I. Pendahuluan
Kebijakan “kembali ke
nagari” sebagai
strategi pelaksanaan otonomi daerah di Sumatera Barat mengundang
pembicaraan hangat publik. Tidak saja pasalnya disebut-sebut
implementasinya
setengah hati, bahkan disebut sebagai “lebih
parah”, paradoksal dan dehumanisasi. Parodoksal, teramati, dulu ketika
pemerintahan desa melaksanakan UU 5/1979 dan Perda Sumar No.13/ 1983,
nagari tidak pecah dan kelembagaan adat esksis, sekarang di era otonomi
daerah melaksanakan UU 22/ 1999 diganti dengan UU 32/ 2004 plus UU
08/2005 dan Perda 09/2000 direvisi Perda 02/2007, justru nagari lama
menjadi pecah dan dibagi dalam beberapa nagari disebut dengan istilah
pemekaran. Dehumanisasi, teramati, niat pemekaran nagari hendak
memudahkan urusan dan pelayanan warga, justru menghadang bahaya besar,
ibarat meninggalkan bom waktu untuk anak cucu di nagari dan bisa meledak
5-10 tahun yang akan datang.
Kembali ke nagari dan terjadi pemekaran
nagari bagaimanapun ini sebuah kebijakan. Permasalahanya bukan pada
kebijakan saja, tetapi meliputi sistim kebijakan itu yakni: kebijakan
itu sendiri, lingkungan kebijakan dan pelaku kebijakan. Dapat
digarisbawahi pandangan Dunn (2001:67) masalah kebijakan bukan saja
eksis dalam fakta di balik kasus tetapi banyak terletak pada para pihak/
pelaku (stakeholder) kebijakan. Artinya pelaku kebijakan sering menjadi
persoalan. Tak kecuali dalam pelaksanaan kembali ke nagari yang
kemudian tak dapat dihindari tuntutan memecah nagari yang disebut
pemekaran itu.
Pelaku kebijakan (stakeholders) utama
adalah pemerintah, masyarakat dan swasta. Masalah itu muncul ketika
matrik stakeholder itu kabur dan tidak teraplikasikan sharing power
ketiga stakeholders utama itu di nagari. Fenomena ini diikuti timbulnya
pertanyaan besar, yakni lahirnya kebijakan, siapa yang diuntungkan dan
siapa yang dirugikan, apakah kebijakan berposisi blamming the victims (ketidakadilan sosial)?.
Fenomena ironis dan menjadi isu otoda di
Sumatera Barat dengan sistim kembali ke nagari itu, fokusnya berada
antara fakta – ideal geneologis dan teritorial nagari. Idealnya kembali
ke nagari ketahanannya menjadi kuat terpleihara integritas, identitas
dan keberlanjutan nagari itu, justru sebaliknya nagari digambarkan
sebagai disintegrasi mengancam identitas dan keberlanjutannya terutama
sebagai subkultur Minangkabau terdesak dengan pilihan pemekaran yang
diwadahi Perda.
LKAAM sebagai bagian stakeholders utama
dari unsur masyarakat adat, perlu menjelaskan kembali “pemahaman tentang
nagari” dalam bebarapa dua silang pandang/ pendapat yang menjebak pro
kontra. Pertama nagari faktor geneologis, kedua susunan masyarakat nagari sebagai subkultur dalam geneologis Minang, ketiga sejarah pembentukan kampung baru dan nagari, keempat sistim pemerintahan nagari (struktur dan perkembangannya, sarana prasarana, dan aset nagar), kelima
pro kontra pemekaran nagari era otoda dan banyak lagi hal penting
tentang nagari yang menarik dibicarakan dalam upaya pemahamannya secara
komprehensip.
II. Nagari di Minangkabau
2.1 Nagari faktor geneologis dan teritorial persekutuan hukum republik kecil
Nagari Minang dominan faktor geneologis
(pertalian darah). Beda dengan desa Jawa, lebih dilihat dari faktor
teritorial (wilayah). Suasana suku lebih terasa di nagari Minang
dibanding teritorial. Sungguh pun demikian nagari yang merupakan sub
kultur (budaya khusus) Minang tidak mengabaikan wilayah. Nagari memiliki
batas-batas wilayah nagari yang kuat ditetapkan dengan sumpah
satia moyang- puyang ketika nagari baru dibuat. Dalam nagari itu tak
setapak pun tanah tak bermilik: milik komunal mulai dari ulayat
nagari/ rajo, ulayat suku/ kaum/ penghulu, sampai milik wakaf dan milik
privat yakni ulayat pribadi/ berlaku hukum faraidh (Islam).
Nagari merupakan persekutuan hukum.
Persekutuan hukum yang dimaksud persekutuan warga yang terikat dengan
satu kesatuan di mana warga antara satu sama lain memandang sama dalam
seluruh aspek kehidupan.
Sebagai satu persekutuan hukum, ada
kekuasaan, ada pemimpin yang bertindak atas nama atau kepentingan
kesatuan masyarakatnya. Karenanya nagari pernah disebut Belanda sebagai Republik Kecil, seperti negara kecil yang merdeka memiliki kesatuan negara dan kewarganegaraan.
Dapat dipahami nagari Minang itu wilayah
subkultur dan wilayah pemerintahan. Tumbuhnya nagari dari persepketif
historisnya, tidak membagi wilayah pemerintahan yang luas, tetapi
bermula dari keharusan pengadaan lahan baru, kemudian dilahan baru itu
diproses menjadi nagari (terdiri banyak kampung dan sekurangnya 4 suku).
Sebelum menjelaskan proses orang Minang
membentuk kampung baru ke arah proses pembuatan nagari baru, dijelaskan
susunan masyarakat Minang.
2.2 Susunan masyarakat nagari sebagai subkultur dalam geneologis Minang
Susunan (organisasi) masyarakat Minang di nagari dapat dijelaskan dalam organ sbb.:
2.2.1 Paruik
Paruik sudah mempunyai persekutuan hukum. Kelompok paruik ini merupakan satu keluarga besar (famili).
2.2.2 Jurai
Jurai ini berasal dari paruik yang sudah
berkembang. Perkembangan paruik itu, memicu timbulnya keharusan membelah
diri menjadi satu kesatuan yang berdiri sendiri, inilah disebut dengan jurai.
