya, yang berlanjut dengan kehilangan sumber pendapatan beserta pajaknya. Sementara itu, pihak pengusaha HPH merasa tidak perlu lagi turut membangun masyarakat lokal, karena pihak pengusaha HPH telah membayar upeti atau pun royalti kepada pemerintah pusat. Oleh karena itu, pengusaha HPH secara leluasa melakukan penebangan hutan tanpa ada pihak lokal yang dapat mengontrolnya karena pihak masyarakat adat telah kehilangan wibawa dan legitimasinya.

Intervensi pemerintah pusat ke daerah masih dilanjutkan lagi dengan cara yang sistematis melalui penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang 'Pemerintahan Desa dan Kelurahan' di seluruh Indonesia. Berlakunya undang-undang ini di daerah Jambi diatur melalui Peraturan Daerah No. 8 Tahun 1981. Pelaksanaan Undang-Undang No.5 Tahun 1979 pada dasarnya menganut tiga prinsip umum, yakni (1) pola keseragaman; (2) tidak mengatur desa dari aspek budaya atau adatnya; serta (3) tidak mengakui prinsip otonomi daerah. Oleh karena itu, pelaksanaan Undang Undang No.5 Tahun 1979 dipandang sebagai penghapusan tahap kedua hak-hak masyarakat adat.

Namun demikian fakta sejarah menunjukan bahwa meskipun Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 telah diberlakukan di daerah Jambi dan secara de facto wilayah dan pemerintahan marga, 'mendapo', kampung maupun dusun manjadi hapus, akan tetapi secara yuridis formal eksistensi marga, mendapo, kampung dan dusun masih ada. Hal ini karena penghapusan marga, 'mendapo', kampung dan dusun tersebut sampai saat ini belum pernah diatur oleh ketetapan perundang-undangan yang berlaku, atau pun semacam Peraturan Daerah.

Pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 dengan menerapkan pola keseragaman sangat menguntungkan dan memperkuat posisi pemerintah pusat, misalnya antara lain adalah sebagai berikut.
1. Melalui kebijakan pemerintah pusat (melalui departemen) maka potensi sumber daya alam seperti tambang, laut, hutan, dan tanah yang berada di daerah dikuasai dan dikelola sepenuhnya oleh/melalui pemerintah pusat.
2. Karena pemerintah daerah tidak memiliki pendapatan asli daerah yang memadai maka pemerintah daerah pun akan selalu tergantung pada pemerintah pusat, terutama mengenai anggaran pembangunan.
Sebaliknya dengan pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 telah menimbulkan banyak kerugian masyarakat daerah, antara lain adalah sebagai berikut.

Pemerintahan desa (dusun, kampung, dan lain-lain) kehilangan sumber pendapatan aslinya karena keberadaan tanah adat (marga, 'mendapo', kampung dan dusun) telah dikuasai pemilik modal HTI / HPH dan perorangan lainnya.
1. Masyarakat hukum adat kehilangan haknya untuk mengelola dan memanfaatkan potensi sumber daya alam karena telah berpindah tangan kepada pemilik modal HTI / HPH dan perorangan lainnya.
2. Masyarakat desa kehilangan wadah dan saluran demokrasinya.
3. Timbul berbagai bentuk penyakit sosial (kriminal, narkoba, mabuk minuman keras, serta dekadensi moral) karena nilai budaya dan pimpinan adat telah kehilangan legitimasinya.
4. Kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan masih melanda masyarakat pedesaan.
5. Rasa tanggung jawab, kesetiakawanan sosial menjadi menurun dan masyarakat menjadi gamang karena pimpinan adat dan masyarakat adat kehilangan legitimasinya.

Nampaknya perubahan terus bergulir. Hal ini disebabkan pemerintahan Orde Baru harus berakhir karena jatuhnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Pemerintahan Orde Baru berganti dengan Pemerintahan Orde Reformasi. Seiring dengan itu terbitlah Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang 'Pemerintahan Daerah', dan pada tanggal 1 Januari tahun 2001 secara resmi berlaku pula 'otonomi daerah' di seluruh Indonesia. Seharusnya desa dan masyarakatnya ikut pula mengalami perubahan makna atas keadaan tersebut.

Undang-Undang No 22 Tahun 1999 telah memberikan harapan baru dan angin segar tentang keberadaan adat-istiadat, yang hidup pada masyarakat lokal di seluruh Indonesia. Bagi masyarakat lokal ada sedikit kesempatan dan peluang di dalam 'otonomi daerah' tersebut, untuk membangun adat istiadatnya. Peluang ini diperoleh karena Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 menganut prinsip dasar: (1) keanekaragaman budaya (adat); (2) partisipasi masyarakat; (3) otonomi asli; (4) pemberdayaan masyarakat; (5) demokratisasi.

Dilihat dari sisi adat-stiadat sebagai akibat dari pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 maka kelemahan terbesar pada era otonomi daerah ini ada pada minoritas kreatif (pemangku adat) dan mayoritas kreatif yang telah kehilangan daya kreativitasnya. Hal ini dapat dimengerti karena sejak Orde Baru sampai saat ini posisi ketokohan pemangku adat telah diambil alih oleh kalangan politisi dan birokrasi. Kondisi seperti ini diikuti pula dengan sikap masyarakat umum yang seolah-olah tidak memerlukan lagi adat-istiadat serta memandang adat itu merupakan persoalan masa lampau.

Inilah problema di seputar adat istiadat dan masyarakat adatnya di tengah-tengah alam demokrasi dan 'otonomi daerah'. Sampai awal abad ke-21 ini, posisi marginal yang disandang masyarakat adat di tengah-tengah alam demokrasi dan otonomi daerah masih belum banyak berubah (berjalan di tempat) seperti kondisi masa pemerintahan Orde Baru yang lalu. Padahal, di dalam suasana masyarakat yang selalu mengalami perubahan inilah, diperlukan suatu aksi masyarakat yang konstruktif yakni Gerakan Kembali Ke Adat. Dengan gerakan ini diharapkan mampu berfungsi menggerakkan segenap komponen masyarakat untuk mencintai budaya dan adat istiadatnya masing-masing.

FILOSOFIS

Fakta menunjukan bahwa kehidupan manusia sulit dipisahkan dengan berbagai bentuk kebiasaan-kebiasaan perilakunya termasuk di dalamnya adat-istiadat. Bagi manusia yang cinta dengan nilai budaya tentunya mendambakan (das sollen) agar adat-istiadat, dapat mengatur perilaku dan kehidupan sosial manusia di dalam masyarakatnya. Mereka ini bercita-cita agar adat-istiadat kembali menjadi tuntunan dan pedoman hidup manusia dalam mengatur tata kelakuannya, akan tetapi kadang kala harapan tidak sesuai dengan kenyataan (das sein). Oleh karena itu, antara das sollen dan das sein tidak selalu terdapat kesesuaian, sehingga adat-istiadat sering tertinggal dan ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya di tengah-tengah perubahan dan arus globalisasi. Dalam keadaan seperti ini maka gerakan kembali ke adat adalah titik temu antara perubahan masyarakat di satu pihak, dan hasrat ingin mempertahankan adat-istiadat yang luhur di pihak lain.

Gerakan Kembali ke Adat adalah perwujudan rasa kesadaran masyarakat dalam mempertahankan, melestarikan, serta melindungi adat istiadat leluhur yang bernilai tinggi dari ancaman kepunahan sebagai akibat proses perubahan dan globalisasi. Gerakan ini adalah obsesi dari segenap komponen masyarakat yang cinta damai dan mengagumi nilai budaya yang bernilai tinggi. Oleh karena itu, kesadaran ini tumbuh dari bawah sebagai suatu bentuk kepedulian masyarakat terhadap budaya leluhur yang saat ini terancam kepunahan. Manusia sadar bahwa di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang tergantung dengan IPTEK ternyata adat-istiadat masih diperlukan, bahkan semakin diperlukan. Oleh karena tujuan dan cita-cita gerakan kembali ke adat, adalah menuju perwujudan ketertiban, kerukunan, kedamaian, kesetiakawanan sosial, dan kesejahteraan sosial masyarakat.

