______---Assalamualaikum sahabat ku........Selamat datang di " Kantie Baselo " .........Jika kau memerlukan nikmat dunia, cukuplah Islam sebagai nikmatmu. Jika kau memerlukan keasyikan, cukuplah taat pada Allah sebagai keasyikanmu. Dan jika kau memerlukan pengajaran, cukuplah maut itu sebagai pengajaran bagimu (Ali ibn Abi Thalib), semoga bermanfaat---_______

Tuesday, November 30, 2010

Keutamaan Diam

Posted by Dovi Eka Wiranata |



Saya menyingkat kalimat “Dahulukan Islam di Atas Mazhab” menjadi DIAM. Ttulisan ini tidak membicarakan keutamaan DIAM, tapi keutamaan diam dalam arti harfiah. Ada sebuah ungkapan terkenal yang mengatakan:
إذ كان الكلام من فضة فالسكوت من ذهب
“Jika berbicara itu perak, maka diam adalah emas.”
Meski diam memiliki keutamaan, bukan berarti semua diam juga memiliki keutamaan. Ada tiga jenis diam yang dijelaskan oleh Khalil Al-Musawi dalam bukunya Kaifa Tatasharruf bi Hikmah, yakni:
  • Diam karena berpikir dan hikmah
  • Diam dari amar makruf nahi mungkar
  • Diam yang merupakan penyakit
Dari ketiga jenis diam di atas, hanya diam jenis pertama yang memiliki keutamaan. Diamnya orang yang berpikir adalah mengendalikan akalnya agar memperoleh hikmah serta menjaga lisannya untuk mengucapkan hikmah. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Diam merupakan di antara pintu-pintu hikmah.”
Contoh nyata diam yang memiliki hikmah adalah diamnya Allamah Thabathabai, penulis Tafsîr Al-Mîzân. Banyak orang bercerita, salah satunya murid beliau yang bernama Syekh Taqi Misbah, bahwa sedikit orang yang mengetahui kedalaman ilmu Allamah, karena di majelis ia banyak diam. Jika tidak ditanya, ia tidak akan berbicara. Tetapi ketika ia berbicara, barulah seluruh perhatian orang-orang tercurah kepadanya.
Mungkin inilah maksud dari ucapan Rasulullah saw., “Jika engkau melihat seorang mukmin diam, maka dekatilah. Karena dia akan menyampaikan hikmah.” (Mîzân Al-Hikmah, jil. 5, hlm. 436). Sayidina Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, “Sesungguhnya sedikit bicara adalah kebaikan bagi dirinya, dan banyak bicara adalah dibenci. Tidak akan tergelincir orang yang diam, dan tidak ada yang diperoleh dari orang yang banyak bicara kecuali ketergelinciran.”
Sedangkan diam yang kedua, yaitu diam dari amar makruf nahi mungkar, jelas sangat berbahaya. Ketika kejahatan dan kezaliman semakin meluas, seorang ulama memiliki peran penting, karena (seharusnya) ucapan ulama diikuti oleh orang banyak. Ketika pemimpin pemerintahan bertindak zalim, ulama harus melawan minimal dengan ucapannya. Rasulullah bersabda, “Jihad yang paling utama adalah berkata benar di hadapan penguasa zalim.”
Diam yang ketiga, yakni karena penyakit atau malu, bisa disebabkan tiga faktor; keturunan, pendidikan, atau lingkungan. Namun ini semua masih bisa diubah jika seseorang menginginkannya. Beberapa teman mengatakan saya pendiam. Namun semoga diamnya kita semua merupakan bagian memikirkan kekuasaan Allah. Wallahualam.

Monday, November 29, 2010

Mengapa Kita Cenderung “Menghakimi”?