2.2.3 Suku
Suku merupakan pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya setelah jurai. Organ masyarakat suku ini merupakan kesatuan-kesatuan matrilineal
baru di samping paruik asalnya yang bertali darah dilihat dari garis
ibu. Namun suku tidak merupakan satu persekutuan hukum, karena suku
dapat berpencar di lain wilayah. Artinya suku tidak terikat dengan
teritorial, tetapi diikat tali darah dari garis ibu. Karenanya di mana
saja suku yang merasa satu kesatuan masyarakat yang sama merasa setali
darah (badusanak).
2.2.4 Kampung
Kampung adalah kelanjutan dari paruik.
Paruik berkembang menjadi jurai. Di samping paruik dan jurai berkembang
lagi kesatuan matrilineal baru seperti tadi disebut suku. Mereka
mendirikan rumah berdekatan. Kelompok rumah yang se-paruik, se-jurai dan
se-suku disebut kampung.
2.2.5 Nagari
Nagari kelanjutan dari paruik, jurai,
suku dan kampung. Bila di kampung lama sudah habis tanah mendirikan
rumah, keluarga besar sawah dan lahan kering sempit, maka mereka mencari
lahan baru. Lahan baru itu dibersihkan (ditatak) menjadi Taratak.
Bagian dari anggota paruik atau jurai atau se suku dalam kampung lama
ada yang ingin pindah ke wilayah baru itu. Taratak berkembang menjadi
dusun. Dusun memiliki wilayah pusat bernama Koto. Mereka yang se paruik,
sejurai atau sesuku mendirikan rumah pula berdekatan, lalu munculan
perkampungan baru. Lama kelamaan kampung menjadi banyak. Ada disebut
kampung kampai, kampung sikumbang, kampung panai, kampung caniago dsb.
Akhirnya bersama-sama para tuo kampung mendirikan nagari.
3. Sejarah pembentukan nagari Minang
Tadi dalam susunan masyarakat nagari disebut nagari mulo dibuek
(mulai didirikan) berhubungan dengan lahan/ wilayah baru tak
berpenduduk. Bermula dari taratak, taratak menjadi dusun. Dusun menjadi
koto. Koto sebagai wilayah pusat perkampungan. Kampung-kampung bergabung
sepakat menjadi nagari baru. Jadi pembuatan nagari baru bukan membagi
wilayah nagari yang telah ada. Tetapi bermula dari mencari lahan baru
karena ruang hidup (lebensraum) sudah sempit. Tak ada lagi
lahan mendirikan rumah, tak cukup lagi sawah ladang yang ada untuk kaum
(paruik – suku). Lalu KK (Tunganai/ saudara lelaki tertua) diikuti
beberapa keluarganya dalam satu suku atau banyak suku mencari lahan
baru. Mereka berpisah dengan kampung asalnya meninggalkan sanak
saudaranya yang lain separuik atau sesuku. Di lahan baru itu mereka
berladang, meneroka sawah dan mendirikan rumah. Saat itu dimulai proses
pengembangan wilayah (resort) perkampungan baru.
3.1 Taratak
Prosesnya bermula dari orang di
kampung-kampung pada satu nagari lama. Dari perspektif ekonomis, mereka
pindah dan membuka lahan baru berladang jauh dari nagarinya untuk
memenuhi kebutuhan hidupannya. Dari perspektif geostrategis, ruang hidup
mereka di nagari lama sudah merasa sempit dan perlu perluasan wilayah.
Mereka membuka lahan baru jauh dari nagarinya. Mereka membangun
pemukiman disebut Taratak. Mereka membuat rumah, meneroka sawah,
mengolah ladang dan mengatur kebutuhan hidup dan sosial budaya mereka.
Setidaknya mereka terdiri dari dua suku. Pertalian dengan kampung asal
usul masih kuat dan utuh. Mereka masih bermamak dan berpenghulu andiko
ke kampung asalnya sebagai kepala keluarga dalam masyarakat adat.
3.2 Dusun
Berproses dari Taratak. Ketika wilayah
Taratak berkembang, jumlah penduduk bertambah pindah ke sana, rumah
semakin bertambah, maka wilayah itu diproses penduduknya menjadi Dusun.
Syarat menjadi dusun itu setidaknya ada 3 suku. Warga dusun ini masih
bermamak ke kampung lama tempat asal usulnya.
3.3 Koto dan Nagari
Lahirnya Koto berproses dari Dusun.
Ketika itu dusun telah punya penduduk yang cukup rapat dan terus
bertambah menjadi 4 suku. Mereka terus memperluas perkampungan di
sekitar wilayah itu. Mereka meneroka sawah dan membuka lahan kering
berladang. Mereka mendirikan perkampungan baru dan menjadi banyak
kampung yang berpusat pada Koto. Kampung-kampung dari daerah pusat itu
bersama-sama mereka membuat nagari. Kampung-kampung baru menjadi nagari
baru merupakan keberlanjutan hidup paruik baranak pinak dan berkembang
menjadi jurai. Di nagari baru ini saudara perempuan yang banyak dalam
kaum sesuku mendirikan rumah berdekatan/ mengelompok. Di sini tempat
kediaman tetap yang baru bagi paruik yang berpisah dari keluarga di
kampung lama. Hubungan selanjutnya tetap erat, diatur kesatuan
geneologis (suku – tali darah) yang tidak dibatasi teritorial kampung
lama dan baru. Di sini mereka menetapkan struktur baru pemerintahan di
wilayah nagari baru, KK (tunganai), penghulu andiko, tuo kampung/
jorong, penghulu 4 suku dst.
Dapat dicatat, Taratak, Dusun, Koto
bukanlah struktur nagari tetapi proses pengembangan wilayah menuju
terbentuknya kampung baru sebagai wilayah utama nagari. Yang menjadi
struktur wilayah nagari adalah (1) Kampung/ Koghong (Korong/ Jorong) dan (2) Nagari.
Nagari lama tidak dapat dibagi/ dipecah
meskipun luas karena sudah menjadi wilayah subkultur dan persekutuan
hukum. Budaya Minang tidak baik mendirikan kampung – nagari dalam
kampung – nagari. Apakah kearifan lokal (local genius) Minang seperti
ini, Minang tidak menuntut sebagai daerah istimewa, di samping memang
kuat tekan luar yang tak tersongsong arus Minang.