Ditinjau dari segi filosofis maka gerakan kembali ke adat adalah gerakan moral masyarakat dalam upaya pelestarian, penyelamatan, dan pewarisan nilai-nilai budaya kepada generasi penerus. Gerakan ini dapat berfungsi antara lain adalah sebagai berikut: (1) Sebagai sumber motivasi dan inspirasi masyarakat menuju terwujudnya ketertiban, kerukunan, kedamaian, dan kesetiakawanan sosial dan kesejahteraan sosial dalam rangka kehidupan masyarakat. (2) Sebagai model pemberdayaan masyarakat untuk menuju ketertiban, kerukunan, kedamaian, dan kesetiakawanan sosial dan kesejahteraan sosial dalam rangka kehidupan masyarakat. (3) Sebagai koreksi masyarakat atas kekurangan dan kelalaian dalam pemberdayaan masyarakat adat. (4) Sebagai alat kontrol masyarakat dalam menghadapi perubahan yang tanpa batas.

ENTRY POINT

Secara umum permasalahan adat di seluruh Indonesia adalah sama, namun di setiap daerah memiliki problematika yang berbeda. Oleh karena itu untuk masing-masing daerah maka entry point atau titik awal gerakan kembali ke adat tentunya tidak sama. Berdasarkan pada permasalahan tersebut di atas maka untuk daerah Jambi maka Gerakan Kembal ke Adat dapat dimulai dari upaya pemberdayaan institusi tradisional melalui kinerja pegawai syarak.

GERAKAN MORAL

Posisi adat-istiadat yang selama ini menjadi pedoman dalam pengatur tata kelakuan manusia telah diambil alih posisinya oleh sistem nilai yang baru. Sedangkan struktur masyarakat adat telah pula cenderung berubah menuju masyarakat moderen. Perubahan ini ditandai dengan timbulnya kenyataan-kenyataan dalam kehidupan sehari-hari antara lain sebagai berikut:

1. Sistem nilai budaya atau adat istiadat lokal yang selama ini mengatur tata kelakuan hidup manusia telah kehilangan legitimasinya sehingga posisi adat-istiadat telah diganti oleh hukum positif dan politik yang dikendalikan negara.
2. Nilai-nilai kepercayaan yang bersumber dari agama mulai luntur dan posisinya telah diganti oleh nilai-nilai ilmu pengetahuan yang sekuler.
3. Di dalam masyarakat telah mulai luntur nilai gotong-royong dan diganti dengan nilai individualistis yang mengancam akhlak manusia.

Munculnya 3 (tiga) fenomena tersebut di atas menandaskan kepada kita bahwa Gerakan Kembali ke Adat adalah gerakan moral yang berisi cita-cita moral agar segenap komponen masyarakat dapat melestarikan nilai budaya (adat-istiadat) masyarakat yang bernilai tinggi. Sehingga dampak negatif dari perubahan dan globalisasi tidak mengikis habis bangunan moral masyarakat lokal. Paling tidak, gerakan ini akan memperingatkan kepada kita untuk tetap memelihara unsur-unsur budaya dan adat istiadat masyarakat lokal supaya terhindar dari kepunahan. Oleh karena itu, Gerakan Kembali ke Adat sebenarnya juga berisikan cita-cita moral sebagai berikut:

1. Mencegah kepunahan adat-istiadat.
2. Mempertahankan adat-istiadat yang bernilai luhur serta mendukung terwujudnya ketertiban, kerukunan, kedamaian, kesetiakawanan dan kesejahteraan sosial masyarakat.
3. Mendukung (tidak anti) proses perubahan dalam masyarakat.

FUNGSI GERAKAN

Fungsi pertama Gerakan Kembali ke Adat adalah juga merupakan sebagai sumber motivasi dan inspirasi masyarakat dalam menuju perwujudan ketertiban, kerukunan, kedamaian, dan kesetiakawanan sosial dan kesejahteraan sosial dalam rangka kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, maka gerakan kembali ke adat merupakan sumber motivasi dan sumber inspirasi masyarakat dalam menyongsong kehidupan masa depan yang lebih baik. Wujud nyata gerakan kembali ke adat bukanlah impian untuk mengembalikan semua nilai budaya (adat-istiadat) lama di tengah-tengah kehidupan dewasa ini. Melainkan sebagai revitalisasi adat-istiadat ke dalam kehidupan sehari-hari untuk menunjang ketertiban, kerukunan, kedamaian, kesetiakawanan sosial dan kesejahteraan sosial masyarakat.

Untuk mencapai cita-cita wujud nyata tersebut maka diperlukan proses perubahan sosial dan perubahan kebudayaan dalam masyarakat. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan yang berisikan perpaduan antara adat-istiadat yang penuh dengan tradisi dengan nilai-nilai baru yang penuh dengan IPTEK. Perubahan ini akan berjalan dengan baik bila dalam masyarakat terdapat proses akulturasi, inovasi, discovery (penemuan baru), dan invention (pembudayaan). Proses ini akan berlanjut bila ada pemberdayaan kepada masyarakat pendukung di mana kebudayaan itu tumbuh dan berkembang. Dengan kata lain pemberdayaan adalah proses awal menuju akulturasi, inovasi, discovery (penemuan baru), dan invention (pembudayaan) di dalam masyarakat. Gerakan kembali ke adat berfungsi pula sebagai model pemberdayaan masyarakat terutama masyarakat adat.

Sebagai akibat dan pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979, maka kondisi kehidupan masyarakat di pedesaan sampai awal abad ke-21 ini mengalami banyak masalah dan kemunduran. Salah satu di antara masalah dan kemunduran itu ialah nilai budaya atau adat istiadat masyarakat lokal yang selama ini mengatur tata kelakuan hidup manusia telah kehilangan legitimasinya karena posisinya telah diganti oleh hukum positif dan politik yang dikendalikan negara. Di samping adanya kemunduran tersebut dewasa ini, kehidupan sosial budaya manusia cenderung tergantung pada ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Semakin lama semakin tinggi tingkat ketergantungan manusia pada IPTEK itu.

Oleh karena itu maka Gerakan Kembali ke Adat merupakan sebuah bentuk koreksi terhadap kedua hal tersebut di atas, yakni kemunduran bidang nilai budaya (adat-istiadat) dan ketergantungan yang tinggi terhadap IPTEK. Koreksi masyarakat ini juga merupakan suatu peringatan kepada kita bahwa di dalam masyarakat masih terdapat kesenjangan dan masalah di sekitar adat-istiadat. Bilamana masalah ini tidak dapat diselesaikan atau tidak ada pemecahannya maka dikhawatirkan akan muncul masalah baru yang lebih besar lagi.

Dalam abad ke-21 ini, kita telah menyaksikan betapa dunia semakin lama menjadi semakin sempit dan kecil bila dibandingkan dengan mobilitas penduduknya yang semakin tinggi. Mobilitas manusia dari suatu tempat ke tempat lain cenderung meningkat sejalan dengan adanya revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi terutama di bidang transportasi dan telekomunikasi. Dahulu informasi sangat sulit diperoleh dan hubungan antar negara sangat jarang terjadi. Namun kini, tidak ada satu negara pun yang dapat mengisolasi diri dari perubahan dunia. Dunia seolah-olah kecil dan sempit tanpa batas negara, tanpa batas administratif, tanpa batas budaya, tanpa batas politik. Akibatnya, komunitas dan komunikasi manusia antar negara akan menjadi saling ketergantungan satu sama lain (interdependention). Sebagai akibatnya, di mana pun di belahan bumi ini manusia dapat melakukan pertemuan-pertemuan untuk berbagai kepentingan. Apakah ini yang dinamakan globalisasi ?

Globalisasi itu pada intinya adalah perubahan dan perubahan itu akan selalu terjadi pada kehidupan masyarakat. Globalisasi tidak perlu dimusuhi karena di dalamnya mengandung aspek positif dan negatifnya. Dan juga globalisasi tidak mungkin dapat ditolak karena mesin globalisasi yakni media cetak dan elektronik telah menjadi bagian hidup manusia dewasa ini. Oleh karena itu maka kita perlu menyikapi globalisasi itu dengan jalan berpikir global dan bertindak lokal.

Globalisasi berdampak pada segala bidang kehidupan, namun dampak yang paling besar pada tiga bidang, yakni ekonomi, politik, dan kebudayaan. Titik paling rawan ada pada bidang kebudayaan karena pada bidang ini hampir tidak ada kontrol yang membatasi perubahan itu. Gerakan kembali ke adat akan berfungsi pula sebagai alat kontrol terhadap perubahan yang tanpa batas itu, khususnya perubahan dalam bidang kebudayaan.