Posted by Dovi Eka Wiranata |


Kecenderungan manusia untuk “menghakimi” (yaitu, melabeli, mengkritik, menghukum, dan sebagainya) memainkan peran penting dalam mendorong pemisahan diantara kita. Untuk alasan apa pun, pikiran kita agaknya memiliki apa yang tampaknya menjadi kecenderungan alami untuk memberikan penilaian pada orang, tempat, situasi, dll
Meskipun tidak ada seorang pun yang ingin dianggap menghakimi, sepertinya deskripsi ini membawa konotasi yang sangat negatif, faktanya adalah bahwa semua orang pernah menghakimi. Pada dasarnya adalah mustahil untuk sepenuhnya menghindari melakukan penilaian, karena kenyataannya hampir setiap pikiran kita memiliki beberapa penilaian yang terkait dengannya.
Sebagai contoh, untuk menilai makanan sebagai lezat adalah penilaian, seperti komentar yang  menyebutkan orang tertentu sebagai menarik. Namun, sangat penting di sini untuk membuat perbedaan antara istilah penilaian dan observasi. Penilaian melibatkan pendapat Anda bersama dengan emosi Anda, sedangkan observasi hanya melibatkan komentar pada apa yang Anda perhatikan. Dalam setiap peristiwa, langkah pertama dalam mengenali kecenderungan Anda untuk menilai adalah dengan mengakui kepada diri sendiri bahwa Anda sedang melakukan penilaian. Hal ini tidak berarti dengan cara apapun bahwa Anda adalah orang yang menghakimi, melainkan hanya berarti bahwa Anda mengakui kecenderungan perilaku ini bukan menyangkal. Hanya ketika Anda sadar untuk menerima bahwa Anda melakukan penghakiman secara teratur, Anda dapat mulai untuk menjadi lebih sadar ketika Anda melakukannya.
Hal ini juga sangat penting untuk memahami tentang apa arti menilai orang lain. Secara khusus, alasan kita menilai orang lain adalah bahwa kita melihat mereka, bukan sebagai mereka, tetapi seperti kita. Dengan kata lain, kita memfilter mereka melalui sistem keyakinan kita. Oleh karena itu, penilaian kita tidak benar-benar mengatakan apa-apa tentang orang lain; mereka hanya menggambarkan apa persepsi kita. Setiap kali seseorang berbuat tidak ‘sesuai’ dengan standar pribadi kita, kita secara otomatis memberi semacam penilaian pada mereka.

Melakukan refleksi kembali saat itu dalam hidup kita, menerima kenyataannya bahwa, jauh di dalam hati, kita tahu bahwa menilai orang lain itu salah, tapi kita tak punya kesadaran untuk mengatasinya. Sampai kita mengerti bahwa menilai orang lain hanya mendefinisikan preferensi kita, dan bahwa orang-orang akan tetap menjadi apa pun menurut preferensi mereka, setelah itu hidup kita tidak pernah benar-benar sama lagi. Tentu saja, kita masih tetap punya kecenderungan untuk menilai, tetapi perbedaannya adalah bahwa sekarang kita setidaknya memiliki kesadaran ketika kita sedang menghakimi sesuatu, sedangkan di masa lalu, kita sama sekali tidak menyadari itu. Kesadaran ini tidak hanya dirasakan pada tingkat intelektual, tetapi sering secara fisik juga, karena kadang-kadang kita benar-benar merasakan sensasi dalam dada kita ketika ketika sedang menghakimi. Poin lain yang sangat penting untuk memahami tentang penilaian dijelaskan dalam bagian yang sangat menarik dari sebuah buku berjudul, “You Are The Answer”, oleh Michael J. Tamura:
Kita bisa menipu diri sendiri ke dalam kepercayaan bahwa kita pada dasarnya berbeda dari orang yang kita hakimi, namun, sebenarnya, kita tidak pernah dapat mengenali pada orang lain apa yang tidak kita miliki dalam diri kita sendiri.
Silakan baca kutipan di atas sekali lagi dan mengambil beberapa saat untuk merenungkan hal itu; ini dapat menjadi konsep yang sangat sulit untuk dipahami. Yang pada dasarnya berarti bahwa apa pun tentang orang lain yang sangat mengganggu Anda sebenarnya mencerminkan kembali kepada diri Anda suatu aspek dari diri Anda yang sangkal, tekan, atau belum belajar untuk mencintai. Ini  adalah kutipan dari buku Debbie Ford “The Dark Side of the Light Chaser” yang dibangun berdasarkan titik yang sangat penting ini:
Kemarahan kita atas perilaku orang lain biasanya mengenai aspek yang belum terselesaikan dari diri kita sendiri. Jika kita mendengarkan segala sesuatu yang keluar dari mulut kita ketika kita berbicara dengan orang lain, menghakimi orang lain, atau memberi nasihat, kita harus berbalik dan seolah olah memberikannya pada diri kita sendiri.
Ini adalah konsep yang jelas yang menantang bagi kita untuk menerima, terutama karena pada tingkat sadar, kita hampir tidak menyadari bahwa aspek-aspek tersebut bahkan ada. Namun, jika Anda berpikiran cukup terbuka, dapat memberi Anda sudut pandang lain untuk pemahaman yang lebih baik dari diri Anda. Misalnya, bila Anda menemukan diri Anda menghakimi, Anda dapat menggunakannya sebagai kesempatan untuk melihat ke dalam diri dan bertanya pada diri sendiri, “Apa yang orang ini tunjukkan tentang diriku?” Jawabannya mungkin tidak datang dengan segera, tetapi jika Anda tulus dalam niat Anda untuk menemukan itu, pada akhirnya Anda akan menemukan.