4. Sistim pemerintahan nagari
4.1 Struktrur, sarana dan prasarana serta aset ekonomi nagari
Secara umum pemerintah nagari di Minang
diatur dengan Undang-Undang Nagari (bagian dari UU nan-4 Minang). Yang
diatur tidak saja struktur tetapi juga sistem pemerintahan nagari yang
mandiri, dieksplisitkan dalam rukun, syarat dan syiar nagari.
4.1.1 Rukun nagari, nilainya dalam undang-undang dalam bentuk petatah sbb.:
Rang gadih mangarek kuku
Pangarek pisau sarawik
Pangabuang batang tuonyo
Batangnya ambiak ka lantai
Nagari baampek suku
Dalam suku babuah paruik
Kampuang bamamak ba nan tuo
Rumah dibari batunganai
(anak gadis memotong kuku
Pemotongnya pisau serawik
Pemotong batang tuanya
Batangnya diambil untuk lantai
Nagari harus ada 4 suku
Dalam suku ada keturunan se perut
Kampung punya mamak dan punya ketua kampung
Rumah ada lelaki sulung)
Nagari sebagai wilayah subkultur, sejak dahulu sudah memiliki alat kelengkapan pemerintahan. Struktur pertama dari bawah rumah batunganai sebagai Kepala Keluarga (saudara lelaki tertua/ mamak tertua dalam paruik). Kedua bamamak yakni mamak kaum sebagai penghulu andiko/ dipilih dari Tunganai, ketiga kampung ba nan tuo yakni Tuo Kampung (Kepala Jorong) dipilih dari penghulu andiko, keempat kepala tali darah (suku) dipimpin penghulu suku nan-4 di nagari.
Struktur ini terlihat pada petatah (tata pemerintahan) dalam Undang Undang Nagari Minang di atas. Pertama penghulu 4 suku, kedua tuo kampung, ketiga penghulu andiko, keempat kepala keluarga/ tunganai/
mamak paruik yang tertua. Dari petatah tadi juga terbaca sistim
pemerintahan, kerukunan nagari otoritas 4 suku, tuo kampung, penghulu
andiko, dan tunganai/ anak lelaki sulung yang berfungsi sebagai KK
dengan tugas sebagai pengawas harta benda kaumnya. Penghulu 4 suku
memilih ketua KN (Kerapatan Nagari), ketua kerapatan
nagari langsung menjadi Kapalo Nagari (Penghulu Palo). Struktur ini
berkembang sesuai kelarasan dan demokrasi Minang yang dianut nagari,
nanti dijelaskan dalam perubahan sistim pemerintahan nagari.
4.1.2 Syarat nagari
Balabuah batapian
Babalai ba musajik
Bagalanggang bapamedanan
(punya jalan dan tepian tempat mandi
Punya balai-balai tempat bermufakat dan punya masjid
Punya gelanggang tempat bersilat)
Butir Undang Undang Nagari ini
mengariskan sarana dan prasarana pisik sebagai syarat vital harus
dimiliki Nagari. Sarana dan prasarana vital itu:
(1) jalan, (2) pemandian, (3)
balai-balai/ gedung pertemuan (tempat musyawarah), (4) masjid, (5)
gelanggang (tempat latihan bela diri) dan (6) pemakaman Nagari.
4.1.3 Syiar nagari
Rangkiang nan tinggi manjulang
Sawah nan bapiring bapamatang
Ameh jo perak nan batahia batimbang
Kabau jo bantiang nan banyak di padang
(rangkiang yang tinggi menjulang
Sawah luas punya petakan dibatasi pematangnya
Emas dan perak banyak
Kerbau dan jawi banyak di padangnya)
Butir Undang Undang Nagari ini mengatur sarana prasarana serta aset ekonomi nagari disebut sebagai dapat menghidupkan syiar
(semarak) nagari yang menunjukan kesejahteraan rakyat dan aman
kemakmuran. Sarana dan aset ekonomi nagari itu yang mesti diadakan: (1)
rangkiang (lumbung gabah/ beras), (2) lahan basah (sawah), (3)
masyarakat memiliki perhiasan (emas dan perak), memiliki ternak (kerbau
dan jawi) serta padang rumput tempat pengembalaannya.
Simpul kecil struktur, sistim dan sarana dan prasarana serta aset ekonomi nagari dapat dieksplisitkan dalam 8 butir sbb.:
(1) Babalai – bamusajik:
punya rumah adat tempat bersidang membuat mufakat dan masjid untuk
tempat beribadat dan pusat budaya ABS-SBK dengan aplikasi SM-AM (Syara’
Mangato – Adat Mamakai).
(2) Basuku – banagari: punya 4 suku, struktur tertinggi nagari yang punya otoritas memberikan jaminan berkembangannya suasana kehidupan bernagari.
(3) Bakorong – bakampuang: punya korong (lingkaran inti)/ jorong) kampung sebagai bagian wilayah utama nagari.
4) Bahuma – babendang: punya rumah gadang tempat berteduh paruik dan punya penerangan kampung yang cukup.
(5) Balabuah – batapian :
punya prasarana jalan untuk mengakses nagari dan punya tepian tempat
pemandian. Sekarang tepian mungkin sebagian sudah dipindahkan ke dalam
rumah dalam bentuk kamar kecil/ kamar mandi yang indah yang sifatnya
privat, menggusur dan tak menganggap penting lagi pemandian yang komunal
(milik kaum).
(6) Basawah – baladang : punya
aset ekonomi nagari sawah – ladang yang luas termasuk perhiasan (emas
dan perak) dan ternak (kerbau dan jawi) dengan padang pengembalaan.
(7) Bahalaman – bapamedanan : rumah kediaman punya halaman dan gelanggang pemainan anak nagari atau sasaran silat.
(8) Bapandam – bapakuburan : punya komplek pemakaman nagari tempat berkubur anak nagari).
5. Perkembangan sistim pemerintahan nagari
Sistim pemerintahan nagari berkembang
sejalan dengan sistim demokrasi dan kelarasan serta perubahan yang
terjadi di nagari. Sistim itu meliputi struktur, SDM dan mekanisme
organisasi (manajemen) pemerintahan nagari. Perubahan sistim
pemerintahan nagari itu banyak ditulis penulis Minang (a.l. AM Dt.