KEGUNAAN

Bilamana Gerakan Kembali ke Adat ini dapat berkembang dengan baik, menjadi isu nasional bahkan internasional, maka masyarakat akan mengambil berbagai manfaat yang berharga dari kearifan masyarakat lokal tersebut. Gerakan Kembali ke Adat berguna bagi kegiatan-kegiatan antara lain adalah sebagai berikut:
1) Perlindungan budaya (adat-istiadat) masyarakat lokal akan terhindar dari kepunahan.
2) Perwujudan ketertiban, kerukunan, kedamaian, kesetiakawanan sosial dan kesejahteraan sosial masyarakat.
3) Pelestarian dan perlindungan potensi lingkungan hidup, seperti potensi hayati, non hayati, daerah tangkapan air (DTA) dan ekosistemnya.
4) Pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan Taman Nasional dan Taman Margasatwa, dan lain sebagainya.
5) Pengelolaan dan pemanfaatan benda-benda cagar budaya dan situs sejarah untuk tujuan wisata, pendidikan, penelitian dan tujuan religius.
6) Pencegahan dan mengatasi pengaruh narkoba, kriminal, amuk massa, dan penyakit masyarakat lainnya.


DAFTAR BACAAN:
1. Anonim, 1992, "Lembaga Adat Propinsi Jambi", Konsep Buku Acuan Adat Istiadat Daerah Propinsi Dati I Jambi.
2. ----------, 1993, "Lembaga Adat Propinsi Jambi", Materi Pembekalan Adat Istiadat Bagi Kepala Desa / Kelurahan Dalam Propinsi Jambi dari Tanggal l 9 - 13 Februari 1993.
3. ----------, 1995, "Pemda Kodya Jambi: Garis-Garis Besar Pedoman Adat Bagi Pemangku Adat dalam Kotamadya Dati II Jambi".
4. ---------, 1986, Dampak Moderenisasi terhadap Hubungan Kekerabatan pada Suku Bangsa Melayu Jambi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jambi.
5. ---------, 2002, "Identifikasi Unsur Budaya Melayu Jambi", Rekomendasi Dialog Budaya Melayu Jambi, YBLB Jambi, 20 Oktober 2002, Jambi.
6. Mukti Nasruddin, 1989, Jambi dalam Sejarah Nusantara, Jambi.
7. Fachruddin Saudagar, 2000, Tanah Adat dan Daerah Otonom, Jambi.
8. S. Gravengahe dan Martinus Nijhoff, 1912, Adatrechts bundel V, Koninklijk Insituut de Taal Land en Vulkenkunde van Nederlandsch Indie, Amsterdam.

Pemerintahan Nagari Dari Masa ke Masa

Posted by Dovi Eka Wiranata |

I. Pendahuluan

Kebijakan “kembali ke nagari” sebagai strategi pelaksanaan otonomi daerah di Sumatera Barat mengundang pembicaraan hangat publik. Tidak saja pasalnya disebut-sebut implementasinya setengah hati, bahkan disebut sebagai “lebih parah”, paradoksal dan dehumanisasi. Parodoksal, teramati, dulu ketika pemerintahan desa melaksanakan UU 5/1979 dan Perda Sumar No.13/ 1983, nagari tidak pecah dan kelembagaan adat esksis, sekarang di era otonomi daerah melaksanakan UU 22/ 1999 diganti dengan UU 32/ 2004 plus UU 08/2005 dan Perda 09/2000 direvisi Perda 02/2007, justru nagari lama menjadi pecah dan dibagi dalam beberapa nagari disebut dengan istilah pemekaran. Dehumanisasi, teramati, niat pemekaran nagari hendak memudahkan urusan dan pelayanan warga, justru menghadang bahaya besar, ibarat meninggalkan bom waktu untuk anak cucu di nagari dan bisa meledak 5-10 tahun yang akan datang.

Kembali ke nagari dan terjadi pemekaran nagari bagaimanapun ini sebuah kebijakan. Permasalahanya bukan pada kebijakan saja, tetapi meliputi sistim kebijakan itu yakni: kebijakan itu sendiri, lingkungan kebijakan dan pelaku kebijakan. Dapat digarisbawahi pandangan Dunn (2001:67) masalah kebijakan bukan saja eksis dalam fakta di balik kasus tetapi banyak terletak pada para pihak/ pelaku (stakeholder) kebijakan. Artinya pelaku kebijakan sering menjadi persoalan. Tak kecuali dalam pelaksanaan kembali ke nagari yang kemudian tak dapat dihindari tuntutan memecah nagari yang disebut pemekaran itu.

Pelaku kebijakan (stakeholders) utama adalah pemerintah, masyarakat dan swasta. Masalah itu muncul ketika matrik stakeholder itu kabur dan tidak teraplikasikan sharing power ketiga stakeholders utama itu di nagari. Fenomena ini diikuti timbulnya pertanyaan besar, yakni lahirnya kebijakan, siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan, apakah kebijakan berposisi blamming the victims (ketidakadilan sosial)?.
Fenomena ironis dan menjadi isu otoda di Sumatera Barat dengan sistim kembali ke nagari itu, fokusnya berada antara fakta – ideal geneologis dan teritorial nagari. Idealnya kembali ke nagari ketahanannya menjadi kuat terpleihara integritas, identitas dan keberlanjutan nagari itu, justru sebaliknya nagari digambarkan sebagai disintegrasi mengancam identitas dan keberlanjutannya terutama sebagai subkultur Minangkabau terdesak dengan pilihan pemekaran yang diwadahi Perda.

LKAAM sebagai bagian stakeholders utama dari unsur masyarakat adat, perlu menjelaskan kembali “pemahaman tentang nagari” dalam bebarapa dua silang pandang/ pendapat yang menjebak pro kontra. Pertama nagari faktor geneologis, kedua susunan masyarakat nagari sebagai subkultur dalam geneologis Minang, ketiga sejarah pembentukan kampung baru dan nagari, keempat sistim pemerintahan nagari (struktur dan perkembangannya, sarana prasarana, dan aset nagar), kelima pro kontra pemekaran nagari era otoda dan banyak lagi hal penting tentang nagari yang menarik dibicarakan dalam upaya pemahamannya secara komprehensip.

II. Nagari di Minangkabau
2.1 Nagari faktor geneologis dan teritorial persekutuan hukum republik kecil

Nagari Minang dominan faktor geneologis (pertalian darah). Beda dengan desa Jawa, lebih dilihat dari faktor teritorial (wilayah). Suasana suku lebih terasa di nagari Minang dibanding teritorial. Sungguh pun demikian nagari yang merupakan sub kultur (budaya khusus) Minang tidak mengabaikan wilayah. Nagari memiliki batas-batas wilayah nagari yang kuat ditetapkan dengan sumpah satia moyang- puyang ketika nagari baru dibuat. Dalam nagari itu tak setapak pun tanah tak bermilik: milik komunal mulai dari ulayat nagari/ rajo, ulayat suku/ kaum/ penghulu, sampai milik wakaf dan milik privat yakni ulayat pribadi/ berlaku hukum faraidh (Islam).

Nagari merupakan persekutuan hukum. Persekutuan hukum yang dimaksud persekutuan warga yang terikat dengan satu kesatuan di mana warga antara satu sama lain memandang sama dalam seluruh aspek kehidupan.

Sebagai satu persekutuan hukum, ada kekuasaan, ada pemimpin yang bertindak atas nama atau kepentingan kesatuan masyarakatnya. Karenanya nagari pernah disebut Belanda sebagai Republik Kecil, seperti negara kecil yang merdeka memiliki kesatuan negara dan kewarganegaraan.

Dapat dipahami nagari Minang itu wilayah subkultur dan wilayah pemerintahan. Tumbuhnya nagari dari persepketif historisnya, tidak membagi wilayah pemerintahan yang luas, tetapi bermula dari keharusan pengadaan lahan baru, kemudian dilahan baru itu diproses menjadi nagari (terdiri banyak kampung dan sekurangnya 4 suku).

Sebelum menjelaskan proses orang Minang membentuk kampung baru ke arah proses pembuatan nagari baru, dijelaskan susunan masyarakat Minang.