Jika Anda benar-benar jujur dengan diri sendiri dalam proses ini, sangat mungkin bahwa Anda akan juga cenderung melakukan hal yang sama.
Hal terakhir yang harus Anda perhatikan terhadap penilaian adalah jika Anda terlibat di dalamnya, akan dapat mengganggu hubungan Anda dengan Divinity itu sendiri. Deepak Chopra menegaskan hal ini dalam kutipan berikut dari bukunya “The Seven Spiritual Laws of Success”:

“Bila Anda terus-menerus mengevaluasi, mengklasifikasi, melabeli, menganalisis, Anda menciptakan banyak turbulensi dalam dialog batin Anda. Ini mengakibatkan kekacauan aliran energi antara Anda dan bidang potensi murni diri Anda. Dan Anda benar-benar menciptakan “celah”antara pikiran. Celah ini adalah hubungan Anda dengan bidang potensi murni. Ini adalah keadaan kesadaran murni,  ruang yang diam diantara pikiran, keheningan batin yang menghubungkan diri Anda dengan kekuatan sejati. “
Bidang “murni potensi”ini, juga dikenal sebagai ‘Kekuasaan Tuhan’, adalah sumber segala kreativitas Anda. Dengan demikian, berpartisipasi dalam penilaian tidak hanya mendorong pemisahan antara Anda dan sesama jiwa yang lain, tetapi juga membatasi kekuatan pribadi  dan keseluruhan potensi kreatif Anda juga. Oleh karena itu, adalah kepentingan terbaik Anda untuk mengurangi jumlah penilaian yang Anda lakukan setiap hari. Hal ini, tentu saja, membutuhkan banyak latihan, tetapi sekali Anda datang ke kesadaran bahwa menghakimi tidak membawa kebaikan dengan cara apapun, menjadi hampir mustahil bagi Anda untuk menghakimi dan menjadi canggung untuk melakukannya. Ketika Anda membuat kemajuan dalam upaya Anda untuk keluar dari penghakiman, Anda tidak hanya akan mengalami pikiran yang lebih tenang, tetapi juga akan memiliki perasaan ‘keterkaitan’ yang lebih besar dengan semua manusia, dan dengan segenap unsur-unsur ciptaan lain juga....
Allahu 'alam......

Our Partners

Website Hit Counter
Free Hit Counter A4GUY826KBGS