Batuah, Dt. Sanggono Dirajo, Bahar Dt.Nagari Basa, AA Navis, Dr. Chairul
Anwar, A.Dt. Rajo Mangkuot dll.) setelah dibanding dan dikombinasikan
liputan para penulis itu dapat dijelaskan sbb.:
1.1 Nagari tradisi-1 menganut demokrasi kelarasan Koto Piliang (Dt. Ketumanggungan) abad ke-8 menggambarkan :
- Nagari otonomi
- Pemerintah Nagari (Eksekutif dan
Legislatif). Struktur pemerintahan (eksekutif) Kapalo Nagari, Kapalo
Jorong/ Kampung, Penghulu Kaum (Datuk 4 suku) dan Rakyat (Paruik, Jurai
dan Kaum Suku). Struktur pemerintah (legislatif) adalah Ketua KN,
Kumpulan Penghulu dari Kampung/ Jorong plus penghulu kaum dan rakyat.
- KN (Kerapatan Adat) dipimpin penghulu pucuk diplih dari penghulu anggota KN
- KN berfungsi legislatif
- Ketua KN langsung menjadi Kapalo Nagari
(eksekutif) dan diberi hak mengangkat perangkat nagari dengan struktut/
formasi sesuai kebutuhan.
- Peradilan nagari (yudikatif) diangkat dengan mufakat Kapalo Nagari dan KN
- Sandi hukum adat: adat basandi alua jo patuik, alam takambang jadi guru.
1.2 Nagari tradisi-2
menganut demokrasi kelarasan Bodi Caniago (Dt. Perpatih nan Sabatang sampai Adityawarman):
- Sudah otonomi
- Pemerintah Nagari (Eksekutif dan
Legislatif). Struktur pemerintahan (eksekutif) Kapalo Nagari, Kapalo
Jorong/ Kampung, Penghulu Kaum (Datuk 4 suku) dan Rakyat (Paruik, Jurai
dan Kaum Suku). Struktur pemerintah (legislatif) adalah Ketua KN,
Kumpulan Penghulu kaum dari kaum di Kampung/ Jorong dan rakyat.
- KN (Kerapatan Adat) wakil penghulu kaum diplih dari kumpulan penghulu kaum
- KN berfungsi legislatif
- Ketua KN langsung menjadi Kapalo Nagari
(eksekutif) dan diberi hak mengangkat perangkat nagari terdiri dari:
manti (sekretaris), cati, bandaro, parik paga, pendidikan dan peradilan.
- Peradilan nagari (yudikatif) menjadi perangkat nagari diangkat Kapalo Nagari bersama KN
- Sandi adat tetap seperti nagari tradisi-1
2. 1803-1837 pasca tradisi dan penguatan pengaruh Islam
2.1 Nagari tawaran ulama
- Otonomi
- Pengaruh Islam lebih menguat
- Pemerintahan nagari eksekutif,
legislative dan yudikatif. Ada pemisahan kekuasaan trias politika: Dewan
Nahi (Yudikatif) wakil fungsionaris Tungku Tigo Sajarangan, Badan Ulil
Amri (Eksekutif) dan Dewan Amar Ma’ruf (Legislatif). Ketiga Dewan/ Badan
ini dipilih umat (rakyat). Cerminan nilai tali tigo sapilin (syara’/
anggo tanggo, undang/ raso pareso, aturan/ hukum adat/ alua jo patuik),
dijalankan fungsionaris tungku tigo sajarangan: ulama, penghulu, cadiak
pandai dilembagakan dalam KN.
Struktur: Badan Ulil Amri/ Kapalo Nagari, Kapalo Jorong/ Kampung,
Penghulu Kaum dan Umat (Rakyat). Perangkat nagari: manti (sekretaris),
bandaro, paga nagari, cati (pembangunan), pendidikan, kapalo kampong/
jorong dan kaum membantu.
- Penghulu + ulama dipilih wakil untuk duduk di legislative dan yudikatif serta eksekutif/ kapalo nagari.
- Kapalo Nagari terbitkan aturan adat salingka nagari
- Sandi adat ditawarkan: ABS-SBK diaplikasikan SM-AM
2.2 Nagari ABS-SBK
- Otonomi
- Aspirasi perjanjian Marapalam (771 H)
- Pemerintahan nagari eksekutif (Kapalo
Nagari), legislatif (KN: wakil NM, AU dan CP dipilih kerapatan NM,AU,CP.
Kerapatan NM, AU dan CP dipilih Kerapatan NM,AU dan CP) dan Yudikatif
(Peradilan Nagari).
- Struktur: Kapalo Nagari (dipilih t-3s), Kapalo Jorong/ Kampung, Penghulu Kaum dan Rakayat.
- Perangkat nagari: manti (sekretaris), bandaro, paga nagari, cati (pembangunan), pendidikan.
- Tingkatan pemerintahan: (1) Minangkabau
(rajo 3 selo + basa 4 balai), (2) Luak (koordinator kelarasan), (3)
Lareh (federasi nagari-nagari dipimpin kapalo lareh), (4) Nagari (kapalo
nagari), (5) Jorong (kapalo jorong), (6) kampung (kapalo kampung/ jika
perlu), (7) kaum (kapalo kaum), (8) kerabat (mamak rumah), (9) paruik
(ibu tertua), (10) rakyat (anak kapanakan).
- Sandi adat ditawarkan: ABS-SBK diaplikasikan SM-AM
3. 1837-1942 Masa Belanda, pasca Perang Paderi sampai masuk Jepang
Nagari berdasarkan Stb774 th 1914 dan Stb 667 th 1918
- Nagari tidak otonomi lagi
- Sudah struktur bawah dari Ass. Residen.
KN (legislative, wakil t32: NM,AU dan CP) semula setara dan setangkup
dengan pemerintahan nagari strukturnya seperti ditempatkan di bawah
Kapalo Nagari. Kapalo Nagari sekaligus ketua KN (Stb 774 th 1914).
Kapalo nagari dipilih t-3s dikukuhkan SK Residen Weskust Sumatera an.
Pemerintahan Hindia Belanda (Stb 667 th 1918).
