Pendahuluan
Polemik hubungan agama dan Negara masih menjadi perdebatan yang tidak berkesudahan dibanyak negeri Muslim sampai saat ini. Apakah agama menjadi wilayah privat individu warga Negara ataukah masuk dalam wilayah yang harus diatur oleh Negara?, bagaimana mengurai dan menjelaskan hubungan agama dan Negara juga menjadi persoalan yang belum menemukan solusi atau jawaban yang dapat dijadikan pedoman bersama.
Diantara persoalan itu adalah tidak adanya konsep yang baku cara bernegara dalam agama-agama, termasuk Islam. Yang lainnya adalah telah terbentuknya pencitraan buruk di tengah-tengah masyarakat akan kekerasan yang dilakukan oleh agama ketika berkuasa. Ataupun agama hanya sebagai alat legitimasi kekuasaan Negara untuk dimanfaatkan bagi berbagai kepentingan.
Sebelum kita lebih jauh membincangkan mengenai persatuan agama dan negara dalam perspektif M. Natsir. dalam hal ini, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan kata ”agama” dan apa yang dimaksud dengan kata ”negara” serta bagaimana kedudukan negara dalam Islam.
Pengertian Secara Umum Agama dan Negara
- a. Agama
Agama berasal dari bahasa Sangsekerta yang berarti tradisi, tidak bergerak, peraturan menurut konsep Veda. Sedangkan dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa ” Agama adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut”.[1]
Agama dalam bahasa arab ialah din, yang artinya : Taat, takut dan setia, paksaan, tekanan, penghambaan, perendahan diri, pemerintahan, kekuasaan, siasat, balasan, adat, pengalaman hidup, perhitungan amal. Sinonim kata din dalam bahasa arab ialah milah. Bedanya, milah lebih memberikan titik berat pada ketetapan, aturan, hukum, tata tertib, atau doktrin dari din itu.[2]
Sedangkan Endang Saifuddin Anshari mendefinisikan bahwa agama pada umumnya merupakan suatu sistema credo ’tata keimanan’ atau ’tata keyakinan’ atas adanya suatu yang mutlak diluar mansia. Selain itu ia juga merupakan sistema ritus ’tata peribadahan’ manusia kepada sesuatu yang dianggap Yang Mutlak, juga sebagai sistema norma ’tata kaidah’ yang mengatur hubungan antar manusia serta manusia dengan alam lainnya sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadahan itu.[3]
- b. Negara
Definisi negara dalam Kamu Bahasa Indonesia disebutkan bahwa negara adalah suatu kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi dibawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.[4]
Adapun pengertian Negra menurut para ahli antara lain:
- Georg Jellinek: Negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu.
- Georg Wilhelm Friedrich Hegel: Negara merupakan organisasi kesusilaan yang muncul sebagai sintesis dari kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal
- Prof. Mr. Soenarko: Negara ialah organisasi manyarakat yang mempunyai daerah tertentu, dimana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagai sebuah kedaulatan.
- Aristoteles: Negara adalah perpaduan beberapa keluarga mencakupi beberapa desa, hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya, dengan tujuan kesenangan dan kehormatan bersama. [5]
Tinjauan Historis Hubungan Agama dan Negara Masa Nabi SAW
Untuk mengetahui hubungan agama dan Negara pada masa Rasulullah saw, maka kita harus melihatnya pada proses pembentukan Negara yang dilakukan oleh Rasulullah di kota Madinah pada awal tahun Hijrah. Dimana beliau menjadikan agama sebagai dasar pembinaan masyarakat Madinah yang nantinya akan membentuk sebuah Negara Islam yang pertama.
Diketahui bersama bahwa ketika Rasulullah saw tiba di kota Madinah, maka bertemulah beberapa unsur kelompok masyarakat yang berbeda,[6] yang merupakan kewajiban sekaligus tantangan bagi beliau untuk membentuknya menjadi sebuah masyarakat yang bermartabat, dibangun di atas pondasi yang kokoh, dan memiliki tata aturan yang mengatur tingkah laku dan cara pergaulan di antara mereka (tatan masyarakat seperti ini, dikenal sekarang sebagai sebuah Negara).