2.2 Susunan masyarakat nagari sebagai subkultur dalam geneologis Minang

Susunan (organisasi) masyarakat Minang di nagari dapat dijelaskan dalam organ sbb.:
2.2.1 Paruik
Paruik sudah mempunyai persekutuan hukum. Kelompok paruik ini merupakan satu keluarga besar (famili).
2.2.2 Jurai
Jurai ini berasal dari paruik yang sudah berkembang. Perkembangan paruik itu, memicu timbulnya keharusan membelah diri menjadi satu kesatuan yang berdiri sendiri, inilah disebut dengan jurai.
2.2.3 Suku
Suku merupakan pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya setelah jurai. Organ masyarakat suku ini merupakan kesatuan-kesatuan matrilineal baru di samping paruik asalnya yang bertali darah dilihat dari garis ibu. Namun suku tidak merupakan satu persekutuan hukum, karena suku dapat berpencar di lain wilayah. Artinya suku tidak terikat dengan teritorial, tetapi diikat tali darah dari garis ibu. Karenanya di mana saja suku yang merasa satu kesatuan masyarakat yang sama merasa setali darah (badusanak).
2.2.4 Kampung
Kampung adalah kelanjutan dari paruik. Paruik berkembang menjadi jurai. Di samping paruik dan jurai berkembang lagi kesatuan matrilineal baru seperti tadi disebut suku. Mereka mendirikan rumah berdekatan. Kelompok rumah yang se-paruik, se-jurai dan se-suku disebut kampung.
2.2.5 Nagari
Nagari kelanjutan dari paruik, jurai, suku dan kampung. Bila di kampung lama sudah habis tanah mendirikan rumah, keluarga besar sawah dan lahan kering sempit, maka mereka mencari lahan baru. Lahan baru itu dibersihkan (ditatak) menjadi Taratak. Bagian dari anggota paruik atau jurai atau se suku dalam kampung lama ada yang ingin pindah ke wilayah baru itu. Taratak berkembang menjadi dusun. Dusun memiliki wilayah pusat bernama Koto. Mereka yang se paruik, sejurai atau sesuku mendirikan rumah pula berdekatan, lalu munculan perkampungan baru. Lama kelamaan kampung menjadi banyak. Ada disebut kampung kampai, kampung sikumbang, kampung panai, kampung caniago dsb. Akhirnya bersama-sama para tuo kampung mendirikan nagari.

3. Sejarah pembentukan nagari Minang

Tadi dalam susunan masyarakat nagari disebut nagari mulo dibuek (mulai didirikan) berhubungan dengan lahan/ wilayah baru tak berpenduduk. Bermula dari taratak, taratak menjadi dusun. Dusun menjadi koto. Koto sebagai wilayah pusat perkampungan. Kampung-kampung bergabung sepakat menjadi nagari baru. Jadi pembuatan nagari baru bukan membagi wilayah nagari yang telah ada. Tetapi bermula dari mencari lahan baru karena ruang hidup (lebensraum) sudah sempit. Tak ada lagi lahan mendirikan rumah, tak cukup lagi sawah ladang yang ada untuk kaum (paruik – suku). Lalu KK (Tunganai/ saudara lelaki tertua) diikuti beberapa keluarganya dalam satu suku atau banyak suku mencari lahan baru. Mereka berpisah dengan kampung asalnya meninggalkan sanak saudaranya yang lain separuik atau sesuku. Di lahan baru itu mereka berladang, meneroka sawah dan mendirikan rumah. Saat itu dimulai proses pengembangan wilayah (resort) perkampungan baru.

3.1 Taratak

Prosesnya bermula dari orang di kampung-kampung pada satu nagari lama. Dari perspektif ekonomis, mereka pindah dan membuka lahan baru berladang jauh dari nagarinya untuk memenuhi kebutuhan hidupannya. Dari perspektif geostrategis, ruang hidup mereka di nagari lama sudah merasa sempit dan perlu perluasan wilayah. Mereka membuka lahan baru jauh dari nagarinya. Mereka membangun pemukiman disebut Taratak. Mereka membuat rumah, meneroka sawah, mengolah ladang dan mengatur kebutuhan hidup dan sosial budaya mereka. Setidaknya mereka terdiri dari dua suku. Pertalian dengan kampung asal usul masih kuat dan utuh. Mereka masih bermamak dan berpenghulu andiko ke kampung asalnya sebagai kepala keluarga dalam masyarakat adat.

3.2 Dusun

Berproses dari Taratak. Ketika wilayah Taratak berkembang, jumlah penduduk bertambah pindah ke sana, rumah semakin bertambah, maka wilayah itu diproses penduduknya menjadi Dusun. Syarat menjadi dusun itu setidaknya ada 3 suku. Warga dusun ini masih bermamak ke kampung lama tempat asal usulnya.

3.3 Koto dan Nagari

Lahirnya Koto berproses dari Dusun. Ketika itu dusun telah punya penduduk yang cukup rapat dan terus bertambah menjadi 4 suku. Mereka terus memperluas perkampungan di sekitar wilayah itu. Mereka meneroka sawah dan membuka lahan kering berladang. Mereka mendirikan perkampungan baru dan menjadi banyak kampung yang berpusat pada Koto. Kampung-kampung dari daerah pusat itu bersama-sama mereka membuat nagari. Kampung-kampung baru menjadi nagari baru merupakan keberlanjutan hidup paruik baranak pinak dan berkembang menjadi jurai. Di nagari baru ini saudara perempuan yang banyak dalam kaum sesuku mendirikan rumah berdekatan/ mengelompok. Di sini tempat kediaman tetap yang baru bagi paruik yang berpisah dari keluarga di kampung lama. Hubungan selanjutnya tetap erat, diatur kesatuan geneologis (suku – tali darah) yang tidak dibatasi teritorial kampung lama dan baru. Di sini mereka menetapkan struktur baru pemerintahan di wilayah nagari baru, KK (tunganai), penghulu andiko, tuo kampung/ jorong, penghulu 4 suku dst.

Dapat dicatat, Taratak, Dusun, Koto bukanlah struktur nagari tetapi proses pengembangan wilayah menuju terbentuknya kampung baru sebagai wilayah utama nagari. Yang menjadi struktur wilayah nagari adalah (1) Kampung/ Koghong (Korong/ Jorong) dan (2) Nagari.

Nagari lama tidak dapat dibagi/ dipecah meskipun luas karena sudah menjadi wilayah subkultur dan persekutuan hukum. Budaya Minang tidak baik mendirikan kampung – nagari dalam kampung – nagari. Apakah kearifan lokal (local genius) Minang seperti ini, Minang tidak menuntut sebagai daerah istimewa, di samping memang kuat tekan luar yang tak tersongsong arus Minang. 

4. Sistim pemerintahan nagari
4.1 Struktrur, sarana dan prasarana serta aset ekonomi nagari

Secara umum pemerintah nagari di Minang diatur dengan Undang-Undang Nagari (bagian dari UU nan-4 Minang). Yang diatur tidak saja struktur tetapi juga sistem pemerintahan nagari yang mandiri, dieksplisitkan dalam rukun, syarat dan syiar nagari.

4.1.1 Rukun nagari, nilainya dalam undang-undang dalam bentuk petatah sbb.:
Rang gadih mangarek kuku
Pangarek pisau sarawik
Pangabuang batang tuonyo
Batangnya ambiak ka lantai
Nagari baampek suku
Dalam suku babuah paruik
Kampuang bamamak ba nan tuo
Rumah dibari batunganai
(anak gadis memotong kuku
Pemotongnya pisau serawik
Pemotong batang tuanya
Batangnya diambil untuk lantai
Nagari harus ada 4 suku
Dalam suku ada keturunan se perut
Kampung punya mamak dan punya ketua kampung
Rumah ada lelaki sulung)

Nagari sebagai wilayah subkultur, sejak dahulu sudah memiliki alat kelengkapan pemerintahan. Struktur pertama dari bawah rumah batunganai sebagai Kepala Keluarga (saudara lelaki tertua/ mamak tertua dalam paruik). Kedua bamamak yakni mamak kaum sebagai penghulu andiko/ dipilih dari Tunganai, ketiga kampung ba nan tuo yakni Tuo Kampung (Kepala Jorong) dipilih dari penghulu andiko, keempat kepala tali darah (suku) dipimpin penghulu suku nan-4 di nagari.

Struktur ini terlihat pada petatah (tata pemerintahan) dalam Undang Undang Nagari Minang di atas. Pertama penghulu 4 suku, kedua tuo kampung, ketiga penghulu andiko, keempat kepala keluarga/ tunganai/ mamak paruik yang tertua. Dari petatah tadi juga terbaca sistim pemerintahan, kerukunan nagari otoritas 4 suku, tuo kampung, penghulu andiko, dan tunganai/ anak lelaki sulung yang berfungsi sebagai KK dengan tugas sebagai pengawas harta benda kaumnya. Penghulu 4 suku memilih ketua KN (Kerapatan Nagari), ketua kerapatan nagari langsung menjadi Kapalo Nagari (Penghulu Palo). Struktur ini berkembang sesuai kelarasan dan demokrasi Minang yang dianut nagari, nanti dijelaskan dalam perubahan sistim pemerintahan nagari.