- Kapalo nagari dipilih
- Struktur lengkapnya (1) Residen Sumatera (2) Ass. Residen, (3) Nagari Hoofd, (4) Kapalo Jorong, (5) Penghulu kaum, (6) Rakyat.
- Perangkat nagari: juru tulis, peradilan, bandaro, paga nagari, cati (pembangunan), pendidikan.
- Kepala nagari dipilih Kerapatan Nagari (penghulu) digaji
- Penghulu ba-SK
4. 1942-1945 era Jepang sampai masa kemerdekaan
- Nagari sistem militer
- tak otonom
- Kapalo Nagari ditunjuk Jepang
- KN (Legislatif) dibiarkan jalan begitu
saja tapi tak dihormati, anggotanya terjaris kerja paksa ke logas, KN
tidak bisa melindungi.
- Sandi adat ABS-SBK tidak dihormati
- Kepala nagari penghulu dipilih masy. diangkat jepang
5. 1945 – 1979 masa Kemerdekaan, Orla dan Orba
5.1 Nagari Sumatera Barat (Maklumat Residen Sumbar 20/21 th 1946) sejak revolusi –orla.
- Nagari wil. pemerintahan terendah dalam sistem NKRI
- Kepala nagari dipilih KN dari t3s diangkat pemerintah.
- Pem. Nagari terdiri dari (1) Kapalo
Nagari, (2) DPN (Dewan Perwakilan Nagari) sebagai legislatif wakil t3s:
NM, AU dan CP dan KN tidak dieksplisitkan dan (3) Peradilan Nagari (PN)
sebagai yudikatif.
- Struktur: (1) Kapalo Nagari, (2) Kapalo Jorong, (3) Penghulu kaum dan (4) rakyat.
- Perangkat Kapalo Nagari: Sekretaris, Bendahara dan Kaur-kaur.
5.2 Nagari Sumatera Tengah 1949
- tak otonomi
- Pemerintah nagari: (1) wali wilayah
(eksekutif) dipilih dari t3s NM, AU dan CP, (2) DPR Wilayah (legislatif
wakil t3-s NM, AU dan CP ), KN juga hilang dan (3) Peradilan Nagari
(yudikatif) diplih dari t-3s.
- Struktur pemerintah nagari: (1) Wali Wilayah (langsung ke Bupati), (2) Kapalo Jorong, (3) Kapalo kaum dan (4) rakyat.
- Perangkat nagari: Sekretaris, Bendahara dan Kaur-kaur.
5.3 Nagari perubahan
- tak otonomi
- Wali wilayah dirubah menjadi Wali
Nagari, DPRWilayah dirubah menjadi DPRN, peradilan ditiadakan. Struktur
kepala kaum dirubah menjadi penghulu kaum.
- Perangkat diperbanyak termasuk kaur pembangunan.
5.4 Nagari 1959 (Instruksi Peperda No. 02.462.1963 dan SK Gub. No. 32/Desa/GSB/59
- tak otonom
- Pem. Nagari terdiri dari (1) Kepala Nagari dan (2) BMN.
- Rubah struktur, (1) wali nagari dirubah
menjadi kepala nagari (lengsung terstruktur ke camat), (2) DPRN bagai
legislatif dirubah menjadi BMN (Badan Musyawarah Nagari) berada di bawah
struktur Muspika di tingkat kecamatan. Anggota BMN ditunjuk Muspika
dari 10 unsur masyarakat: adat, agama, FN (fron nasional), LSN,
koperasi, wanita, tani/ nelayan, buruh, pemuda dan veteran.
- Kepala Nagari disyaratkan surat TTT PRRI dari Kodam 17 Agustus.
5.5 Nagari Orla (SK Gub No 32/GSB/59)
- Perubahan Kepala Nagari dirubah lagi
Wali Nagari dan BMN diganti DPRN bawahan dari Muspika di tingkat
kecamatan (camat, koter kec., polisi kecamatan). Sivil dikomandoi
militer.
5.6 Nagari 1968 (SK Gub. No. 15/GSB/68)
- tak otonom
- struktur sama dengan SK Gub 32/GSB/59.
6. 1979 – 1999 era pemerintahan desa
(UU 5/1979 + Perda Sumbar No.13/ 1983)
- Nagari tetap wilayah adat, pemerintahan desa setingakt jorong/ kampung di nagari.
- Desa wilayah adm pemerintah terendah dalam NKRI (perspektif politik)
- Nagari menjadi ideal: lembaga persekutuan hukum adat (perspektif subkultur)
- KAN (Kerapatan Adat Nagari) dihormati
tertinggi di nagari berfungsi legislatif (lembaga demokrasi tempat
bermusyawarah) dan yudikatif (peradilan). Struktur (1) KAN di Nagari,
(2) Tepatan KAN di tingkat desa setingkat jorong/ kampong dan (3)
penghulu kaum. Keanggotaan KAN 4 unsur: NM, AU, CP, BK.
- Kades diangkat pemerintah dan diberi honor.
- Struktur: (1) Kades di tingkat Jorong/ Kampung, (2) Penghulu Kaum dan (3) Rakyat.
7. 1999 – era reformasi sekarang
7.1 Nagari mengacu UU No. 22/1999+ Perda 9/2000)
- Otoda: sistim kembali ke nagari, nagari ganti mantel desa
- Otonomi setengah hati
- Nagari disetingkatkan desa di provinsi lain di Indonesia, akibatkan nagari terancam dipecah istilah politik pemekaran dengan berbagai motivasi dan pardigma.
- Struktur: (1) Wali Nagari (bertanggung
jawab ke Bupati), otonom seperti raja kecil, (2) Kepala Kampung (nama di
tempat lain juga ada Kepala Jorong), (3) Rakyat.
- KAN pasilitasi kembali ke nagari dan
pasilitasi pembentukan DPN dan BMAS. Wali Nagari dipilih rakyat
dilakukan dalam event Pilwana dibentuk DPN, Wali Nagari terpilih
dilatintik Bupati dalam siding pleno DPN.