Pembentukan Negara atau masyarakat dalam Islam untuk pertama kalinya, dikerjakan sendiri oleh Rasulullah saw. Dengan demikian beliau memberi pelajaran kepada kita bagaimana seharusnya Negara atau masyarakat Islam itu terbentuk, Langkah-langkah apa saja yang dilakukan oleh Rasulullah dalam membina masyarakat Madinah yang heterogen itu, menjadi satu keluarga besar, yang memperhatikan seluruh anggota masyakaratnya tanpa memandang asal suku dan kabilahnya. Itulah keluarga Islam “masyarakat atau negara Islam”. Berikut penjelasan singkat langkah-langkah praktis yang dilakukan oleh Rasulullah dalam membentuk Negara, komunitas atau masyarakat Islam itu:
1. Pembinaan Masyarakat Melalui Masjid
Sesampainya di Madinah, Rasulullah saw. segera menegakkan masyarakat islam yang kokoh dan terpadu, dan sebagai langkah pertama kearah itu, Rasulullah saw membangun masjid.[7] Tidaklah heran kalu masjid merupakan asas utama dan terpenting bagi pembentukan masyarakat Islam, karena masyarakat Islam tidak akan terbentuk kokoh dan rapi kecuali dengan adanya komitmen terhadap sistem, aqidah dan tatanan Islam, hal ini hanya bisa ditumbuhkan melalui semangat masjid.[8]
Di dalam masyarakat Islam masjid berkedudukan sebagai pusat pembinaan mental spiritual dan phisik material, tempat berhubungan dengan Tuhan sepanjang zaman, yang akan melahirkan hubungan yang kokoh antara hamba dengan Tuhannya dan akan menjadi sumber kekuatan individu-individu Muslim. Bagaimana tidak kaum muslimin diwajibkan melakukan kejama’ahan shalat fardu yang lima di masjid-masjid, dan shalat jum’at berjama’ah setiap minggu. Kejam’ahan shalat di masjid inilah yang akan membentuk jama’ah (masyarakat) Islam yang solid, menjadi kultur (adapt istiadat) perkampungan kaum muslimin, sehingga terwujud masyarakat yang “la khaufun ‘alaihim walahum yahzanun”.[9]
Masjid itu bukan sekedar tempat untuk melaksanakan shalat semata, tetapi juga menjadi sekolah bagi orang-orang Muslim untuk menerima pengajaran dan bimbingan-bimbingan Islam, sebagai balai pertemuan dan tempat untuk mempersatukan berbagai unsur kekabilahan dan sisa-sisa pengaruh perselisihan semasa Jahiliyah, sebagai tempat untuk mengatur segala urusan dan sekaligus sebagai gedung parlemen untuk bermusyawarah dan menjalankan roda pemerintahan.[10]
Kemudian diantara sistem dan prinsip islam adalah tersebarnya mahabba dan ukhuwah sesama kaum muslimin, tetapi ikatan ini tidak akan terjadi kecuali dalam masjid, dengan bertemunya kaum muslimin berkali-kali dalam sehari dimana kedudukan, kekayaan dan status sosial lainnya terhapuskan.
Dan juga sistem islam adalah terpadunya beraneka ragam latar belakang kaum muslimin dalam satu kesatuan yang kokoh diikat oleh tali Allah, ini pun bisa dilakukan bila masjid-masjid telah dibangun ditengah masyarakat muslim, karena masjid adalah tempat kaum muslimin beerkumpul mempelajari ajaran islam.[11]
2. Pembinaan Melalui Mempersaudarakan Sesama Kaum Muslimin
Sebagai langkah selanjutnya, Rasulullah mempersaudarakan para sahabatnya dari kaum Muhajirin dan Anshar.[12] Sebab masyarakat manapun, tidak akan berdiri tegak, kokoh tanpa adanya kesatuan dan dukungan anggota masyarakatnya. Sedangkan dukungan dan kesatuan tidak akan lahir tanpa adanya persaudaraan dan saling mencintai. Suatu masyarakat yang tidak disatukan oleh tali ikatan kasih sayang dan persaudaraan yang sebenarnya, tidak mungkin bersatu pada satu prinsip. Persaudaraan itu harus didasari oleh aqidah yang menjadi idiologi dan faktor pemersatu. Persaudaraan antara dua orang yang berbeda aqidah adalah mimpi dan khurafat. Oleh sebab itu Rasulullah menjadikan aqidah islamiyah yang bersumber dari Allah swt. Sebagai asas persaudaraan yang menghimpun hati para sahabatnya.[13]
Inilah di antara buah yang dihasilkan dari perjalanan hijra yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Pelajaran yang paling berharga bagi nilai kemanusiaan dari peristiwa ini adalah pengorbanan, pembelaan, dan itsar (mendahulukan kepentingan orang lain).dasar dari persaudaraan yang dilakukan oleh Rasulullah ini tidak memandang perbedaan suku, ras, dan status social . Rasulullah memandang sama mereka yang merupakan bangsa Arab maupun non-Arab. Antara orang yang bebas dan seorang budak. Antara seorang tokoh pada suatu kabilah dengan orang biasa. Dan antara orang kaya dan miskin.[14]
Persaudaraan yang dilakukan oleh Rasulullah diantara kaum muslimin tersebut tidak hanya antara Muhajirin dan Anshar saja, tetapi lebih luas dari itu, yakni dilakukan antara semsama orang-orang Muhajirin, dan sesame orang-orang Anshar. Hal ini dilakukan oleh Rasulullah dengan maksud merekatkan hubngan antara kabilah-kabilah kaum Muhajirin dan lebih khusus merekatkan hubungan suku Aus dan suku Khazraj yang sering berperang sebelum kedatangan Rasulllah ke Madinah. Menurut Imam Abdur Rahman al-Khats’ami dalam kitabnya Ar-Raudhul Unuf menyebutkan: “maksud dari persaudaraan ini adalah untuk menghilangkan kesepian lantaran meninggalkan kampong halaman mereka, dan menghibur karena berpisah dengan keluarga, disamping agar mereka saling membantu satu sama lain”.[15]
Praktek persaudaraan sebagaimana telah dijelasakan diatas, telah menghasilkan suatu ‘masyarakat Islam’ yang terdiri dari bermacam-macam kabilah dan unsure-unsur yang berbeda, tetapi masing-masing anggota masyarakat itu telah melupakan asal-usul keturunan dan golongannya. Mereka hanya melihat kepada ikatan Islam yang dijadikan Rasulullah sebagai ikatan persaudaraan di antara mereka.[16]
Untuk melihat gambaran kedekatan dan itsar di antara mereka. Allah SWT menggambarkannya dengan indah dalam al-Qur’an, surat al-hasyr ayat 9:
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung.” (Q.S. Al-Hasyr:9)
Rasulullah menjadikan persaudaraan Muhajirin dan Anshar sebagai asas bagi prinsip-prinsip keadilan sosial yang paling baik di dunia. Prinsip-prinsip ini kemudian berkembang dan mengikat menjadi hukum-hukum dan undang-undang syari’at yang tetap, yang berbasis pada ukhuwah islamiyah.