4.1.2 Syarat nagari
Balabuah batapian
Babalai ba musajik
Bagalanggang bapamedanan
(punya jalan dan tepian tempat mandi
Punya balai-balai tempat bermufakat dan punya masjid
Punya gelanggang tempat bersilat)
Butir Undang Undang Nagari ini mengariskan sarana dan prasarana pisik sebagai syarat vital harus dimiliki Nagari. Sarana dan prasarana vital itu:

(1) jalan, (2) pemandian, (3) balai-balai/ gedung pertemuan (tempat musyawarah), (4) masjid, (5) gelanggang (tempat latihan bela diri) dan (6) pemakaman Nagari.

4.1.3 Syiar nagari
Rangkiang nan tinggi manjulang
Sawah nan bapiring bapamatang
Ameh jo perak nan batahia batimbang
Kabau jo bantiang nan banyak di padang
(rangkiang yang tinggi menjulang
Sawah luas punya petakan dibatasi pematangnya
Emas dan perak banyak
Kerbau dan jawi banyak di padangnya)

Butir Undang Undang Nagari ini mengatur sarana prasarana serta aset ekonomi nagari disebut sebagai dapat menghidupkan syiar (semarak) nagari yang menunjukan kesejahteraan rakyat dan aman kemakmuran. Sarana dan aset ekonomi nagari itu yang mesti diadakan: (1) rangkiang (lumbung gabah/ beras), (2) lahan basah (sawah), (3) masyarakat memiliki perhiasan (emas dan perak), memiliki ternak (kerbau dan jawi) serta padang rumput tempat pengembalaannya.
Simpul kecil struktur, sistim dan sarana dan prasarana serta aset ekonomi nagari dapat dieksplisitkan dalam 8 butir sbb.:
(1) Babalai – bamusajik: punya rumah adat tempat bersidang membuat mufakat dan masjid untuk tempat beribadat dan pusat budaya ABS-SBK dengan aplikasi SM-AM (Syara’ Mangato – Adat Mamakai).
(2) Basuku – banagari: punya 4 suku, struktur tertinggi nagari yang punya otoritas memberikan jaminan berkembangannya suasana kehidupan bernagari.
(3) Bakorong – bakampuang: punya korong (lingkaran inti)/ jorong) kampung sebagai bagian wilayah utama nagari.
4) Bahuma – babendang: punya rumah gadang tempat berteduh paruik dan punya penerangan kampung yang cukup.
(5) Balabuah – batapian : punya prasarana jalan untuk mengakses nagari dan punya tepian tempat pemandian. Sekarang tepian mungkin sebagian sudah dipindahkan ke dalam rumah dalam bentuk kamar kecil/ kamar mandi yang indah yang sifatnya privat, menggusur dan tak menganggap penting lagi pemandian yang komunal (milik kaum).
(6) Basawah – baladang : punya aset ekonomi nagari sawah – ladang yang luas termasuk perhiasan (emas dan perak) dan ternak (kerbau dan jawi) dengan padang pengembalaan.
(7) Bahalaman – bapamedanan : rumah kediaman punya halaman dan gelanggang pemainan anak nagari atau sasaran silat.
(8) Bapandam – bapakuburan : punya komplek pemakaman nagari tempat berkubur anak nagari).

5. Perkembangan sistim pemerintahan nagari

Sistim pemerintahan nagari berkembang sejalan dengan sistim demokrasi dan kelarasan serta perubahan yang terjadi di nagari. Sistim itu meliputi struktur, SDM dan mekanisme organisasi (manajemen) pemerintahan nagari. Perubahan sistim pemerintahan nagari itu banyak ditulis penulis Minang (a.l. AM Dt. Batuah, Dt. Sanggono Dirajo, Bahar Dt.Nagari Basa, AA Navis, Dr. Chairul Anwar, A.Dt. Rajo Mangkuot dll.) setelah dibanding dan dikombinasikan liputan para penulis itu dapat dijelaskan sbb.:

1.1 Nagari tradisi-1 menganut demokrasi kelarasan Koto Piliang (Dt. Ketumanggungan) abad ke-8 menggambarkan :
- Nagari otonomi
- Pemerintah Nagari (Eksekutif dan Legislatif). Struktur pemerintahan (eksekutif) Kapalo Nagari, Kapalo Jorong/ Kampung, Penghulu Kaum (Datuk 4 suku) dan Rakyat (Paruik, Jurai dan Kaum Suku). Struktur pemerintah (legislatif) adalah Ketua KN, Kumpulan Penghulu dari Kampung/ Jorong plus penghulu kaum dan rakyat.
- KN (Kerapatan Adat) dipimpin penghulu pucuk diplih dari penghulu anggota KN
- KN berfungsi legislatif
- Ketua KN langsung menjadi Kapalo Nagari (eksekutif) dan diberi hak mengangkat perangkat nagari dengan struktut/ formasi sesuai kebutuhan.
- Peradilan nagari (yudikatif) diangkat dengan mufakat Kapalo Nagari dan KN
- Sandi hukum adat: adat basandi alua jo patuik, alam takambang jadi guru.

1.2 Nagari tradisi-2 
menganut demokrasi kelarasan Bodi Caniago (Dt. Perpatih nan Sabatang sampai Adityawarman):
- Sudah otonomi
- Pemerintah Nagari (Eksekutif dan Legislatif). Struktur pemerintahan (eksekutif) Kapalo Nagari, Kapalo Jorong/ Kampung, Penghulu Kaum (Datuk 4 suku) dan Rakyat (Paruik, Jurai dan Kaum Suku). Struktur pemerintah (legislatif) adalah Ketua KN, Kumpulan Penghulu kaum dari kaum di Kampung/ Jorong dan rakyat.
- KN (Kerapatan Adat) wakil penghulu kaum diplih dari kumpulan penghulu kaum
- KN berfungsi legislatif
- Ketua KN langsung menjadi Kapalo Nagari (eksekutif) dan diberi hak mengangkat perangkat nagari terdiri dari: manti (sekretaris), cati, bandaro, parik paga, pendidikan dan peradilan.
- Peradilan nagari (yudikatif) menjadi perangkat nagari diangkat Kapalo Nagari bersama KN
- Sandi adat tetap seperti nagari tradisi-1

2. 1803-1837 pasca tradisi dan penguatan pengaruh Islam

2.1 Nagari tawaran ulama
- Otonomi
- Pengaruh Islam lebih menguat
- Pemerintahan nagari eksekutif, legislative dan yudikatif. Ada pemisahan kekuasaan trias politika: Dewan Nahi (Yudikatif) wakil fungsionaris Tungku Tigo Sajarangan, Badan Ulil Amri (Eksekutif) dan Dewan Amar Ma’ruf (Legislatif). Ketiga Dewan/ Badan ini dipilih umat (rakyat). Cerminan nilai tali tigo sapilin (syara’/ anggo tanggo, undang/ raso pareso, aturan/ hukum adat/ alua jo patuik), dijalankan fungsionaris tungku tigo sajarangan: ulama, penghulu, cadiak pandai dilembagakan dalam KN.
Struktur: Badan Ulil Amri/ Kapalo Nagari, Kapalo Jorong/ Kampung, Penghulu Kaum dan Umat (Rakyat). Perangkat nagari: manti (sekretaris), bandaro, paga nagari, cati (pembangunan), pendidikan, kapalo kampong/ jorong dan kaum membantu.
- Penghulu + ulama dipilih wakil untuk duduk di legislative dan yudikatif serta eksekutif/ kapalo nagari.
- Kapalo Nagari terbitkan aturan adat salingka nagari
- Sandi adat ditawarkan: ABS-SBK diaplikasikan SM-AM
2.2 Nagari ABS-SBK
- Otonomi
- Aspirasi perjanjian Marapalam (771 H)
- Pemerintahan nagari eksekutif (Kapalo Nagari), legislatif (KN: wakil NM, AU dan CP dipilih kerapatan NM,AU,CP. Kerapatan NM, AU dan CP dipilih Kerapatan NM,AU dan CP) dan Yudikatif (Peradilan Nagari).
- Struktur: Kapalo Nagari (dipilih t-3s), Kapalo Jorong/ Kampung, Penghulu Kaum dan Rakayat.
- Perangkat nagari: manti (sekretaris), bandaro, paga nagari, cati (pembangunan), pendidikan.
- Tingkatan pemerintahan: (1) Minangkabau (rajo 3 selo + basa 4 balai), (2) Luak (koordinator kelarasan), (3) Lareh (federasi nagari-nagari dipimpin kapalo lareh), (4) Nagari (kapalo nagari), (5) Jorong (kapalo jorong), (6) kampung (kapalo kampung/ jika perlu), (7) kaum (kapalo kaum), (8) kerabat (mamak rumah), (9) paruik (ibu tertua), (10) rakyat (anak kapanakan).
- Sandi adat ditawarkan: ABS-SBK diaplikasikan SM-AM

3. 1837-1942 Masa Belanda, pasca Perang Paderi sampai masuk Jepang

Nagari berdasarkan Stb774 th 1914 dan Stb 667 th 1918
- Nagari tidak otonomi lagi
- Sudah struktur bawah dari Ass. Residen. KN (legislative, wakil t32: NM,AU dan CP) semula setara dan setangkup dengan pemerintahan nagari strukturnya seperti ditempatkan di bawah Kapalo Nagari. Kapalo Nagari sekaligus ketua KN (Stb 774 th 1914). Kapalo nagari dipilih t-3s dikukuhkan SK Residen Weskust Sumatera an. Pemerintahan Hindia Belanda (Stb 667 th 1918).
- Kapalo nagari dipilih
- Struktur lengkapnya (1) Residen Sumatera (2) Ass. Residen, (3) Nagari Hoofd, (4) Kapalo Jorong, (5) Penghulu kaum, (6) Rakyat.
- Perangkat nagari: juru tulis, peradilan, bandaro, paga nagari, cati (pembangunan), pendidikan.
- Kepala nagari dipilih Kerapatan Nagari (penghulu) digaji
- Penghulu ba-SK

4. 1942-1945 era Jepang sampai masa kemerdekaan

- Nagari sistem militer
- tak otonom
- Kapalo Nagari ditunjuk Jepang
- KN (Legislatif) dibiarkan jalan begitu saja tapi tak dihormati, anggotanya terjaris kerja paksa ke logas, KN tidak bisa melindungi.
- Sandi adat ABS-SBK tidak dihormati
- Kepala nagari penghulu dipilih masy. diangkat jepang

5. 1945 – 1979 masa Kemerdekaan, Orla dan Orba

5.1 Nagari Sumatera Barat (Maklumat Residen Sumbar 20/21 th 1946) sejak revolusi –orla.
- Nagari wil. pemerintahan terendah dalam sistem NKRI
- Kepala nagari dipilih KN dari t3s diangkat pemerintah.
- Pem. Nagari terdiri dari (1) Kapalo Nagari, (2) DPN (Dewan Perwakilan Nagari) sebagai legislatif wakil t3s: NM, AU dan CP dan KN tidak dieksplisitkan dan (3) Peradilan Nagari (PN) sebagai yudikatif.
- Struktur: (1) Kapalo Nagari, (2) Kapalo Jorong, (3) Penghulu kaum dan (4) rakyat.
- Perangkat Kapalo Nagari: Sekretaris, Bendahara dan Kaur-kaur.
5.2 Nagari Sumatera Tengah 1949
- tak otonomi
- Pemerintah nagari: (1) wali wilayah (eksekutif) dipilih dari t3s NM, AU dan CP, (2) DPR Wilayah (legislatif wakil t3-s NM, AU dan CP ), KN juga hilang dan (3) Peradilan Nagari (yudikatif) diplih dari t-3s.
- Struktur pemerintah nagari: (1) Wali Wilayah (langsung ke Bupati), (2) Kapalo Jorong, (3) Kapalo kaum dan (4) rakyat.
- Perangkat nagari: Sekretaris, Bendahara dan Kaur-kaur.
5.3 Nagari perubahan
- tak otonomi
- Wali wilayah dirubah menjadi Wali Nagari, DPRWilayah dirubah menjadi DPRN, peradilan ditiadakan. Struktur kepala kaum dirubah menjadi penghulu kaum.
- Perangkat diperbanyak termasuk kaur pembangunan.
5.4 Nagari 1959 (Instruksi Peperda No. 02.462.1963 dan SK Gub. No. 32/Desa/GSB/59
- tak otonom
- Pem. Nagari terdiri dari (1) Kepala Nagari dan (2) BMN.
- Rubah struktur, (1) wali nagari dirubah menjadi kepala nagari (lengsung terstruktur ke camat), (2) DPRN bagai legislatif dirubah menjadi BMN (Badan Musyawarah Nagari) berada di bawah struktur Muspika di tingkat kecamatan. Anggota BMN ditunjuk Muspika dari 10 unsur masyarakat: adat, agama, FN (fron nasional), LSN, koperasi, wanita, tani/ nelayan, buruh, pemuda dan veteran.
- Kepala Nagari disyaratkan surat TTT PRRI dari Kodam 17 Agustus.
5.5 Nagari Orla (SK Gub No 32/GSB/59)
- Perubahan Kepala Nagari dirubah lagi Wali Nagari dan BMN diganti DPRN bawahan dari Muspika di tingkat kecamatan (camat, koter kec., polisi kecamatan). Sivil dikomandoi militer.
5.6 Nagari 1968 (SK Gub. No. 15/GSB/68)
- tak otonom
- struktur sama dengan SK Gub 32/GSB/59.

6. 1979 – 1999 era pemerintahan desa

(UU 5/1979 + Perda Sumbar No.13/ 1983)
- Nagari tetap wilayah adat, pemerintahan desa setingakt jorong/ kampung di nagari.
- Desa wilayah adm pemerintah terendah dalam NKRI (perspektif politik)
- Nagari menjadi ideal: lembaga persekutuan hukum adat (perspektif subkultur)
- KAN (Kerapatan Adat Nagari) dihormati tertinggi di nagari berfungsi legislatif (lembaga demokrasi tempat bermusyawarah) dan yudikatif (peradilan). Struktur (1) KAN di Nagari, (2) Tepatan KAN di tingkat desa setingkat jorong/ kampong dan (3) penghulu kaum. Keanggotaan KAN 4 unsur: NM, AU, CP, BK.
- Kades diangkat pemerintah dan diberi honor.
- Struktur: (1) Kades di tingkat Jorong/ Kampung, (2) Penghulu Kaum dan (3) Rakyat.

7. 1999 – era reformasi sekarang

7.1 Nagari mengacu UU No. 22/1999+ Perda 9/2000)
- Otoda: sistim kembali ke nagari, nagari ganti mantel desa
- Otonomi setengah hati
- Nagari disetingkatkan desa di provinsi lain di Indonesia, akibatkan nagari terancam dipecah istilah politik pemekaran dengan berbagai motivasi dan pardigma.
- Struktur: (1) Wali Nagari (bertanggung jawab ke Bupati), otonom seperti raja kecil, (2) Kepala Kampung (nama di tempat lain juga ada Kepala Jorong), (3) Rakyat.
- KAN pasilitasi kembali ke nagari dan pasilitasi pembentukan DPN dan BMAS. Wali Nagari dipilih rakyat dilakukan dalam event Pilwana dibentuk DPN, Wali Nagari terpilih dilatintik Bupati dalam siding pleno DPN.
- KAN masih dieksplisitkan tetapi kehilangan peran: sebab (1) dualisme dengan BMAS yang memicu konflik nagari. Artinya fungsi legislatif dan yudikatif KAN hilang. Apa mungkin KAN dan BMAS sebagai parelemen dua kamar seperti Australia (majelis tinggi dan majelis rendah) juga belum teridentifikasi, (2) menyamakan posisi KAN dengan lembaga unsur ulama, bundo kandung, cadiak pandai dan pemuda, yang mengakibatkan posisinya dijatuhkan dan tidak dihormati dalam pertarungan politik. Seharusnya KAN itu di dalamnya semua unsur itu. Kalau pemilihan DPN dan BMAS, calon KAN justru yang dicalonkan 4 unsur lainnya itu.
7.1 Nari mengacu UU 32/2004+ UU 8/2005 + Perda Sumbar No.2/2007)
- Keadaan tidak berubah, malah pemekaran nagari makin memasuki kancah pro kontra
- Kalau sebelumnya KAN kabur dengan DPN dan BMAS, sekarang dikaburkan dengan Bamus (Badan Musyawarah Nagari) dan disejajarkan dengan kelembagaan pemuda, alim ulama, Bundo Kandung dan Cadiak Pandai, berakibat banyak memicu konflik dalam pemilihan Bamus bahkan pemuda (kapanakan) terjadi mandago mamak/ melawan hokum adat.