- KAN masih dieksplisitkan tetapi
kehilangan peran: sebab (1) dualisme dengan BMAS yang memicu konflik
nagari. Artinya fungsi legislatif dan yudikatif KAN hilang. Apa mungkin
KAN dan BMAS sebagai parelemen dua kamar seperti Australia (majelis
tinggi dan majelis rendah) juga belum teridentifikasi, (2) menyamakan
posisi KAN dengan lembaga unsur ulama, bundo kandung, cadiak pandai dan
pemuda, yang mengakibatkan posisinya dijatuhkan dan tidak dihormati
dalam pertarungan politik. Seharusnya KAN itu di dalamnya semua unsur
itu. Kalau pemilihan DPN dan BMAS, calon KAN justru yang dicalonkan 4
unsur lainnya itu.
7.1 Nari mengacu UU 32/2004+ UU 8/2005 + Perda Sumbar No.2/2007)
- Keadaan tidak berubah, malah pemekaran nagari makin memasuki kancah pro kontra
- Kalau sebelumnya KAN kabur dengan DPN
dan BMAS, sekarang dikaburkan dengan Bamus (Badan Musyawarah Nagari) dan
disejajarkan dengan kelembagaan pemuda, alim ulama, Bundo Kandung dan
Cadiak Pandai, berakibat banyak memicu konflik dalam pemilihan Bamus
bahkan pemuda (kapanakan) terjadi mandago mamak/ melawan hokum adat.
- Komitment nagari sebagai subkultur semakin kabur.
Mencermati perjalan sejarah sistim
pemerintahan nagari, terlihat dua bentuk sistim. Pertama pemerintahan
nagari perspektif kenegaraan setangkup dengan pemerintahan adat, kedua
pengaburan pernan kelembagaan adat dalam pemerintahan nagari.
Pemerintahan nagari setangkup dengan
adat, terlihat dieksplisitkan kelembagaan adat yakni KN kemudian KAN dan
jelas pendistribusian kekuasaannya. Ada 6 periode sistim pemerintahan
yang secara ekplisit memerankan KN/ KAN, (a) peran ganda legislatif dan
yudikatif yakni (1) era pemerintahan nagari tradisi (masa Dt.
Katumanggunan dan (2) era Dt. Perpatih nan Sabatang) dan (3) era
pemerintahan desa (UU 5/1979 + Perda 13/ 1983), (b) peran legislatif
saja pada era pemerintahan nagari ABS-SBK pasca perjanjian Marapalam
(771 H) dan era pelaksanaan Stb 774/1914 – Stb 667/ 1918,(c) kabur peran
kelembagaan KAN yang dieksplisitkan di era Otoda “kembali ke nagari”
pelaksanaan UU 22/ 1999 + Perda Sumbar 9/ 2000 karena legislatif
diadakan DPN dan yudikatif diadakan BMAS; (d) peluang berperan
yudikatif, karena Bamus diperankan sebagai legislatif di era
pemerintahan nagari sekarang pelaksanaan UU 32/2004 + UU 8/2005 + Perda
2/2007.
Pemerintahan nagari yang tidak setangkup
dengan adat dan kelembagaan KN tidak dieksplisitkan yakni era (1) sistim
ditawarkan ulama Islam dan adat inplisit dinyatakan Kapalo Nagari
terbitkan adat salingka nagari, (2) era revolusi – orla KN diganti DPN
sebagai legislatif dan Peradilan sebagai Yudikatif, (3) era Sumatera
Tengah KN diganti DPRW sebagai legislatif dan Peradilan sebagai
Yudikatif, (4) era Peperda o2.462.1963 + SK Gub 32/Desa/GSB/59 tidak ada
KN diganti BMN bawahan Muspika Kecamatan terasa intervensi militer, (5)
Orla SK Gub 32/GSB/59 KN dengan BMN dan BMN diganti DPRN bawahan dari
Muspika dan era Orba SK.Gub 15/GSB/68 sama DPRN bawahan Muspika.
III. Menjelaskan pro kontra pemekaran nagari era otoda kembali ke nagari
Dari perspektif nagari di Minang dan
sistim pemerintahannya, sebenarnya pemekaran nagari dalam pengertian
sekarang, ada yang boleh boleh dan ada yang tidak. Dibolehkan bila (1)
nagari memanjang, tak sama asal usul, tak sama monografi, tak kuat lagi
hubungan tali darah (paruik, jurai, suku), (2) wilayahnya jauh dari
nagari induknya dan atau memanjang akses jalan melewati nagari lain
seperti Kampung Mandeh dengan Nagari Nanggalo atau Mudik Ayia dengan
Nagari Duku di Tarusan melewati Nagari Nanggalo dan Nagari Batu Ampa
baru sampai ke nagari Duku.
Sejarah punya nilai instruktif. Sejarah
nagari menginstruksikan, tidak ditemukan istilah pemekaran nagari Minang
yang pengertiannya memecah wilayah nagari yang luas (punya persekutuan
hukum berdasarkan asal usul yang sama) dan masyarakatnya yang tersusun
dalam kesatuan hubungan tali darah (paruik, jurai, suku) yang kaut,
menjadi beberapa nagari baru. Yang ada dan boleh pendirian nagari baru
dengan wilayah baru dan penduduknya dengan kemauan sendiri translok/
pindah ke sana dan wilayah itu berproses menjadi nagari baru. Membentuk
nagari itu dulu dan mempertahankan persekutuan hukumnya dengan sumpah
satia: “nagari diwariskan ke anak cucu sampai hari kiamat dan
menjaga integritas, identitas dan keberlanjutannya, tak berubah sampai
gagak putih”.
Namun peluang masih ada kampung yang
terbengkalai berproses menjadi nagari, fenomena ini dimungkinkan boleh
diproses menjadi nagari baru, dan ini bukan pemekaran namanya, tetapi
dilanjutkan prosesnya menjadi nagari baru dengan sumpah satia
yang baru. Misalnya Kampung Mandeh dalam Nagari Nanggalo, Kampung Mudiak
Ayia wilayahnya jauh dari Nagari Duku melewati Nagari Nanggalo dan
Nagari Batu Ampa atau juga mungkin seperti Lagan dll.