3. Perjanjian Kaum Muslimin Dengan Orang-orang di Luar Islam
Setelah Rasulullah mengokohkan persatuan kaum Muslimin, dan telah berhasil memancangkan sendi-sendi masyarakat Islam yang baru, dengan menciptakan kesatuan aqidah, politik dan sistem kehidupan di antara orang-orang Muslim, maka langka selanjutnya yang dilakukan oleh Rasulullah adalah menawarkan perjanjian damai kepada golongan atau pihak di luar Islam. Perhatian beliau pada saat itu adalah bagaimana menciptakan keamanan, kebahagiaan dan kebaikan bagi semua manusia, mengatur kehidupan di daerah itu dalam satu kesepakatan.[17]
Secara garis besar perjanjian antara Rasulullah dengan golongan di luar Islam yang kemudian dikenal dengan nama Piagam Madinah, dapat disebutkan empat prisip hukum yang terkandung di dalamnya, yaitu :
Pertama, pada pasal pertama disebutkan bahwa Islam adalah satu-satunya faktor yang dapat menghimpun kesatuan kaum muslimin dan menjadikan mereka satu ummat. Semua perbedaan akan sirna di dalam kerangka kesatuan yang integral ini. Ini merupakan asas pertama yang harus diwujudkan untuk menegakkan masyarakat Islam yang kokoh dan kuat.
Kedua, Pada pasal kedua dan ketiga disebutkan bahwa di ntara ciri khas terpenting dari masyarakat Islam ialah, tumbuhnya nilai solodaritas serta jiwa senasib dan sepenanggungan antar kaum Muslimin. Setiap orang bertanggungjawab kepada yang lainnya baik dalam urusan dunia maupun akhirat.
Ketiga, Pada pasal keenam disebutkan betapa dalamnya asas persamaan sesama kaum muslimin. Ia bungan hanya slogan, tetapi merupakan salah satu rukun syari’at yang terpenting bagi masyarakat islam yang harus diterapkan secara detil dan sempurna. Ini berarti bahwa jaminan seorang Muslim, siapapun orangnya, harus dihormati dan tidak boleh diremehkan.
Keempat, Pada pasal kesebelas disebutkan bahwa hakim yang adil bagi kaum Muslimin, dalam segala perselisihan dan urusan mereka, hanyalah syari’at dan hukum Allah swt yaitu apa yang terkandung di dalam kitab Allah swt dan sunnah Rasul-Nya. Jika mereka mencari penyelesaian bagi problematika mereka kepada selain sumber ini maka mereka berdosa dan terancam kesengsaraan di dunia dan siksa Allah swt di akhirat.[18]
Dutsur yang dibuat oleh Rasulullah saw ini, berdasarkan wahyu Allah swt dan ditulis para sahabatnya kemudian dijadikan undang-undang dasar yang disepakati kaum muslimin dan tetangganya yaitu Yahudi dan Arab Badui yang belum masuk Islam, merupakan bukti nyata bahwa masyarakat Islam sejak awal pertumbuhannya tegak berdasarkan undang-undang yang sempurna, bahwa masyarakat Islam sejak awal telah ditopang oleh perangkat perundang-undangan dan manajemen yang diperlukan setiap masyarakat atau negara. Dari sini tertolaklah tuduhan orang-orang yang mengatakan bahwa Islam hanya mengataur hubungan manusia dengan Rabbnya.[19]
Dengan terjalinnya perjanjian ini maka keamanan, ketentraman dalam merealisasikan ibadah kepada Allah dapat terwujud. Sesungguhnya dengan perjanjian ini maka orang-orang Yahudi tidak memiliki celah untuk mengadu domba kaum Muslimn ataupun masyarakat Madinah secara umum, sebab sudah tabiat Yahudi untuk selalu mengadu domba, serta kita sudah maklumi bahwa penyebab terjadinya peperangan yang berkepanjangan antara suku Aus dan suku Khazraj di Madinah adalah orang-orang Yahudi.