- Komitment nagari sebagai subkultur semakin kabur.
Mencermati perjalan sejarah sistim pemerintahan nagari, terlihat dua bentuk sistim. Pertama pemerintahan nagari perspektif kenegaraan setangkup dengan pemerintahan adat, kedua pengaburan pernan kelembagaan adat dalam pemerintahan nagari.

Pemerintahan nagari setangkup dengan adat, terlihat dieksplisitkan kelembagaan adat yakni KN kemudian KAN dan jelas pendistribusian kekuasaannya. Ada 6 periode sistim pemerintahan yang secara ekplisit memerankan KN/ KAN, (a) peran ganda legislatif dan yudikatif yakni (1) era pemerintahan nagari tradisi (masa Dt. Katumanggunan dan (2) era Dt. Perpatih nan Sabatang) dan (3) era pemerintahan desa (UU 5/1979 + Perda 13/ 1983), (b) peran legislatif saja pada era pemerintahan nagari ABS-SBK pasca perjanjian Marapalam (771 H) dan era pelaksanaan Stb 774/1914 – Stb 667/ 1918,(c) kabur peran kelembagaan KAN yang dieksplisitkan di era Otoda “kembali ke nagari” pelaksanaan UU 22/ 1999 + Perda Sumbar 9/ 2000 karena legislatif diadakan DPN dan yudikatif diadakan BMAS; (d) peluang berperan yudikatif, karena Bamus diperankan sebagai legislatif di era pemerintahan nagari sekarang pelaksanaan UU 32/2004 + UU 8/2005 + Perda 2/2007.

Pemerintahan nagari yang tidak setangkup dengan adat dan kelembagaan KN tidak dieksplisitkan yakni era (1) sistim ditawarkan ulama Islam dan adat inplisit dinyatakan Kapalo Nagari terbitkan adat salingka nagari, (2) era revolusi – orla KN diganti DPN sebagai legislatif dan Peradilan sebagai Yudikatif, (3) era Sumatera Tengah KN diganti DPRW sebagai legislatif dan Peradilan sebagai Yudikatif, (4) era Peperda o2.462.1963 + SK Gub 32/Desa/GSB/59 tidak ada KN diganti BMN bawahan Muspika Kecamatan terasa intervensi militer, (5) Orla SK Gub 32/GSB/59 KN dengan BMN dan BMN diganti DPRN bawahan dari Muspika dan era Orba SK.Gub 15/GSB/68 sama DPRN bawahan Muspika.

III. Menjelaskan pro kontra pemekaran nagari era otoda kembali ke nagari

Dari perspektif nagari di Minang dan sistim pemerintahannya, sebenarnya pemekaran nagari dalam pengertian sekarang, ada yang boleh boleh dan ada yang tidak. Dibolehkan bila (1) nagari memanjang, tak sama asal usul, tak sama monografi, tak kuat lagi hubungan tali darah (paruik, jurai, suku), (2) wilayahnya jauh dari nagari induknya dan atau memanjang akses jalan melewati nagari lain seperti Kampung Mandeh dengan Nagari Nanggalo atau Mudik Ayia dengan Nagari Duku di Tarusan melewati Nagari Nanggalo dan Nagari Batu Ampa baru sampai ke nagari Duku.

Sejarah punya nilai instruktif. Sejarah nagari menginstruksikan, tidak ditemukan istilah pemekaran nagari Minang yang pengertiannya memecah wilayah nagari yang luas (punya persekutuan hukum berdasarkan asal usul yang sama) dan masyarakatnya yang tersusun dalam kesatuan hubungan tali darah (paruik, jurai, suku) yang kaut, menjadi beberapa nagari baru. Yang ada dan boleh pendirian nagari baru dengan wilayah baru dan penduduknya dengan kemauan sendiri translok/ pindah ke sana dan wilayah itu berproses menjadi nagari baru. Membentuk nagari itu dulu dan mempertahankan persekutuan hukumnya dengan sumpah satia: “nagari diwariskan ke anak cucu sampai hari kiamat dan menjaga integritas, identitas dan keberlanjutannya, tak berubah sampai gagak putih”.

Namun peluang masih ada kampung yang terbengkalai berproses menjadi nagari, fenomena ini dimungkinkan boleh diproses menjadi nagari baru, dan ini bukan pemekaran namanya, tetapi dilanjutkan prosesnya menjadi nagari baru dengan sumpah satia yang baru. Misalnya Kampung Mandeh dalam Nagari Nanggalo, Kampung Mudiak Ayia wilayahnya jauh dari Nagari Duku melewati Nagari Nanggalo dan Nagari Batu Ampa atau juga mungkin seperti Lagan dll.
Mekar nagari dalam pengertian memecah wilayah yang luas dengan mempersingkat jarak dan membagi penduduk seperti yang menjadi sebuah fenomena pro kontra, banyak mengahadang bahaya. Bom waktu bagi anak cucu di mana 5-10 tahun yad saja dimungkinkan bakal meledak. Hati-hati, kita bakal menjadi moyang dan puyang. Pemekaran nagari induk menjadi banyak nagari, lihat betul motivasi dan paradigmanya. Apakah karena keinginan sementara pihak menjadikan basis politik dan kekuasaan atau karena mau pembagian kue pembangun lebih banyak seperti desa dulu yang tanpa sadar melumpuh semangat goro yang selama ini menjadi roh nagari?. Jan rusak nan banyak karano nan saketek (sedikit). 

Jangan samapi rusak adat di nagari sebagai subkultur yang dominan faktor geneologis yang intinya adat. Kembali ke nagari yang ada saja (1 KAN:1 Wali Nagari) masih belum efektif pelaksanaannya karena tidak banyak tahu sejarahnya dan memang sudah lama pula tidak dipraktekan lagi kehidupan bernagari itu. Karenanya pula merevitalisasi sistim pemerintahan nagari lama saja masih sulit (ya SDM, ya manajemennya, ya kinerja aparaturnya) menjadi nagari mandiri, ditambah lagi dengan masalah nagari baru yang harus pula membangun hal-hal yang vital di nagarinya yang baru itu.

Taroklah dalam pemekaran itu lembaga adat tidak dipecah, hanya pemerintahan saja yang dipecah. Pertama sudah berulang sejarah memisahkan adat dan pemerintah berbeda dengan sistim nagari semula yakni pemerintahan adat dan negara setangkup. Kedua bahaya akan menghadang, wali nagari banyak pada satu nagari adat (1 KAN berbanding banyak Wali Nagari). Siapa yang menjadi komando, mungkinkah dengan 1 KAN memberi kemudahan (tidak mengalami konflik) bagi Wali Nagari yang banyak dalam pengambilan keputusan nagari yang intinya di nagari Minang adalah musyawarah (rapek) dan hasil rapek itu yang dijalankan? Banyak hambatan, ujungnya konflik dan membahayakan ketahanan nagari (integritasnya, identitasnya bahkan keberlansungan hidupnya) baik dilihat dari perspektif sistim sosial, sistim politik maupun sistim ekonomi.

Dari perspektif sosial, pemekaran nagari induk besar kemungkinan akan memecah persekutuan hukum dan kesatuan tata susun masyarakat Minang, adat akan semakin dimarginalkan bahkan akan kaburkan peranan lelaki Minang terutama ninik mamak yang sebenarnya amat diharapkan pemerintah.

Dari perspektif politik, pemekaran nagari memicu konflik (1) antara lembaga nagari yang ada dan (2) antara lembaga nagari dan kelembagaan adat. Kini KAN satu, nagari baru mekar merasa sama besar dengan nagari induknya, lalu mendirikan KAN baru pula, ujungnya konflik. Sebelum dimekarkan saja, pendistribusian tupoksi antara KAN dan Bamus pun belum jelas. Kalau tidak saling dewasa atau masih saling sama merasa besar di nagari, akan menimbulkan perpecahan dan saling tak menghormati. Dalam satu persekutuan hukum dan kesatuan tata susun masyarakat 1 nagari adat (1 KAN) dimekarkan menjadi banyak nagari lambat laun memicuk lahirnya konflik perbatasan nagari. Soal batas nagari yang ada (induk) saja belum terselesaikan. Sebab dalam pespektif ilmu geopolitik, perbatasan rawan konflik dan berhadapan dengan sahwat perluasan wilayah seperti diberi peluang teori expansionisme Jellen.

Dari perspektif ekonomi, satu nagari memanjang, dibagimekarkan, sungai mengalir di sepanjang nagari induk dan nagari baru itu yang dulu satu. Nagari yang di mudik mau berladang kacang, pengairan ditiadakan tani kacang, nagari baru dihilir mau mengolah sawah, lalu bertabrakan kepentingan ladang kacang satu nagari dengan kepentingan sawah di nagari yang lain yang dulunya satu komando. Kapan itu sama-sama dapat air mengeloah sawah bersama dan ladang kacang bersama dalam 6-7 nagari pada 1 KAN. Saat itulah konflik terjadi.

Konflik tak terselesaikan oleh 6-7 Wali Nagari : 1 KAN dan safety valve konflik tak ditemukan, maka kesatuan ekonomi terancam dan dalam adat Minang, fenomena ini disebut “tanda di nagari itu tak ado lai ba nan gadang” (tak ada yang dihormati) dan sudah banyak komando, siapa yang mau didengar. Mungkin akan lebih besar konflik misalnya ketika investor masuk dan berhubungan dengan tanah ulayat, sulit mengambil keputusan dengan 1 komando adat berbanding banyak wali nagari. Apalagi penafsiran tanah ulayat itu kabur antara hak komunal dan privat, yang bisa mengantarkan kepandangan yang salah menjual tanah ulayah ke investor dan amat tercela sebenarnya di Minang. Tanah ulayat adalah investasi nagari tak boleh dijual dan digadaikan, ibarat batang kayu, buah manisnya boleh dimakan, batangnya tak boleh dijual/ digadaikan.

IV. Penutup
Punyang Minang, cukup pintar manta persekutuan hukum dan menata kesatuan kelompok sosial di samping faktor wilayah, ekonomi dan politik, dominan faktor geneologis (mulai dari kelompok paruik, jurai, suku, kampung dan nagari) serta arif dalam membentuk nagari dan melegitimasi serta menciptakan ketahanannya dalam semua aspek kehidupan masyarakatnya (ipoleksosbudhankam nagari) dengan sumpah satia: nagari diwariskan utuh sampai kiamat dan putiah gagak hitam nagari tidak akan berubah.

Artinya dari amanat sejarah, wilayah nagari yang luas, persekutuan hukum dan kesatuan tata susun masyarakatnya masih kuat tidak boleh dipecah dan dibagi menjadi banyak nagari seperti pengertian pemekaran nagari kini yang memasuki wilayah pro kontra anak Minang. Yang boleh dimekarkan, adalah mengupayakan kampung yang jaraknya memanjang, akses jalan berbelit, tidak kuat lagi pertalian asal usulnya, tak satu monografinya karena puyangnya mencari lahan jauh dari nagari induk dan prosesnya jadi nagari dulu mungkin terbengkalai.

Disarankan, nagari yang masih kuat persekutuan hukumnya meski wilayah luas dan penduduk rapat, pertimbangkanlah untuk pemekaran. Silahkan dimekarkan kampung menjadi nagari yang posisinya memanjang, akses jalannya melewati nagari lain/ jalan sulit dan tak kuat lagi pertalian asal usulnya dibuktikan tidak ada keharusan secara eksplisit masyarakatnya bermamak berkapanakan kepada nagari induknya dalam berbagai pelayanan ulayat dan putus pelayanannya pada paruik, jurai dan suku di kampungnya itu. Artinya kampung itu dulu dimaksudkan menjadi wilayah baru menjadi nagari, tapi terbengkalai menjadi nagari, karena faktor hambatan kurang jumlah kampung dan jumlah suku.

Lebih penting lagi, disarankan melahirkan perda mengakomodasikan nilai adat, dengan proses memutuskan dan mengusulkan struktur pemerintahan terendah itu adalah kampung bukan nagari. Kalau mesti nagari juga, hindari kebijakan publik terperosok ke kancah blaming the victims (ketidakadilan sosial), sebab lahir/ diundangkannya sebuah kebijakan, pertanyaan penting yang muncul: “siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan”. Hindari Perda membuat tak berdaya kelembagaan adat. Perda nagari yang ada terasa memarjinalkan dan merugikan adat, kelembagaannya dibuat tak berdaya contohnya KAN disamabesarkan dengan 4 lembaga nagari termasuk dengan lembaga pemuda (kapanakan) di nagari. Perlu dijelaskan dalam adat, semua unsur di nagari (wali nagari, ketua Bamus, ketua LPM, ulama, bundo kandung, cadiak pandai, tentara, polisi, pns, anggota DPR/D dan semua fungsi dalam negara dan masyarakat termasuk datuk/ penghulu sendiri sebagai ketua ninik mamak, adalah kalau sudah “gadang” pasti berfungsi mamak, kalau masih “ketek” pasti “anak” atau “kapanakan”. Kalau disamakan KAN misalnya dengan organisasi pemuda di nagari, berarti memberi peluang pada anak kapanakan melanggar hukum adat yakni mandago mamak. Bacalah konflik pemilihan Bamus di nagari, KAN disamabesarkan dan terjebak bersaing dengan organisasi anak kapanakan (pemuda) dalam pemilihan Bamus atau caleg di nagarinya, akibatnya fatal, kepanakan tega memarjinalkan peran mamaknya dalam persaingan kepentingan sesaat itu. Tapi kalau pemimpin KAN-nya tahu dengan besarnya lalu dibuktikannya, KAN tak punya nama calon di kantongnya dan mengakomodasikan apa yang diusulkan dari 4 unsur di nagari: AU, BK, CP dan Pemuda lalu dikoordinasikannya, pasti aman dan KAN tetap besar. Yang susahnya saling merasa besar, kata pemuda lembaganya besar dan KAN tak sadar pula dengan posisi besarnya dan bersaing dengan lembaga 4 unsur lainnya di nagari yang sebenarnya mamak atau kapanakannya juga, berakibatnya gawat, kapanakan (pemuda) akan terperosok mandago mamak (KAN). Kalau KAN menjatuhkan posisinya sama dengan pemuda (kapanakan) lalu terjebak persaingan politik, dalam politik praktis seperti yang ditemukan secara empiris oleh Machiavelli, sah-sah saja saling menjatuhkan, meski kapanakan menjatuhkan mamak. Tetapi dalam etika politik Minang tidak dibenarkan, fenomena itu mendago (mendaga) mamak, melanggar hukum adat. Demo saja tidak pernah ada berakar pada budaya Minang. Siapa saja yang penyaluran aspirasi dengan tekanan demo, dari perspektif Minang, ketika demo itu mereka keluar dari etika tak menjadi orang Minang. Sebab di Minang, tidak baik meneriakan malu kepada orang, ajaran nilai adat: suku tak dapek diasak, malu tak dapek diagiahkan.

Penyelesaian sengketa/ kasus di Minang bertingkat dalam mekanisme informal adat, kasus privat diselesaikan mamak rumah/ paruik, penghulu andiko (mamak tertua di paruik), mamak jurai, mamak suku dan penghulu suku. Kasus komuninal diselesaikan tuo kampung (penghulu memimpin kampung yang dipilih dari penghulu andiko), mamak nagari dan KAN. Diyakini di Minang, tak ada kasus yang tidak bias selesai: tak ado kusuik tak akan salasai/ tak ado karuh nan tak kajaniah. Kalau tak jernih juga, masih ada tingkat mekanisme formal dengan hukum formal mulai dari peradilan pemerintahan nagari dengan penegak hukumnya polisi dan peradilan negeri. Karenanya perankanlah ninik mamak dan berdayakan kelembagaan adat dengan akomodasikan perda (sekarang di samping Bamus, diakui atau tidak KAN masih berpeluang menjadi lembaga yudikatif, menyelesaikan sengketa adat/ nagari dalam mekanisme informal adat). Kalau ninik mamak dan lembabaganya berperan, tidak bakal mau lagi lelaki dewasa Minang (dalam semua fungsinya di pemerintah, masyarakat/ adat dan di swasta di kampung dan di rantau) yang meragukan peran ninik mamak. Karena sikap itu berarti laki-laki dewasa Minang itu sudah tak jelas lagi status kelaki-lakiannya di Minang, berarti ia sudah menggugat perannya sendiri sebagai lelaki Minang, karena ia sendiri lelaki, kalau sudah dewasa ia adalah mamak, meskipun tidak datuk. Datuk itu bukankah ketua Ninik Mamak dipilih ninik mamak kaumnya dan dengan ninik mamak lainnya itu berhimpun di KAN sebagai lembaga adat yang punya historis panjang dan penting di nagari Minang.***

copy@right : pemerintahan-nagari-dari-masa-ke-masa,by : Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo

Our Partners

Website Hit Counter
Free Hit Counter A4GUY826KBGS