Mekar nagari dalam pengertian memecah
wilayah yang luas dengan mempersingkat jarak dan membagi penduduk
seperti yang menjadi sebuah fenomena pro kontra, banyak mengahadang
bahaya. Bom waktu bagi anak cucu di mana 5-10 tahun yad saja
dimungkinkan bakal meledak. Hati-hati, kita bakal menjadi moyang dan
puyang. Pemekaran nagari induk menjadi banyak nagari, lihat betul
motivasi dan paradigmanya. Apakah karena keinginan sementara pihak
menjadikan basis politik dan kekuasaan atau karena mau pembagian kue
pembangun lebih banyak seperti desa dulu yang tanpa sadar melumpuh
semangat goro yang selama ini menjadi roh nagari?. Jan rusak nan banyak karano nan saketek
(sedikit).
Jangan samapi rusak adat di nagari sebagai subkultur yang
dominan faktor geneologis yang intinya adat. Kembali ke nagari yang ada
saja (1 KAN:1 Wali Nagari) masih belum efektif pelaksanaannya karena
tidak banyak tahu sejarahnya dan memang sudah lama pula tidak
dipraktekan lagi kehidupan bernagari itu. Karenanya pula merevitalisasi
sistim pemerintahan nagari lama saja masih sulit (ya SDM, ya
manajemennya, ya kinerja aparaturnya) menjadi nagari mandiri, ditambah
lagi dengan masalah nagari baru yang harus pula membangun hal-hal yang
vital di nagarinya yang baru itu.
Taroklah dalam pemekaran itu lembaga adat tidak dipecah, hanya pemerintahan saja yang dipecah. Pertama
sudah berulang sejarah memisahkan adat dan pemerintah berbeda dengan
sistim nagari semula yakni pemerintahan adat dan negara setangkup. Kedua
bahaya akan menghadang, wali nagari banyak pada satu nagari adat (1 KAN
berbanding banyak Wali Nagari). Siapa yang menjadi komando, mungkinkah
dengan 1 KAN memberi kemudahan (tidak mengalami konflik) bagi Wali
Nagari yang banyak dalam pengambilan keputusan nagari yang intinya di
nagari Minang adalah musyawarah (rapek) dan hasil rapek itu yang
dijalankan? Banyak hambatan, ujungnya konflik dan membahayakan ketahanan
nagari (integritasnya, identitasnya bahkan keberlansungan hidupnya)
baik dilihat dari perspektif sistim sosial, sistim politik maupun sistim
ekonomi.
Dari perspektif sosial, pemekaran nagari
induk besar kemungkinan akan memecah persekutuan hukum dan kesatuan tata
susun masyarakat Minang, adat akan semakin dimarginalkan bahkan akan
kaburkan peranan lelaki Minang terutama ninik mamak yang sebenarnya amat
diharapkan pemerintah.
Dari perspektif politik, pemekaran nagari
memicu konflik (1) antara lembaga nagari yang ada dan (2) antara
lembaga nagari dan kelembagaan adat. Kini KAN satu, nagari baru mekar
merasa sama besar dengan nagari induknya, lalu mendirikan KAN baru pula,
ujungnya konflik. Sebelum dimekarkan saja, pendistribusian tupoksi
antara KAN dan Bamus pun belum jelas. Kalau tidak saling dewasa atau
masih saling sama merasa besar di nagari, akan menimbulkan perpecahan
dan saling tak menghormati. Dalam satu persekutuan hukum dan kesatuan
tata susun masyarakat 1 nagari adat (1 KAN) dimekarkan menjadi banyak
nagari lambat laun memicuk lahirnya konflik perbatasan nagari. Soal
batas nagari yang ada (induk) saja belum terselesaikan. Sebab dalam
pespektif ilmu geopolitik, perbatasan rawan konflik dan berhadapan
dengan sahwat perluasan wilayah seperti diberi peluang teori expansionisme Jellen.
Dari perspektif ekonomi, satu nagari
memanjang, dibagimekarkan, sungai mengalir di sepanjang nagari induk dan
nagari baru itu yang dulu satu. Nagari yang di mudik mau berladang
kacang, pengairan ditiadakan tani kacang, nagari baru dihilir mau
mengolah sawah, lalu bertabrakan kepentingan ladang kacang satu nagari
dengan kepentingan sawah di nagari yang lain yang dulunya satu komando.
Kapan itu sama-sama dapat air mengeloah sawah bersama dan ladang kacang
bersama dalam 6-7 nagari pada 1 KAN. Saat itulah konflik terjadi.
Konflik tak terselesaikan oleh 6-7 Wali Nagari : 1 KAN dan safety valve konflik tak ditemukan, maka kesatuan ekonomi terancam dan dalam adat Minang, fenomena ini disebut “tanda di nagari itu tak ado lai ba nan gadang”
(tak ada yang dihormati) dan sudah banyak komando, siapa yang mau
didengar. Mungkin akan lebih besar konflik misalnya ketika investor
masuk dan berhubungan dengan tanah ulayat, sulit mengambil keputusan
dengan 1 komando adat berbanding banyak wali nagari. Apalagi penafsiran
tanah ulayat itu kabur antara hak komunal dan privat, yang bisa
mengantarkan kepandangan yang salah menjual tanah ulayah ke investor dan
amat tercela sebenarnya di Minang. Tanah ulayat adalah investasi nagari
tak boleh dijual dan digadaikan, ibarat batang kayu, buah manisnya
boleh dimakan, batangnya tak boleh dijual/ digadaikan.
IV. Penutup
Punyang Minang, cukup pintar manta
persekutuan hukum dan menata kesatuan kelompok sosial di samping faktor
wilayah, ekonomi dan politik, dominan faktor geneologis (mulai dari
kelompok paruik, jurai, suku, kampung dan nagari) serta arif dalam
membentuk nagari dan melegitimasi serta menciptakan ketahanannya dalam
semua aspek kehidupan masyarakatnya (ipoleksosbudhankam nagari) dengan
sumpah satia: nagari diwariskan utuh sampai kiamat dan putiah gagak hitam nagari tidak akan berubah.
Artinya dari amanat sejarah, wilayah nagari yang luas, persekutuan hukum dan kesatuan tata susun masyarakatnya masih kuat tidak boleh dipecah dan dibagi menjadi banyak nagari seperti pengertian pemekaran nagari kini yang memasuki wilayah pro kontra anak Minang. Yang boleh dimekarkan,
adalah mengupayakan kampung yang jaraknya memanjang, akses jalan
berbelit, tidak kuat lagi pertalian asal usulnya, tak satu monografinya
karena puyangnya mencari lahan jauh dari nagari induk dan prosesnya jadi
nagari dulu mungkin terbengkalai.