Terbentuknya masyarakat Islam pertama di bawah bimbingan Rasulullah saw dengan segala perangkatnya, mulai dari tata aturan pergaulan hingga perundang-undangan yang diberlakukan dalam kehidupan bermasyarakat, maka dapatlah dikatakan bahwa mayarakarat yang di bentuk oleh Rasulullah saw di Madinah adalah konsep masyarakat atau Negara modern pertama di dunia. sebab unsur-unsur untuk terbentuknya sebuah Negara sudah terpenuhi pada masyarakat yang dibentuk oleh Rasulullah saw di Madinah.[20]
Pandangan M. Natsir Tentang Hubungan Agama dan Negara
Kajian tentang M. Natsir akan selalu menarik, baik kepribadian[21], sikap dan pemikirannya. Tentang pemikiran M. Natsir sudah tampak sejak ia berusia muda, ia gemar membaca buku-buku dan peka’ terhadap kejadian atau peristiwa-peristiwa keummatan. Konsep agama (Islam) dan negara merupakan hasil pemikiran M. Natsir. Maka oleh sebab itu dalam tulisan ini akan mencoba untuk membahas pandangan dan penjabaran M. Natsir mengenai konsep agama; kaitannya dengan negara, bentuk negara yang ideal, ajaran-ajaran Islam yang perlu diaplikasikan dalam negara dan lain sebagainya[22].
Pemikiran M. Natsir tentang hubungan agama dan negara ini dapat kita jumpai dalam tulisan-tulisan beliau terutama yang dimuat di majalah Panji Islam dan Al-Manaar[23] sebagai tanggapan terhadap seri-artikel Ir. Soekarno[24]. Di antara tulisan-tulisan itu adalah: 1. Cinta Agama dan Tanah Air, 2. Ichwanushshafah (Mei 1939), 3. Rasionalisme Dalam Islam (Juni 1939), 4. Islam dan Akal Merdeka (1940), 5. Persatuan Agama dan Negara.[25]
Adapun bahasan kita dalam tulisan ini fokus pada Persatuan Agama dan Negara yang merupakan tanggapan M. Natsir terhadap tulisan Ir. Soekarno yang berjudul ”Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dan Negara”. Dalam tulisannya, Bung Karno menyebut sekularisasi yang dijalankan Kemal Attaturk di Turki-yakni pemisahan agama dari negara-sebagai langkah ”paling modern” dan ”paling radikal”. Kata Bung Karno: ”Agama dijadikan urusan perorangan. Bukan Islam itu dihapuskan oleh Turki, tetapi Islam itu diserahkan kepada manusia-manusia Turki sendiri, dan tidak kepada negara. Maka oleh karena itu, salahlah kita kalau mengatakan bahwa Turki adalah anti-agama, anti-Islam. Salahlah kita, kalau kita samakan Turki itu dengan, misalnya, Rusia. ”Menurut Soekarno, apa yang dilakukan Turki sama dengan yang dilakukan negara-negara Barat. Di negara-negara Barat, urusan agama diserahkan kepada individu pemeluknya, agama menjadi urusan pribadi, dan tidak dijadikan sebagai urusan negara. Jadi simpul Soekarno, buat keselamatan dunia dan buat kesuburan agama-bukan untuk mematikan agama itu-urusan dunia diberikan kepada pemerintah, dan urusan agama diberikan kepada yang mengerjakan agama.[26]
M. Natsir mengkritik keras pandangan Soekarno tentang pemisahan agama dengan negara[27]. Natsir meyakini perlunya membangun negara yang diinspirasikan oleh nilai-nilai Islam.[28] Orang Islam, kata Natsir, mempunyai falsafah hidup dan idiologi sebagaimana agama atau paham yang lain, dan falsafah serta iodiologi itu dapat disimpulkan dalam satu kalimat al-Qur’an :
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur ?wÎ) Èbrß?ç7÷èu?Ï9 ÇÎÏÈ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.(Q.S. Addzariyat: 56)[29]
Oleh karena itu segala aktivitas muslim untuk berbangsa dan bernegara harus ditujukan untuk pengabdian kepada Allah. Yang tentunya berbeda dengan tujuan mereka yang berpaham netral agama. Untuk itu, Tuhan memberi berbagai macam aturan mengenai hubungan dengan Tuhan dan aturan menegenai hubungan di antara sesama makhluk yang berupa kaidah-kaidah yang berkenaan dengan hak dan kewajiban. Itulah sebenarnya yang oleh orang sekarang disebut “urusan kenegaraan”. Yang orang sering lupa ialah bahwa pengertian “agama” menurut Islam bukanlah hanya urusan “ibadat” saja, melainkan meliputi semua kaidah dan hudud dalam muamalah dalam masyarakat. Dan semuanya sudah tercantum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.[30]
Untuk menjaga agar segala peraturan itu dilaksanakan dengan baik, diperlukan suatu kekuatan dalam pergaulan hidup berupa kekuasaan dalam negara, karena sebagaimana buku undang-undang yang lain, Al-Qur’an pun tak dapat berbuat apapun dengan sendirinya.
Sebagai contoh, Islam mewajibkan agar orang Islam membayar zakat sebagaimana mestinya; bagaimana undang-undang kemasyarakatan ini mungkin berlaku dengan beres, kalau tidak ada pemerintah yang mengawasi berlakunya? Islam melarang zina, judi, minum arak yang merupakan penyakit masyarakat yang menggerokoti sendi-sendi pergaulan hidup; bagaimana larangan itu dapat dilaksanakan kalau negara bersikap “masa bodoh” saja dengan alasan “negara netral agama”?.[31]
Rinkasnya, kata Natsir, “Bagi kita kaum Muslimin, “Negara” bukanlah suatu badan yang tersendiri yang menjadi tujuan. Dan dengan “Persatuan Agama dan Negara” kita maksudkan, bukanlah bahwa “Agama” itu cukup sekedar dimasuk-masukkan saja disana sini kepada “Negara” itu. Bukan begitu! Negara, bagi kita, bukan tujuan, tetapi alat. Urusan kenegaraan pada pokoknya dan pada dasarnya adalah suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan, satu “intergreered deel” dari Islam. Yang menjadi tujuan ialah : Kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan perikehidupan manusia sendiri (sebagai individu), ataupun sebagai anggota dari masyarakat. Baik yang berkenaan dengan kehidupan dunia yang fana ini, ataupun yang berhubungan kehidupan akhiran kelak.[32]
Selanjutnya, M Natsir mengutarakan bahwa seringkali orang mempunyai ‘logika’: “Dahulu di Turki ada persatuan agama dengan negara. Buktinya ada Khalifah yang katanya juga menjadi Amirul Mukminan. Akan tetapi waktu itu Turki negeri yang mundur, tidak modern, negeri “sakit”, negeri “bobrok”. Sekarang di Turki, Agama sudah dipisahkan dari negara. Lihat, bagaimana majunya, bagaimana modernnya. Politik Kemal dkk berarti betul”.
Ketidakfahaman terhadap negara dalam Islam, negara yang menyatukan agama dan politik, pada dasarnya bersumber dari kekeliruan memahami gambaran pemerintahan Islam. “Kalau kita terangkan, bahwa agama dan negara harus bersatu, maka terbayang sudah di mata seorang bahlul (bloody fool) duduk di atas singgahsana, dikelilingi oleh “haremnya” menonton tari “dayang-dayang”. Terbayang olehnya yang duduk mengepalai “kementerian kerajaan”, beberapa orang tua bangka memegang hoga. Sebab memang beginilah gambaran ‘pemerintahan Islam’ yang digambarkan dalam kitab-kitab Eropa yang mereka baca dan diterangkan oleh guru-guru bangsa barat selama ini. Sebab umumnya (kecuali amat sedikit) bagi orang Eropa: Chalifah = Harem; Islam = poligami.” Natsir berkata bahwa bila ingin memahami agama dan negara dalam Islam secara jernih, hendaknya kita mampu menghapuskan gambaran keliru tentang negara Islam di atas. Secara implisit Natsir menilai bahwa gambaran “negara Islam” seperti inilah yang terdapat dalam pandangan Soekarno maupun Kemal. [33]
Ir. Soekarno berkata: “Tidak ada ijma’ ulama tentang agama dan negara harus bersatu”.
Menanggapi pernyataan Soekarno tersebut, Natsir secara tersirat menilai Soekarno tidak objektif dalam mengemukakan pendapatnya. Sebab, di satu pihak ia menganjurkan agar umat Islam membuang “warisan tradisional” gedachte traditie. Tetapi, di lain pihak ia sendiri secara sadar mengutip konsep tradisional, bahwa tidak ada ijma tentang persatuan agama dengan negara. Natsir kemudian menyatakan, Baik, tapi kita bertanya pula: “Mana pula ijma’ ulama yang mengatakan bahwa agama dan negara tidak harus bersatu?” atau kita katakan “Bagaimanakah, kalau andaikata, kita beri keterangan bahwa sesungguhnya ada ijma ulama yang berkata begitu? Apakah Ir. Soekarno akan menerima keputusan ijma ulama itu, ataukah tidak? Atau nanti beliau akan berkata ‘Ya, itu cuma satu ijma ulama, satu gedachte traditie’, dan bukanlah saya sudah bilang bahwa semua ‘gedachte traditie’ itu harus dilempar jauh-jauh.”[34]
Adapun tanggapan Natsir terhadap pandangan Syaikh Ali Abdur Raziq[35] yang dikutip Soekarno bahwa Nabi hanyalah mendirikan agama saja dan tidak mmendirikan negara adalah bahwa eksistensi negara merupakan suatu keharusan di dunia ini, di zaman apa pun. “Memang negara tidak perlu disuruh didirikan oleh Rasulullah lagi. Dengan atau tidak dengan Islam, negara memang bisa berdiri dan memang sudah berdiri sebelum dan sesudah Islam, di mana saja ada segolongan manusia yang hidup bersama-sama dalam satu masyarakat.
Hanyalah yang dibawa oleh nabi Muhammad saw ialah beberapa patokan untuk mengatur negara, supaya negara itu menjadi kuat dan subur, dan boleh menjadi wasilah (sarana) yang sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan hidup manusia yang berhimpun dalam negara itu, untuk keselamatan diri dan masyakat, untuk kesentosaan perseoarngan dan umum. Dalam pada itu, apakah yang menjdi kepala pemerintahan itu memakai titel Khalifah atau tidak, bukanlah urusan yang utama. Asal saja yang diberi kekuasaan itu sebagai ulil-amri kaum muslimin, sanggup bertindak dan peraturan-peraturan Islam berjalan dengan semestinya dalam susunan kenegaraan, baik dalam kaedah maupun praktek.[36]
Mahmud Essad Bey, menurut Ir. Soekarno pernah berkata bahwa “Apabila agama dipakai buat memerintah, ia selalu dipakai sebagai alat penghukum ditangan raja-raja, orang zalim dan orang-orang tangan besi”. M Natsir mengatakan, “Seseorang yang melemparkan tuduhan yang begitu berat, sekurang-kurangnya mempunyai kewajiban untuk menjunjkkan bukti. Manakah dari ajaran-ajaran Islam yang mungkin dipakai menjadi alat oleh orang-orang yang zalim.” Tetapi kalau dikatakan bahwa orang yang zalim dan jahat seringkali memakai agama sebaagi kedok, itu memang tak usah dibantah lagi. Orang yang memang sudah bersifat jahat dan zalim, apa saja yang mungkin dijadikanya kedok untuk menyembunyikan kezalimannya, tentu digunakannya. Hal ini berlaku baik di timur maupun barat, agama Islam, kristen, budha dan bisa juga apa yang dinamakan orang demokrasi, aristokrasi historical materialisme Karl Marx dll.[37]
Selanjutnya Ir. Soekarno dalam tulisannya ”Apa Sebab Turki memisahkan Agama dengan Negara” mengemukakan alasan untuk membela pemimpin Turki Muda, antara lain: “Disuatu negara demokrasi, yang ada dewan perwakilan rakyanya, yang sebenarnya mewakili Rakyat, dapat ‘dimasukkan’ segala macam keagamaannya dalam tiap-tiap tindakan negara dan kedalam tiap-tiap wet yang dipakai di dalam negara itu walaupun disitu agama dipisahkan dari negara, asal sebagian besar dari anggota-anggota parlemen, politiknya politik agama, maka semua pututsan-putusan perlemen itu dengan sendirinya akan berisi fatwa-fatwa agama pula. Asal sebagian besar dari anggota-anggota parlemen itu politiknya politik Islam, maka tidak akan berjalanlah satu produk yang tidak bersifat Islam”.
M Natsir menanggapi dengan mengatakan, kalau kebetulan sebagian besar dari anggota parlemen isu islamnya seperti islamnya Kemal Pasya, yakni yang tidak menghagakan peraturan-peratuan agama sepeserpun. Apakah yang akan terjadi? Dan bagaimana pula kalau sebabian besar, atau 100% dari anggota-anggota parlemen itu politiknya bukan politik Islam walaupun bibirnya mengatakan bahwa mereka ‘beragama’ juga, apakah yang akan terjadi?
Mungkin ada orang akan berkata: “Bukankah Islam itu bersifat demokratis?”. Natsir mengatakan bahwa Islam memang bersifat ”demokratis” denga arti bahwa Islam itu anti istibdad, anti absolutisme antai sewenang-wenang. Akan tetapi tidak berarti bahwa dalam pemerintahan Islam itu semua urusan diserahkan kepada keputusan msyarawah Majelis Syura. Dalam parlemen negara Islam, tidaklah akan dipermusyawaratkan terlebih dulu, apakah yang harus menjadi dasar bagi pemerintahan dan tidaklah mesti ditunggu keputusan parlemen terlebih dulu, apakah perlu diadakan pembasmian meminum arak atau tidak. Begitu pula untuk pembasmian judi dan kecabulan, pemberantasan khurafat dan kemusyrikan atau tidak. Itu semua bukan hak msyawarah parlemen. Yang mungkin diperbincangkan ialah cara-cara untuk menjalankan semua hukum itu. Adapun prinsip dan kaedahnya sudah tetap, tidak boleh dibongkar-bongkar lagi.[38]
Diakhir rangkaian tulisan M. Natsir tersebut, beliau mengatakan ”Dalam urusan persatuan dan pemisahan agama dari negara ini, kita orang Islam tidak hendak berdalil kepada Turki, tidak kepada Mesir,[39] dan tidak negara manapun juga. Kita orang Islam tidak memakai sejarah sebagai ukuran dan tidak hendak berhakim kepada riwayat. Urusan ini bukan urusan ”ramalan” yang harus dipersaksikan betul atau melesetnya oleh riwayat di masa depan.[40]
Penutup
Membaca gagasan-gagasan Soekarno dan Muhammad Natsir di atas memberikan kesan adanya pertentangan gagasan tajam di antara kedua tokoh tersebut. Soekarno, berdasarkan analisis perkembangan sejarah, berkesimpulan bahwa agama dan negara tidak dapat disatukan. Keduanya harus dipisahkan. Sementara, Natsir menilai bahwa agama dan negara dapat dan harus disatukan, sebab Islam tidak seperti agama-agama lainnya, merupakan agama yang serba mencakup (komprehensif). Persoalan kenegaraan pada dasarnya merupakan bagian dari dan diatur Islam.
Kesimpulan pemikiran M Natsir tentang agama dan negara dapat kita ringkaskan dari tulisan beliau yang berjudul “Berhakim pada Sejarah”. Yaitu:
- Agama Islam mempunyai aturan yang berkenaan dengan hukum-hukum kenegaraan dan uqubat (pidana), muamalah yang semuanya itu adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari agama Islam itu sendiri
- Orang yang tidak mau negara menjalankan semua peraturan agama Islam yang berhubungan dengan hal tersebut pada hakekatnya bukan memisahkan agama dari negaa, malainkan melemparkan sebgian dari hukum-hukum Islam
- Islam bersikaf ”Demokratis” tetapi tidak semua hal (termasuk hukum-hukum tetap) harus distem pula lebih dulu dalam parlemen.
- Kalau kekuasaan ada dalam tangan orang Islam (bukan Kemalisten), orang-orang beragama lain tak usah khawatir. Mereka akan mendapat kemerdekaan bergama secara luas.
- Orang yang tidak mau mendasarkan negara kepada hukum-hukum Islam dengan alasan tidak mau merusakkan hati orang yang bukan beragama Islam, sebenarnya berlaku zalim kepada orang Islam sendiri yang bilangannya 20 kali lebih banyak. Ini berarti merusakkan hak-hak mayoritas, bukan lantaran hak-hak itu berlawanan dengan hak-hak dan kepentingan minoritas tapi semata-mata takut kalau-kalau pihak minoritas itu tidak suka.
- Masalah Agama dan Negara ini memang suatu masalah yang penting. Ini tidak berarti bahwa masalah-masalah shalat, Haji, uasa dan sebagainya tak usah dibincangkan sama sekali
Daftar Pustaka
- Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradigma dan Sistem Islam, Jakarta GIP, 2004
- Anwar Harjono et.all., Pemikiran dan perjuanagan Mohammad Natsir, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001,
- Dwi Purwoko et. all., Negara Islam, Depok: PT. Permata Artistika Kreasi, 2001.
- DP. Sati Alimin, M.Natsir versus Soekarno, Padang: Jajasan Pendidikan Islam Padang, 1968.
- M. Natsir, Capita Selecta 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
- Adian Husaini, Indonesia Masa Depan Perspektif Peradaban Islam, Orasi Ilmiah dalam acara Tasyakkur gelar “Doktor” Adaian Husaini oleh INSISTS di Aula Masjid Al-Furqan Dewan Da’wah, 18 April 2009
- Ajib Rosidi, M. Natsir Sebuah Biografi, Jakarta: Grimukti Pasaka, 1990. hlm. 256
- Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997
- Ahmad Shalaby, Masyarakat Islam, Jogyakarta: tanpa penerbit, 1957.
10. Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury, Ar-Rahiqul Maktum, Bahtsun Fis-Sirah An-Nabawiyah Ala Shahibiha Afdhalish-Shalati Was-Salam, Beirut: Muassasah Arrisalah, 1999
11. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Rabbani Press, 2001.
12. HM Shalahuddin Sanusi, Pembangunan Masyarakat Masjid; Format Pembangunan Berparadigma Surgawi, Sukabumi: Lembaga Pembinaan ‘Imaratul Masajid, 2003.
13. Ahzami Samiun Jazuli, Hijra dalam Pandangan Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani Press, 2006.
14. Dede Rosyada et. All, Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media, 2000.
15. http://id.wikipedia.org/wiki/
[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997. hlm. 10
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Agama diakses terakhir tanggal 12 Mei 2009
[3] Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradigma dan Sistem Islam, Jakarta GIP, 2004. hlm. 30
[4] Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 685
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Negara diakses terakhir 12 Mei 2009
[6] Setidaknya ada tiga golongan besar, yaitu: a) Golongan Anshar, terdiri dari beberapa kabilah yang sebelumnya saling bermusuhan. b). Golonga Yahudi, terkenal dengan kelicikannya baik dalam perdagangan maupun membuat provokasi-provokasi yang tidak jarang menyebabkan terjadinya perang saudara. c). Golongan Muhajirin, yang datang dari Makkah tanpa membawa apa-apa, sehingga sangat membutuhkan pertolongan. Lihat Ahmad Shalaby, Masyarakat Islam, Jogyakarta: tanpa penerbit, 1957. Hlm. 38
[7] Masjid Nabawi dibangun diatas tempat menderumnya onta beliau, milik dua anak yatim yang kemudian ditebus oleh rasulullah. Dalam pembangunan masjid tersebut Rasulullah terjun langsung bersama kaum Muslimin sambil memberi semangat kepada mereka dengan bersya’ir. Lihat Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury, Ar-Rahiqul Maktum, Bahtsun Fis-Sirah An-Nabawiyah Ala Shahibiha Afdhalish-Shalati Was-Salam, Beirut: Muassasah Arrisalah, 1999. hlm. 184
[8] Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Rabbani Press, 2001, hal. 171
[9] HM Shalahuddin Sanusi, Pembangunan Masyarakat Masjid; Format Pembangunan Berparadigma Surgawi, Sukabumi: Lembaga Pembinaan ‘Imaratul Masajid, 2003. hlm. 110
[10] Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury, Ar-Rahiqul Maktum, Bahtsun Fis-Sirah An-Nabawiyah Ala Shahibiha Afdhalish-Shalati Was-Salam, hlm. 185
[11] Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, Sirah Nabawiyah, hlm. 171
[12] Ibnu Ishak berkata: di antara yang di persaudarakan adalah Abu Bakar ash-Shiddiq dengan Kharijah bin Zuhair, Umar bin Khattab dengan Utbah bin Malik, Abdurrahman bin Auf dengan Sa’ad bin Rabi, Ammar bin Yasir denganhudzaifah bin Yaman, Abu Dzar dengan al-Munzir bin Amr, Hamzah bin Abdul Muthalib dengan Zaid bin Haritsah, Bilal bin Raba dengan Abu Ruwaihah Abdullah bin Abdurrahman al-Khats’ami dan sahabat-sahabat lainnya yang mencapai 90 orang. Lihat Ahzami Samiun Jazuli, Hijra dalam Pandangan Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani Press, 2006. hlm. 262
[13] Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Rabbani Press, 2001, hal. 176-177
[14] Ahzami Samiun Jazuli, Hijra dalam Pandangan Al-Qur’an, hlm.261-262
[15] Ahmad Shalaby, Masyarakat Islam, Jogyakarta: tanpa penerbit, 1957. hlm. 41-42
[16] Ibid. hlm. 43
[17] Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury, Ar-Rahiqul Maktum, Bahtsun Fis-Sirah An-Nabawiyah Ala Shahibiha Afdhalish-Shalati Was-Salam, hlm. 192
[18] Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, Sirah Nabawiyah, hlm. 182-184
[19] Ibid. hal. 181
[20] Dalam rumusan Konvensi Montevideo tahun 1993 disebutkan bahwa dikatakan suatu Negara bila memiliki 3 (tiga) unsur yaitu: Rakyat (masyarakat/warganegara), Wilayah tertentu dan Pemerintahan yang berdaulat. Lihat Dede Rosyada et. All, Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media, 2000. Hlm. 45
[21] Yusril Ihza Mahendra menyebut Natsir sebagai pribadi yang penuh pesona. Kepribadiannya serta perilaku politiknya dalam sejarah seringkali menjadi bahan kajian para sejarawan maupun ilmuwan politik. Lihat Anwar Harjono et.all., Pemikiran dan perjuanagan Mohammad Natsir, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001, hlm.17
[22] Dwi Purwoko et. all., Negara Islam, Depok: PT. Permata Artistika Kreasi, 2001, hlm.65
[23] Panji Islam adalah majalah mingguan di Padang dipimpin oleh tokoh Masyumi Zainal Abidin Ahmad. terbit tahun 1933 sampai 1942 sebanyak 2000 eksemplar dan disebar keseluruh indonesia dan Malaya. Sedangkan mmajalah Al-Manar adalah majalah bulanannya. Lihat DP. Sati Alimin, M.Natsir versus Soekarno, Padang: Jajasan Pendidikan Islam Padang, 1968. hlm.vii
[24] Dalam rentan tahun 1938 – 1940-an Ir. Soekarno banyak menulis artikel yang dimuat di majalah Panji Islam, diantaranya adalah: 1. Memudahkan Pengertian Islam, 2. Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dan Negara, 3. Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara, 4. Islam Sontoloyo dan lain-lain. M. Natsir, Capita Selecta 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1973. hlm. 429
[25] Antara tahun 1936 sampai tahun 1941, M. Natsir menulis tidak kurang dari 90 karangan. Diantara tlisan-tulisan tersebut banyak dalam bentuk tulisan yang berseri. DP. Sati Alimin, M.Natsir versus Soekarno, hlm. x
[26] Adian Husaini, Indonesia Masa Depan Perspektif Peradaban Islam, Orasi Ilmiah dalam acara Tasyakkur gelar “Doktor” Adaian Husaini oleh INSISTS di Aula Masjid Al-Furqan Dewan Da’wah, 18 April 2009. hlm. 33
[27] Selain Natsir yang mengkritik tulisan-tulisan Bung Karno tersebut, ada juga A. Hasan melalui majalah Al-Lisan, T.M. Habi Ash-Shiddieqy menulis di majalah Lasjkar Islam, sedangkan H. Siradjuddin Abbas yang memimpin partai ahli tarekat Perti, menulis dalam majalah Suarti. Ajib Rosidi, M. Natsir Sebuah Biografi, Jakarta: Grimukti Pasaka, 1990. hlm. 256
[28] Dwi Purwoko et. all., Negara Islam, hlm. 82
[29] M. Natsir, Capita Selecta 1, hlm. 436
[30] Ajib Rosidi, M. Natsir Sebuah Biografi, hlm. 292
[31] Ibid, hlm. 293
[32] Ibid, hlm. 294
[33] M. Natsir, Capita Selekta 1, hlm. 438
[34] Ibid. hlm. 434
[35] Salah seorang Ulama Azhar, buku yang dikutip oleh Soekarno adalah Al Islam wal Usul-ul-hukum. Tapi menurut Natsir bahwa Soekarno salah mengutip karena dalam buku tersebut tidak satu barispun yang mengatakan seperti yang dikutip Soekarno, bahkan Natsir pun yakin kalau Soekarno tidak membaca sendiri buku terseut sebab ia tidak paham Bahasa Arab. Lihat Ajib Rosidi, M. Natsir Sebuah Biografi, hlm. 305
[36] M. Natsir, Capita Selekta 1, hlm. 443
[37] Ibid. hlm. 445
[38] Ibid. hlm. 452
[39] Paham untuk menjadikan Mesir sebagai model pemirintahan dibawakan oleh AR Baswedan dengan berargumen bahwa Rasyid Ridha dengan Al Manarnya membolehkan membentuk gerakan dengan asas selain Islam. Tetapi hal ini pun dibantah oleh M. Natsir dengan jawaban ringkas: Rasyid Ridha tidak membolehkan suatu gerakan berasas di luar Islam, bahkan M. Natsir menantang Baswedanuntuk menghadirkan ahli Bahasa Arab untuk menafsirkan kitab Al-Manar yang dianggap salah ditafsirkan oleh Baswedan. Lihat Dwi Purwoko et. all., Negara Islam, hlm. 91
[40] Ajib Rosidi, M. Natsir Sebuah Biografi, hlm. 307