Disarankan, nagari yang masih kuat persekutuan hukumnya meski wilayah luas dan penduduk rapat, pertimbangkanlah untuk pemekaran. Silahkan dimekarkan kampung menjadi nagari yang posisinya memanjang,
akses jalannya melewati nagari lain/ jalan sulit dan tak kuat lagi
pertalian asal usulnya dibuktikan tidak ada keharusan secara eksplisit
masyarakatnya bermamak berkapanakan kepada nagari induknya dalam
berbagai pelayanan ulayat dan putus pelayanannya pada paruik, jurai dan
suku di kampungnya itu. Artinya kampung itu dulu dimaksudkan menjadi
wilayah baru menjadi nagari, tapi terbengkalai menjadi nagari, karena
faktor hambatan kurang jumlah kampung dan jumlah suku.
Lebih penting lagi, disarankan melahirkan perda mengakomodasikan nilai adat, dengan proses memutuskan dan mengusulkan struktur pemerintahan terendah itu adalah kampung bukan nagari. Kalau mesti nagari juga, hindari kebijakan publik terperosok ke kancah blaming the victims
(ketidakadilan sosial), sebab lahir/ diundangkannya sebuah kebijakan,
pertanyaan penting yang muncul: “siapa yang diuntungkan dan siapa yang
dirugikan”. Hindari Perda membuat tak berdaya kelembagaan adat.
Perda nagari yang ada terasa memarjinalkan dan merugikan adat,
kelembagaannya dibuat tak berdaya contohnya KAN disamabesarkan dengan 4
lembaga nagari termasuk dengan lembaga pemuda (kapanakan) di nagari.
Perlu dijelaskan dalam adat, semua unsur di nagari (wali nagari, ketua
Bamus, ketua LPM, ulama, bundo kandung, cadiak pandai, tentara, polisi,
pns, anggota DPR/D dan semua fungsi dalam negara dan masyarakat termasuk
datuk/ penghulu sendiri sebagai ketua ninik mamak, adalah kalau sudah
“gadang” pasti berfungsi mamak, kalau masih “ketek” pasti “anak” atau
“kapanakan”. Kalau disamakan KAN misalnya dengan organisasi pemuda di
nagari, berarti memberi peluang pada anak kapanakan melanggar hukum adat
yakni mandago mamak. Bacalah konflik pemilihan Bamus di
nagari, KAN disamabesarkan dan terjebak bersaing dengan organisasi anak
kapanakan (pemuda) dalam pemilihan Bamus atau caleg di nagarinya,
akibatnya fatal, kepanakan tega memarjinalkan peran mamaknya dalam
persaingan kepentingan sesaat itu. Tapi kalau pemimpin KAN-nya
tahu dengan besarnya lalu dibuktikannya, KAN tak punya nama calon di
kantongnya dan mengakomodasikan apa yang diusulkan dari 4 unsur di
nagari: AU, BK, CP dan Pemuda lalu dikoordinasikannya, pasti aman dan
KAN tetap besar. Yang susahnya saling merasa besar, kata pemuda
lembaganya besar dan KAN tak sadar pula dengan posisi besarnya dan
bersaing dengan lembaga 4 unsur lainnya di nagari yang sebenarnya mamak
atau kapanakannya juga, berakibatnya gawat, kapanakan (pemuda) akan
terperosok mandago mamak (KAN). Kalau KAN menjatuhkan posisinya
sama dengan pemuda (kapanakan) lalu terjebak persaingan politik, dalam
politik praktis seperti yang ditemukan secara empiris oleh Machiavelli,
sah-sah saja saling menjatuhkan, meski kapanakan menjatuhkan mamak.
Tetapi dalam etika politik Minang tidak dibenarkan, fenomena itu mendago
(mendaga) mamak, melanggar hukum adat. Demo saja tidak pernah ada
berakar pada budaya Minang. Siapa saja yang penyaluran aspirasi dengan
tekanan demo, dari perspektif Minang, ketika demo itu mereka keluar dari
etika tak menjadi orang Minang. Sebab di Minang, tidak baik meneriakan
malu kepada orang, ajaran nilai adat: suku tak dapek diasak, malu tak dapek diagiahkan.
Penyelesaian sengketa/ kasus di Minang bertingkat dalam mekanisme informal adat, kasus privat diselesaikan mamak rumah/ paruik, penghulu andiko (mamak tertua di paruik), mamak jurai, mamak suku dan penghulu suku. Kasus komuninal
diselesaikan tuo kampung (penghulu memimpin kampung yang dipilih dari
penghulu andiko), mamak nagari dan KAN. Diyakini di Minang, tak ada
kasus yang tidak bias selesai: tak ado kusuik tak akan salasai/ tak ado karuh nan tak kajaniah.
Kalau tak jernih juga, masih ada tingkat mekanisme formal dengan hukum
formal mulai dari peradilan pemerintahan nagari dengan penegak hukumnya
polisi dan peradilan negeri. Karenanya perankanlah ninik mamak dan berdayakan kelembagaan adat dengan akomodasikan perda (sekarang
di samping Bamus, diakui atau tidak KAN masih berpeluang menjadi
lembaga yudikatif, menyelesaikan sengketa adat/ nagari dalam mekanisme
informal adat). Kalau ninik mamak dan lembabaganya berperan, tidak bakal
mau lagi lelaki dewasa Minang (dalam semua fungsinya di pemerintah,
masyarakat/ adat dan di swasta di kampung dan di rantau) yang meragukan
peran ninik mamak. Karena sikap itu berarti laki-laki dewasa Minang itu
sudah tak jelas lagi status kelaki-lakiannya di Minang, berarti ia sudah
menggugat perannya sendiri sebagai lelaki Minang, karena ia sendiri
lelaki, kalau sudah dewasa ia adalah mamak, meskipun tidak datuk. Datuk
itu bukankah ketua Ninik Mamak dipilih ninik mamak kaumnya dan dengan
ninik mamak lainnya itu berhimpun di KAN sebagai lembaga adat yang punya
historis panjang dan penting di nagari Minang.***
copy@right : pemerintahan-nagari-dari-masa-ke-masa,by : Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo