ADAT ISTIADAT
Wujud kebudayaan merupakan sistem nilai budaya berisikan ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan aturan-aturan yang berlaku di dalam masyarakat pendukung di mana kebudayaan itu tumbuh dan berkembang. Oleh masyarakat pendukungnya, sistem nilai budaya itu dihormati, dijunjung tinggi dan diyakini kebenarannya, mengikat bahkan ada sanksi bagi pelanggarnya. Nilai budaya ini bersifat abstrak karena lokasinya ada di dalam alam pikir manusia pendukungnya. Istilah lain untuk menyebut sistem nilai budaya ini adalah adat atau adat-istiadat.
Adat adalah sesuatu yang menjadi kebiasaan masyarakat lokal atau setempat, yang telah berlangsung lama dan diikuti oleh sebagian besar masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu, berbeda masyarakat maka berbeda pula adatnya. Berbicara mengenai adat maka konteksnya adalah keragaman, baik keragaman suku, keragaman agama, maupun sosial budaya. Agar adat-istiadat dapat berfungsi dalam terciptanya ketertiban, kerukunan, kedamaian, kesetiakawanan sosial, serta kesejahteraan sosial masyarakat, maka pelaksanaannya telah diatur dan diselaraskan oleh hukum adat. Kaidah-kaidah yang mengandung pokok adat adalah sloko adat yang sering disebut sebagai petatah-petitih adat. Sloko adat paling kurang memiliki 4 (empat) fungsi utama:
1. sebagai kesusasteraan yang bernilai tinggi
2. sebagai alat masyarakat adat dalam menjaga dan melaksanakan ketertiban umum
3. sebagai pedoman dasar (literatur) adat
4. sebagai referensi adat masyarakat lokal
MASALAH
Jauh, sebelum masa berlakunya 'Undang-Undang No. 5 Tahun 1974' dan 'Undang-Undang No. 5 Tahun 1979', di seluruh wilayah Indonesia telah berlaku suatu bentuk otonomi asli menurut adat-istiadat masyarakat lokal. Pada masa itu, adat-istiadat menjadi acuan dasar dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan sosial politik. Dengan kata lain, adat-istiadat dan hukum adat dipandang mampu menciptakan ketertiban, kerukunan, kedamaian, dan kesetiakawanan sosial masyarakat.
Di daerah Jambi, misalnya, otonomi asli itu terwujud dalam bentuk pemerintahan marga, 'mendapo' (di Kerinci), kampung dan dusun, yang berlaku di seluruh wilayah Keresidenan Jambi. Di sinilah kedudukan nilai budaya masyarakat lokal (adat) mendapat tempat terhormat di dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Pada kala itu, pimpinan pemerintahan menjalankan roda pemerintahannya berdasarkan atas adat-istiadat yang berlaku pada masyarakat adat (lokal).
Kemudian terjadi perubahan di mana pemerintahan Orde Lama berganti dengan Orde Baru sehingga tatanan yang lama berganti dengan tatanan yang baru pula. Pemerintah Orde Baru membawa perubahan yang besar dengan menerapkan beberapa undang-undang antara lain sebagai berikut:
1) UUPK Nomor 5/Tahun 1967 dan PP Nomor 21 Tahun 1970, yang mengundang pengusaha Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dari Jakarta.
2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang 'Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah'.
3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang 'Pemerintahan Desa dan Kelurahan'.
Kehadiran perusahaan kayu ini, pada mulanya, memang menjanjikan kehidupan baru bagi masyarakat dalam menunjang ekonominya yang sedang menurun. Pada masa awal dekade tahun 1970-an, masyarakat Jambi sedang menghadapi kesulitan ekonomi karena harga karet turun drastis. Oleh karena itulah maka pada dekade tahun 1970-an hutan-hutan di Jambi mulai dieksploitasi secara besar-besaran. Sebagian besar para pelopor eksploitasi hutan-hutan tersebut adalah pengusaha pendatang dari Jakarta yang memang sengaja diundang oleh pemerintah pusat.
Dari sisi ekonomi, kehadiran pengusaha pemegang HPH dipandang mampu menopang percepatan roda perekonomian, akan tapi bagi masyarakat hukum adat kehadiran HPH ini dipandang sebagai awal dari penghapusan hak masyarakat adat. Menghadapi kenyataan ini masyarakat adat tidak dapat berbuat apa-apa karena kuatnya sentralisasi. Akibatnya, masyarakat adat pun semakin lama semakin kehilangan hak adatnya untuk mengelola dan mengawasi sumber daya hutan miliknya, yang berlanjut dengan kehilangan sumber pendapatan beserta pajaknya. Sementara itu, pihak pengusaha HPH merasa tidak perlu lagi turut membangun masyarakat lokal, karena pihak pengusaha HPH telah membayar upeti atau pun royalti kepada pemerintah pusat. Oleh karena itu, pengusaha HPH secara leluasa melakukan penebangan hutan tanpa ada pihak lokal yang dapat mengontrolnya karena pihak masyarakat adat telah kehilangan wibawa dan legitimasinya.
Intervensi pemerintah pusat ke daerah masih dilanjutkan lagi dengan cara yang sistematis melalui penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang 'Pemerintahan Desa dan Kelurahan' di seluruh Indonesia. Berlakunya undang-undang ini di daerah Jambi diatur melalui Peraturan Daerah No. 8 Tahun 1981. Pelaksanaan Undang-Undang No.5 Tahun 1979 pada dasarnya menganut tiga prinsip umum, yakni (1) pola keseragaman; (2) tidak mengatur desa dari aspek budaya atau adatnya; serta (3) tidak mengakui prinsip otonomi daerah. Oleh karena itu, pelaksanaan Undang Undang No.5 Tahun 1979 dipandang sebagai penghapusan tahap kedua hak-hak masyarakat adat.
Namun demikian fakta sejarah menunjukan bahwa meskipun Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 telah diberlakukan di daerah Jambi dan secara de facto wilayah dan pemerintahan marga, 'mendapo', kampung maupun dusun manjadi hapus, akan tetapi secara yuridis formal eksistensi marga, mendapo, kampung dan dusun masih ada. Hal ini karena penghapusan marga, 'mendapo', kampung dan dusun tersebut sampai saat ini belum pernah diatur oleh ketetapan perundang-undangan yang berlaku, atau pun semacam Peraturan Daerah.
Pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 dengan menerapkan pola keseragaman sangat menguntungkan dan memperkuat posisi pemerintah pusat, misalnya antara lain adalah sebagai berikut.
1. Melalui kebijakan pemerintah pusat (melalui departemen) maka potensi sumber daya alam seperti tambang, laut, hutan, dan tanah yang berada di daerah dikuasai dan dikelola sepenuhnya oleh/melalui pemerintah pusat.
2. Karena pemerintah daerah tidak memiliki pendapatan asli daerah yang memadai maka pemerintah daerah pun akan selalu tergantung pada pemerintah pusat, terutama mengenai anggaran pembangunan.
Sebaliknya dengan pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 telah menimbulkan banyak kerugian masyarakat daerah, antara lain adalah sebagai berikut.
Pemerintahan desa (dusun, kampung, dan lain-lain) kehilangan sumber pendapatan aslinya karena keberadaan tanah adat (marga, 'mendapo', kampung dan dusun) telah dikuasai pemilik modal HTI / HPH dan perorangan lainnya.
1. Masyarakat hukum adat kehilangan haknya untuk mengelola dan memanfaatkan potensi sumber daya alam karena telah berpindah tangan kepada pemilik modal HTI / HPH dan perorangan lainnya.
2. Masyarakat desa kehilangan wadah dan saluran demokrasinya.
3. Timbul berbagai bentuk penyakit sosial (kriminal, narkoba, mabuk minuman keras, serta dekadensi moral) karena nilai budaya dan pimpinan adat telah kehilangan legitimasinya.
4. Kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan masih melanda masyarakat pedesaan.
5. Rasa tanggung jawab, kesetiakawanan sosial menjadi menurun dan masyarakat menjadi gamang karena pimpinan adat dan masyarakat adat kehilangan legitimasinya.
Nampaknya perubahan terus bergulir. Hal ini disebabkan pemerintahan Orde Baru harus berakhir karena jatuhnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Pemerintahan Orde Baru berganti dengan Pemerintahan Orde Reformasi. Seiring dengan itu terbitlah Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang 'Pemerintahan Daerah', dan pada tanggal 1 Januari tahun 2001 secara resmi berlaku pula 'otonomi daerah' di seluruh Indonesia. Seharusnya desa dan masyarakatnya ikut pula mengalami perubahan makna atas keadaan tersebut.
Undang-Undang No 22 Tahun 1999 telah memberikan harapan baru dan angin segar tentang keberadaan adat-istiadat, yang hidup pada masyarakat lokal di seluruh Indonesia. Bagi masyarakat lokal ada sedikit kesempatan dan peluang di dalam 'otonomi daerah' tersebut, untuk membangun adat istiadatnya. Peluang ini diperoleh karena Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 menganut prinsip dasar: (1) keanekaragaman budaya (adat); (2) partisipasi masyarakat; (3) otonomi asli; (4) pemberdayaan masyarakat; (5) demokratisasi.
Dilihat dari sisi adat-stiadat sebagai akibat dari pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 maka kelemahan terbesar pada era otonomi daerah ini ada pada minoritas kreatif (pemangku adat) dan mayoritas kreatif yang telah kehilangan daya kreativitasnya. Hal ini dapat dimengerti karena sejak Orde Baru sampai saat ini posisi ketokohan pemangku adat telah diambil alih oleh kalangan politisi dan birokrasi. Kondisi seperti ini diikuti pula dengan sikap masyarakat umum yang seolah-olah tidak memerlukan lagi adat-istiadat serta memandang adat itu merupakan persoalan masa lampau.
Inilah problema di seputar adat istiadat dan masyarakat adatnya di tengah-tengah alam demokrasi dan 'otonomi daerah'. Sampai awal abad ke-21 ini, posisi marginal yang disandang masyarakat adat di tengah-tengah alam demokrasi dan otonomi daerah masih belum banyak berubah (berjalan di tempat) seperti kondisi masa pemerintahan Orde Baru yang lalu. Padahal, di dalam suasana masyarakat yang selalu mengalami perubahan inilah, diperlukan suatu aksi masyarakat yang konstruktif yakni Gerakan Kembali Ke Adat. Dengan gerakan ini diharapkan mampu berfungsi menggerakkan segenap komponen masyarakat untuk mencintai budaya dan adat istiadatnya masing-masing.
FILOSOFIS
Fakta menunjukan bahwa kehidupan manusia sulit dipisahkan dengan berbagai bentuk kebiasaan-kebiasaan perilakunya termasuk di dalamnya adat-istiadat. Bagi manusia yang cinta dengan nilai budaya tentunya mendambakan (das sollen) agar adat-istiadat, dapat mengatur perilaku dan kehidupan sosial manusia di dalam masyarakatnya. Mereka ini bercita-cita agar adat-istiadat kembali menjadi tuntunan dan pedoman hidup manusia dalam mengatur tata kelakuannya, akan tetapi kadang kala harapan tidak sesuai dengan kenyataan (das sein). Oleh karena itu, antara das sollen dan das sein tidak selalu terdapat kesesuaian, sehingga adat-istiadat sering tertinggal dan ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya di tengah-tengah perubahan dan arus globalisasi. Dalam keadaan seperti ini maka gerakan kembali ke adat adalah titik temu antara perubahan masyarakat di satu pihak, dan hasrat ingin mempertahankan adat-istiadat yang luhur di pihak lain.
Gerakan Kembali ke Adat adalah perwujudan rasa kesadaran masyarakat dalam mempertahankan, melestarikan, serta melindungi adat istiadat leluhur yang bernilai tinggi dari ancaman kepunahan sebagai akibat proses perubahan dan globalisasi. Gerakan ini adalah obsesi dari segenap komponen masyarakat yang cinta damai dan mengagumi nilai budaya yang bernilai tinggi. Oleh karena itu, kesadaran ini tumbuh dari bawah sebagai suatu bentuk kepedulian masyarakat terhadap budaya leluhur yang saat ini terancam kepunahan. Manusia sadar bahwa di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang tergantung dengan IPTEK ternyata adat-istiadat masih diperlukan, bahkan semakin diperlukan. Oleh karena tujuan dan cita-cita gerakan kembali ke adat, adalah menuju perwujudan ketertiban, kerukunan, kedamaian, kesetiakawanan sosial, dan kesejahteraan sosial masyarakat.
Ditinjau dari segi filosofis maka gerakan kembali ke adat adalah gerakan moral masyarakat dalam upaya pelestarian, penyelamatan, dan pewarisan nilai-nilai budaya kepada generasi penerus. Gerakan ini dapat berfungsi antara lain adalah sebagai berikut: (1) Sebagai sumber motivasi dan inspirasi masyarakat menuju terwujudnya ketertiban, kerukunan, kedamaian, dan kesetiakawanan sosial dan kesejahteraan sosial dalam rangka kehidupan masyarakat. (2) Sebagai model pemberdayaan masyarakat untuk menuju ketertiban, kerukunan, kedamaian, dan kesetiakawanan sosial dan kesejahteraan sosial dalam rangka kehidupan masyarakat. (3) Sebagai koreksi masyarakat atas kekurangan dan kelalaian dalam pemberdayaan masyarakat adat. (4) Sebagai alat kontrol masyarakat dalam menghadapi perubahan yang tanpa batas.
ENTRY POINT
Secara umum permasalahan adat di seluruh Indonesia adalah sama, namun di setiap daerah memiliki problematika yang berbeda. Oleh karena itu untuk masing-masing daerah maka entry point atau titik awal gerakan kembali ke adat tentunya tidak sama. Berdasarkan pada permasalahan tersebut di atas maka untuk daerah Jambi maka Gerakan Kembal ke Adat dapat dimulai dari upaya pemberdayaan institusi tradisional melalui kinerja pegawai syarak.
GERAKAN MORAL
Posisi adat-istiadat yang selama ini menjadi pedoman dalam pengatur tata kelakuan manusia telah diambil alih posisinya oleh sistem nilai yang baru. Sedangkan struktur masyarakat adat telah pula cenderung berubah menuju masyarakat moderen. Perubahan ini ditandai dengan timbulnya kenyataan-kenyataan dalam kehidupan sehari-hari antara lain sebagai berikut:
1. Sistem nilai budaya atau adat istiadat lokal yang selama ini mengatur tata kelakuan hidup manusia telah kehilangan legitimasinya sehingga posisi adat-istiadat telah diganti oleh hukum positif dan politik yang dikendalikan negara.
2. Nilai-nilai kepercayaan yang bersumber dari agama mulai luntur dan posisinya telah diganti oleh nilai-nilai ilmu pengetahuan yang sekuler.
3. Di dalam masyarakat telah mulai luntur nilai gotong-royong dan diganti dengan nilai individualistis yang mengancam akhlak manusia.
Munculnya 3 (tiga) fenomena tersebut di atas menandaskan kepada kita bahwa Gerakan Kembali ke Adat adalah gerakan moral yang berisi cita-cita moral agar segenap komponen masyarakat dapat melestarikan nilai budaya (adat-istiadat) masyarakat yang bernilai tinggi. Sehingga dampak negatif dari perubahan dan globalisasi tidak mengikis habis bangunan moral masyarakat lokal. Paling tidak, gerakan ini akan memperingatkan kepada kita untuk tetap memelihara unsur-unsur budaya dan adat istiadat masyarakat lokal supaya terhindar dari kepunahan. Oleh karena itu, Gerakan Kembali ke Adat sebenarnya juga berisikan cita-cita moral sebagai berikut:
1. Mencegah kepunahan adat-istiadat.
2. Mempertahankan adat-istiadat yang bernilai luhur serta mendukung terwujudnya ketertiban, kerukunan, kedamaian, kesetiakawanan dan kesejahteraan sosial masyarakat.
3. Mendukung (tidak anti) proses perubahan dalam masyarakat.
FUNGSI GERAKAN
Fungsi pertama Gerakan Kembali ke Adat adalah juga merupakan sebagai sumber motivasi dan inspirasi masyarakat dalam menuju perwujudan ketertiban, kerukunan, kedamaian, dan kesetiakawanan sosial dan kesejahteraan sosial dalam rangka kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, maka gerakan kembali ke adat merupakan sumber motivasi dan sumber inspirasi masyarakat dalam menyongsong kehidupan masa depan yang lebih baik. Wujud nyata gerakan kembali ke adat bukanlah impian untuk mengembalikan semua nilai budaya (adat-istiadat) lama di tengah-tengah kehidupan dewasa ini. Melainkan sebagai revitalisasi adat-istiadat ke dalam kehidupan sehari-hari untuk menunjang ketertiban, kerukunan, kedamaian, kesetiakawanan sosial dan kesejahteraan sosial masyarakat.
Untuk mencapai cita-cita wujud nyata tersebut maka diperlukan proses perubahan sosial dan perubahan kebudayaan dalam masyarakat. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan yang berisikan perpaduan antara adat-istiadat yang penuh dengan tradisi dengan nilai-nilai baru yang penuh dengan IPTEK. Perubahan ini akan berjalan dengan baik bila dalam masyarakat terdapat proses akulturasi, inovasi, discovery (penemuan baru), dan invention (pembudayaan). Proses ini akan berlanjut bila ada pemberdayaan kepada masyarakat pendukung di mana kebudayaan itu tumbuh dan berkembang. Dengan kata lain pemberdayaan adalah proses awal menuju akulturasi, inovasi, discovery (penemuan baru), dan invention (pembudayaan) di dalam masyarakat. Gerakan kembali ke adat berfungsi pula sebagai model pemberdayaan masyarakat terutama masyarakat adat.
Sebagai akibat dan pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979, maka kondisi kehidupan masyarakat di pedesaan sampai awal abad ke-21 ini mengalami banyak masalah dan kemunduran. Salah satu di antara masalah dan kemunduran itu ialah nilai budaya atau adat istiadat masyarakat lokal yang selama ini mengatur tata kelakuan hidup manusia telah kehilangan legitimasinya karena posisinya telah diganti oleh hukum positif dan politik yang dikendalikan negara. Di samping adanya kemunduran tersebut dewasa ini, kehidupan sosial budaya manusia cenderung tergantung pada ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Semakin lama semakin tinggi tingkat ketergantungan manusia pada IPTEK itu.
Oleh karena itu maka Gerakan Kembali ke Adat merupakan sebuah bentuk koreksi terhadap kedua hal tersebut di atas, yakni kemunduran bidang nilai budaya (adat-istiadat) dan ketergantungan yang tinggi terhadap IPTEK. Koreksi masyarakat ini juga merupakan suatu peringatan kepada kita bahwa di dalam masyarakat masih terdapat kesenjangan dan masalah di sekitar adat-istiadat. Bilamana masalah ini tidak dapat diselesaikan atau tidak ada pemecahannya maka dikhawatirkan akan muncul masalah baru yang lebih besar lagi.
Dalam abad ke-21 ini, kita telah menyaksikan betapa dunia semakin lama menjadi semakin sempit dan kecil bila dibandingkan dengan mobilitas penduduknya yang semakin tinggi. Mobilitas manusia dari suatu tempat ke tempat lain cenderung meningkat sejalan dengan adanya revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi terutama di bidang transportasi dan telekomunikasi. Dahulu informasi sangat sulit diperoleh dan hubungan antar negara sangat jarang terjadi. Namun kini, tidak ada satu negara pun yang dapat mengisolasi diri dari perubahan dunia. Dunia seolah-olah kecil dan sempit tanpa batas negara, tanpa batas administratif, tanpa batas budaya, tanpa batas politik. Akibatnya, komunitas dan komunikasi manusia antar negara akan menjadi saling ketergantungan satu sama lain (interdependention). Sebagai akibatnya, di mana pun di belahan bumi ini manusia dapat melakukan pertemuan-pertemuan untuk berbagai kepentingan. Apakah ini yang dinamakan globalisasi ?
Globalisasi itu pada intinya adalah perubahan dan perubahan itu akan selalu terjadi pada kehidupan masyarakat. Globalisasi tidak perlu dimusuhi karena di dalamnya mengandung aspek positif dan negatifnya. Dan juga globalisasi tidak mungkin dapat ditolak karena mesin globalisasi yakni media cetak dan elektronik telah menjadi bagian hidup manusia dewasa ini. Oleh karena itu maka kita perlu menyikapi globalisasi itu dengan jalan berpikir global dan bertindak lokal.
Globalisasi berdampak pada segala bidang kehidupan, namun dampak yang paling besar pada tiga bidang, yakni ekonomi, politik, dan kebudayaan. Titik paling rawan ada pada bidang kebudayaan karena pada bidang ini hampir tidak ada kontrol yang membatasi perubahan itu. Gerakan kembali ke adat akan berfungsi pula sebagai alat kontrol terhadap perubahan yang tanpa batas itu, khususnya perubahan dalam bidang kebudayaan.
KEGUNAAN
Bilamana Gerakan Kembali ke Adat ini dapat berkembang dengan baik, menjadi isu nasional bahkan internasional, maka masyarakat akan mengambil berbagai manfaat yang berharga dari kearifan masyarakat lokal tersebut. Gerakan Kembali ke Adat berguna bagi kegiatan-kegiatan antara lain adalah sebagai berikut:
1) Perlindungan budaya (adat-istiadat) masyarakat lokal akan terhindar dari kepunahan.
2) Perwujudan ketertiban, kerukunan, kedamaian, kesetiakawanan sosial dan kesejahteraan sosial masyarakat.
3) Pelestarian dan perlindungan potensi lingkungan hidup, seperti potensi hayati, non hayati, daerah tangkapan air (DTA) dan ekosistemnya.
4) Pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan Taman Nasional dan Taman Margasatwa, dan lain sebagainya.
5) Pengelolaan dan pemanfaatan benda-benda cagar budaya dan situs sejarah untuk tujuan wisata, pendidikan, penelitian dan tujuan religius.
6) Pencegahan dan mengatasi pengaruh narkoba, kriminal, amuk massa, dan penyakit masyarakat lainnya.
DAFTAR BACAAN:
1. Anonim, 1992, "Lembaga Adat Propinsi Jambi", Konsep Buku Acuan Adat Istiadat Daerah Propinsi Dati I Jambi.
2. ----------, 1993, "Lembaga Adat Propinsi Jambi", Materi Pembekalan Adat Istiadat Bagi Kepala Desa / Kelurahan Dalam Propinsi Jambi dari Tanggal l 9 - 13 Februari 1993.
3. ----------, 1995, "Pemda Kodya Jambi: Garis-Garis Besar Pedoman Adat Bagi Pemangku Adat dalam Kotamadya Dati II Jambi".
4. ---------, 1986, Dampak Moderenisasi terhadap Hubungan Kekerabatan pada Suku Bangsa Melayu Jambi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jambi.
5. ---------, 2002, "Identifikasi Unsur Budaya Melayu Jambi", Rekomendasi Dialog Budaya Melayu Jambi, YBLB Jambi, 20 Oktober 2002, Jambi.
6. Mukti Nasruddin, 1989, Jambi dalam Sejarah Nusantara, Jambi.
7. Fachruddin Saudagar, 2000, Tanah Adat dan Daerah Otonom, Jambi.
8. S. Gravengahe dan Martinus Nijhoff, 1912, Adatrechts bundel V, Koninklijk Insituut de Taal Land en Vulkenkunde van Nederlandsch Indie, Amsterdam.
Wujud kebudayaan merupakan sistem nilai budaya berisikan ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan aturan-aturan yang berlaku di dalam masyarakat pendukung di mana kebudayaan itu tumbuh dan berkembang. Oleh masyarakat pendukungnya, sistem nilai budaya itu dihormati, dijunjung tinggi dan diyakini kebenarannya, mengikat bahkan ada sanksi bagi pelanggarnya. Nilai budaya ini bersifat abstrak karena lokasinya ada di dalam alam pikir manusia pendukungnya. Istilah lain untuk menyebut sistem nilai budaya ini adalah adat atau adat-istiadat.
Adat adalah sesuatu yang menjadi kebiasaan masyarakat lokal atau setempat, yang telah berlangsung lama dan diikuti oleh sebagian besar masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu, berbeda masyarakat maka berbeda pula adatnya. Berbicara mengenai adat maka konteksnya adalah keragaman, baik keragaman suku, keragaman agama, maupun sosial budaya. Agar adat-istiadat dapat berfungsi dalam terciptanya ketertiban, kerukunan, kedamaian, kesetiakawanan sosial, serta kesejahteraan sosial masyarakat, maka pelaksanaannya telah diatur dan diselaraskan oleh hukum adat. Kaidah-kaidah yang mengandung pokok adat adalah sloko adat yang sering disebut sebagai petatah-petitih adat. Sloko adat paling kurang memiliki 4 (empat) fungsi utama:
1. sebagai kesusasteraan yang bernilai tinggi
2. sebagai alat masyarakat adat dalam menjaga dan melaksanakan ketertiban umum
3. sebagai pedoman dasar (literatur) adat
4. sebagai referensi adat masyarakat lokal
MASALAH
Jauh, sebelum masa berlakunya 'Undang-Undang No. 5 Tahun 1974' dan 'Undang-Undang No. 5 Tahun 1979', di seluruh wilayah Indonesia telah berlaku suatu bentuk otonomi asli menurut adat-istiadat masyarakat lokal. Pada masa itu, adat-istiadat menjadi acuan dasar dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan sosial politik. Dengan kata lain, adat-istiadat dan hukum adat dipandang mampu menciptakan ketertiban, kerukunan, kedamaian, dan kesetiakawanan sosial masyarakat.
Di daerah Jambi, misalnya, otonomi asli itu terwujud dalam bentuk pemerintahan marga, 'mendapo' (di Kerinci), kampung dan dusun, yang berlaku di seluruh wilayah Keresidenan Jambi. Di sinilah kedudukan nilai budaya masyarakat lokal (adat) mendapat tempat terhormat di dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Pada kala itu, pimpinan pemerintahan menjalankan roda pemerintahannya berdasarkan atas adat-istiadat yang berlaku pada masyarakat adat (lokal).
Kemudian terjadi perubahan di mana pemerintahan Orde Lama berganti dengan Orde Baru sehingga tatanan yang lama berganti dengan tatanan yang baru pula. Pemerintah Orde Baru membawa perubahan yang besar dengan menerapkan beberapa undang-undang antara lain sebagai berikut:
1) UUPK Nomor 5/Tahun 1967 dan PP Nomor 21 Tahun 1970, yang mengundang pengusaha Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dari Jakarta.
2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang 'Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah'.
3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang 'Pemerintahan Desa dan Kelurahan'.
Kehadiran perusahaan kayu ini, pada mulanya, memang menjanjikan kehidupan baru bagi masyarakat dalam menunjang ekonominya yang sedang menurun. Pada masa awal dekade tahun 1970-an, masyarakat Jambi sedang menghadapi kesulitan ekonomi karena harga karet turun drastis. Oleh karena itulah maka pada dekade tahun 1970-an hutan-hutan di Jambi mulai dieksploitasi secara besar-besaran. Sebagian besar para pelopor eksploitasi hutan-hutan tersebut adalah pengusaha pendatang dari Jakarta yang memang sengaja diundang oleh pemerintah pusat.
Dari sisi ekonomi, kehadiran pengusaha pemegang HPH dipandang mampu menopang percepatan roda perekonomian, akan tapi bagi masyarakat hukum adat kehadiran HPH ini dipandang sebagai awal dari penghapusan hak masyarakat adat. Menghadapi kenyataan ini masyarakat adat tidak dapat berbuat apa-apa karena kuatnya sentralisasi. Akibatnya, masyarakat adat pun semakin lama semakin kehilangan hak adatnya untuk mengelola dan mengawasi sumber daya hutan miliknya, yang berlanjut dengan kehilangan sumber pendapatan beserta pajaknya. Sementara itu, pihak pengusaha HPH merasa tidak perlu lagi turut membangun masyarakat lokal, karena pihak pengusaha HPH telah membayar upeti atau pun royalti kepada pemerintah pusat. Oleh karena itu, pengusaha HPH secara leluasa melakukan penebangan hutan tanpa ada pihak lokal yang dapat mengontrolnya karena pihak masyarakat adat telah kehilangan wibawa dan legitimasinya.
Intervensi pemerintah pusat ke daerah masih dilanjutkan lagi dengan cara yang sistematis melalui penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang 'Pemerintahan Desa dan Kelurahan' di seluruh Indonesia. Berlakunya undang-undang ini di daerah Jambi diatur melalui Peraturan Daerah No. 8 Tahun 1981. Pelaksanaan Undang-Undang No.5 Tahun 1979 pada dasarnya menganut tiga prinsip umum, yakni (1) pola keseragaman; (2) tidak mengatur desa dari aspek budaya atau adatnya; serta (3) tidak mengakui prinsip otonomi daerah. Oleh karena itu, pelaksanaan Undang Undang No.5 Tahun 1979 dipandang sebagai penghapusan tahap kedua hak-hak masyarakat adat.
Namun demikian fakta sejarah menunjukan bahwa meskipun Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 telah diberlakukan di daerah Jambi dan secara de facto wilayah dan pemerintahan marga, 'mendapo', kampung maupun dusun manjadi hapus, akan tetapi secara yuridis formal eksistensi marga, mendapo, kampung dan dusun masih ada. Hal ini karena penghapusan marga, 'mendapo', kampung dan dusun tersebut sampai saat ini belum pernah diatur oleh ketetapan perundang-undangan yang berlaku, atau pun semacam Peraturan Daerah.
Pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 dengan menerapkan pola keseragaman sangat menguntungkan dan memperkuat posisi pemerintah pusat, misalnya antara lain adalah sebagai berikut.
1. Melalui kebijakan pemerintah pusat (melalui departemen) maka potensi sumber daya alam seperti tambang, laut, hutan, dan tanah yang berada di daerah dikuasai dan dikelola sepenuhnya oleh/melalui pemerintah pusat.
2. Karena pemerintah daerah tidak memiliki pendapatan asli daerah yang memadai maka pemerintah daerah pun akan selalu tergantung pada pemerintah pusat, terutama mengenai anggaran pembangunan.
Sebaliknya dengan pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 telah menimbulkan banyak kerugian masyarakat daerah, antara lain adalah sebagai berikut.
Pemerintahan desa (dusun, kampung, dan lain-lain) kehilangan sumber pendapatan aslinya karena keberadaan tanah adat (marga, 'mendapo', kampung dan dusun) telah dikuasai pemilik modal HTI / HPH dan perorangan lainnya.
1. Masyarakat hukum adat kehilangan haknya untuk mengelola dan memanfaatkan potensi sumber daya alam karena telah berpindah tangan kepada pemilik modal HTI / HPH dan perorangan lainnya.
2. Masyarakat desa kehilangan wadah dan saluran demokrasinya.
3. Timbul berbagai bentuk penyakit sosial (kriminal, narkoba, mabuk minuman keras, serta dekadensi moral) karena nilai budaya dan pimpinan adat telah kehilangan legitimasinya.
4. Kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan masih melanda masyarakat pedesaan.
5. Rasa tanggung jawab, kesetiakawanan sosial menjadi menurun dan masyarakat menjadi gamang karena pimpinan adat dan masyarakat adat kehilangan legitimasinya.
Nampaknya perubahan terus bergulir. Hal ini disebabkan pemerintahan Orde Baru harus berakhir karena jatuhnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Pemerintahan Orde Baru berganti dengan Pemerintahan Orde Reformasi. Seiring dengan itu terbitlah Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang 'Pemerintahan Daerah', dan pada tanggal 1 Januari tahun 2001 secara resmi berlaku pula 'otonomi daerah' di seluruh Indonesia. Seharusnya desa dan masyarakatnya ikut pula mengalami perubahan makna atas keadaan tersebut.
Undang-Undang No 22 Tahun 1999 telah memberikan harapan baru dan angin segar tentang keberadaan adat-istiadat, yang hidup pada masyarakat lokal di seluruh Indonesia. Bagi masyarakat lokal ada sedikit kesempatan dan peluang di dalam 'otonomi daerah' tersebut, untuk membangun adat istiadatnya. Peluang ini diperoleh karena Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 menganut prinsip dasar: (1) keanekaragaman budaya (adat); (2) partisipasi masyarakat; (3) otonomi asli; (4) pemberdayaan masyarakat; (5) demokratisasi.
Dilihat dari sisi adat-stiadat sebagai akibat dari pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 maka kelemahan terbesar pada era otonomi daerah ini ada pada minoritas kreatif (pemangku adat) dan mayoritas kreatif yang telah kehilangan daya kreativitasnya. Hal ini dapat dimengerti karena sejak Orde Baru sampai saat ini posisi ketokohan pemangku adat telah diambil alih oleh kalangan politisi dan birokrasi. Kondisi seperti ini diikuti pula dengan sikap masyarakat umum yang seolah-olah tidak memerlukan lagi adat-istiadat serta memandang adat itu merupakan persoalan masa lampau.
Inilah problema di seputar adat istiadat dan masyarakat adatnya di tengah-tengah alam demokrasi dan 'otonomi daerah'. Sampai awal abad ke-21 ini, posisi marginal yang disandang masyarakat adat di tengah-tengah alam demokrasi dan otonomi daerah masih belum banyak berubah (berjalan di tempat) seperti kondisi masa pemerintahan Orde Baru yang lalu. Padahal, di dalam suasana masyarakat yang selalu mengalami perubahan inilah, diperlukan suatu aksi masyarakat yang konstruktif yakni Gerakan Kembali Ke Adat. Dengan gerakan ini diharapkan mampu berfungsi menggerakkan segenap komponen masyarakat untuk mencintai budaya dan adat istiadatnya masing-masing.
FILOSOFIS
Fakta menunjukan bahwa kehidupan manusia sulit dipisahkan dengan berbagai bentuk kebiasaan-kebiasaan perilakunya termasuk di dalamnya adat-istiadat. Bagi manusia yang cinta dengan nilai budaya tentunya mendambakan (das sollen) agar adat-istiadat, dapat mengatur perilaku dan kehidupan sosial manusia di dalam masyarakatnya. Mereka ini bercita-cita agar adat-istiadat kembali menjadi tuntunan dan pedoman hidup manusia dalam mengatur tata kelakuannya, akan tetapi kadang kala harapan tidak sesuai dengan kenyataan (das sein). Oleh karena itu, antara das sollen dan das sein tidak selalu terdapat kesesuaian, sehingga adat-istiadat sering tertinggal dan ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya di tengah-tengah perubahan dan arus globalisasi. Dalam keadaan seperti ini maka gerakan kembali ke adat adalah titik temu antara perubahan masyarakat di satu pihak, dan hasrat ingin mempertahankan adat-istiadat yang luhur di pihak lain.
Gerakan Kembali ke Adat adalah perwujudan rasa kesadaran masyarakat dalam mempertahankan, melestarikan, serta melindungi adat istiadat leluhur yang bernilai tinggi dari ancaman kepunahan sebagai akibat proses perubahan dan globalisasi. Gerakan ini adalah obsesi dari segenap komponen masyarakat yang cinta damai dan mengagumi nilai budaya yang bernilai tinggi. Oleh karena itu, kesadaran ini tumbuh dari bawah sebagai suatu bentuk kepedulian masyarakat terhadap budaya leluhur yang saat ini terancam kepunahan. Manusia sadar bahwa di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang tergantung dengan IPTEK ternyata adat-istiadat masih diperlukan, bahkan semakin diperlukan. Oleh karena tujuan dan cita-cita gerakan kembali ke adat, adalah menuju perwujudan ketertiban, kerukunan, kedamaian, kesetiakawanan sosial, dan kesejahteraan sosial masyarakat.
Ditinjau dari segi filosofis maka gerakan kembali ke adat adalah gerakan moral masyarakat dalam upaya pelestarian, penyelamatan, dan pewarisan nilai-nilai budaya kepada generasi penerus. Gerakan ini dapat berfungsi antara lain adalah sebagai berikut: (1) Sebagai sumber motivasi dan inspirasi masyarakat menuju terwujudnya ketertiban, kerukunan, kedamaian, dan kesetiakawanan sosial dan kesejahteraan sosial dalam rangka kehidupan masyarakat. (2) Sebagai model pemberdayaan masyarakat untuk menuju ketertiban, kerukunan, kedamaian, dan kesetiakawanan sosial dan kesejahteraan sosial dalam rangka kehidupan masyarakat. (3) Sebagai koreksi masyarakat atas kekurangan dan kelalaian dalam pemberdayaan masyarakat adat. (4) Sebagai alat kontrol masyarakat dalam menghadapi perubahan yang tanpa batas.
ENTRY POINT
Secara umum permasalahan adat di seluruh Indonesia adalah sama, namun di setiap daerah memiliki problematika yang berbeda. Oleh karena itu untuk masing-masing daerah maka entry point atau titik awal gerakan kembali ke adat tentunya tidak sama. Berdasarkan pada permasalahan tersebut di atas maka untuk daerah Jambi maka Gerakan Kembal ke Adat dapat dimulai dari upaya pemberdayaan institusi tradisional melalui kinerja pegawai syarak.
GERAKAN MORAL
Posisi adat-istiadat yang selama ini menjadi pedoman dalam pengatur tata kelakuan manusia telah diambil alih posisinya oleh sistem nilai yang baru. Sedangkan struktur masyarakat adat telah pula cenderung berubah menuju masyarakat moderen. Perubahan ini ditandai dengan timbulnya kenyataan-kenyataan dalam kehidupan sehari-hari antara lain sebagai berikut:
1. Sistem nilai budaya atau adat istiadat lokal yang selama ini mengatur tata kelakuan hidup manusia telah kehilangan legitimasinya sehingga posisi adat-istiadat telah diganti oleh hukum positif dan politik yang dikendalikan negara.
2. Nilai-nilai kepercayaan yang bersumber dari agama mulai luntur dan posisinya telah diganti oleh nilai-nilai ilmu pengetahuan yang sekuler.
3. Di dalam masyarakat telah mulai luntur nilai gotong-royong dan diganti dengan nilai individualistis yang mengancam akhlak manusia.
Munculnya 3 (tiga) fenomena tersebut di atas menandaskan kepada kita bahwa Gerakan Kembali ke Adat adalah gerakan moral yang berisi cita-cita moral agar segenap komponen masyarakat dapat melestarikan nilai budaya (adat-istiadat) masyarakat yang bernilai tinggi. Sehingga dampak negatif dari perubahan dan globalisasi tidak mengikis habis bangunan moral masyarakat lokal. Paling tidak, gerakan ini akan memperingatkan kepada kita untuk tetap memelihara unsur-unsur budaya dan adat istiadat masyarakat lokal supaya terhindar dari kepunahan. Oleh karena itu, Gerakan Kembali ke Adat sebenarnya juga berisikan cita-cita moral sebagai berikut:
1. Mencegah kepunahan adat-istiadat.
2. Mempertahankan adat-istiadat yang bernilai luhur serta mendukung terwujudnya ketertiban, kerukunan, kedamaian, kesetiakawanan dan kesejahteraan sosial masyarakat.
3. Mendukung (tidak anti) proses perubahan dalam masyarakat.
FUNGSI GERAKAN
Fungsi pertama Gerakan Kembali ke Adat adalah juga merupakan sebagai sumber motivasi dan inspirasi masyarakat dalam menuju perwujudan ketertiban, kerukunan, kedamaian, dan kesetiakawanan sosial dan kesejahteraan sosial dalam rangka kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, maka gerakan kembali ke adat merupakan sumber motivasi dan sumber inspirasi masyarakat dalam menyongsong kehidupan masa depan yang lebih baik. Wujud nyata gerakan kembali ke adat bukanlah impian untuk mengembalikan semua nilai budaya (adat-istiadat) lama di tengah-tengah kehidupan dewasa ini. Melainkan sebagai revitalisasi adat-istiadat ke dalam kehidupan sehari-hari untuk menunjang ketertiban, kerukunan, kedamaian, kesetiakawanan sosial dan kesejahteraan sosial masyarakat.
Untuk mencapai cita-cita wujud nyata tersebut maka diperlukan proses perubahan sosial dan perubahan kebudayaan dalam masyarakat. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan yang berisikan perpaduan antara adat-istiadat yang penuh dengan tradisi dengan nilai-nilai baru yang penuh dengan IPTEK. Perubahan ini akan berjalan dengan baik bila dalam masyarakat terdapat proses akulturasi, inovasi, discovery (penemuan baru), dan invention (pembudayaan). Proses ini akan berlanjut bila ada pemberdayaan kepada masyarakat pendukung di mana kebudayaan itu tumbuh dan berkembang. Dengan kata lain pemberdayaan adalah proses awal menuju akulturasi, inovasi, discovery (penemuan baru), dan invention (pembudayaan) di dalam masyarakat. Gerakan kembali ke adat berfungsi pula sebagai model pemberdayaan masyarakat terutama masyarakat adat.
Sebagai akibat dan pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979, maka kondisi kehidupan masyarakat di pedesaan sampai awal abad ke-21 ini mengalami banyak masalah dan kemunduran. Salah satu di antara masalah dan kemunduran itu ialah nilai budaya atau adat istiadat masyarakat lokal yang selama ini mengatur tata kelakuan hidup manusia telah kehilangan legitimasinya karena posisinya telah diganti oleh hukum positif dan politik yang dikendalikan negara. Di samping adanya kemunduran tersebut dewasa ini, kehidupan sosial budaya manusia cenderung tergantung pada ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Semakin lama semakin tinggi tingkat ketergantungan manusia pada IPTEK itu.
Oleh karena itu maka Gerakan Kembali ke Adat merupakan sebuah bentuk koreksi terhadap kedua hal tersebut di atas, yakni kemunduran bidang nilai budaya (adat-istiadat) dan ketergantungan yang tinggi terhadap IPTEK. Koreksi masyarakat ini juga merupakan suatu peringatan kepada kita bahwa di dalam masyarakat masih terdapat kesenjangan dan masalah di sekitar adat-istiadat. Bilamana masalah ini tidak dapat diselesaikan atau tidak ada pemecahannya maka dikhawatirkan akan muncul masalah baru yang lebih besar lagi.
Dalam abad ke-21 ini, kita telah menyaksikan betapa dunia semakin lama menjadi semakin sempit dan kecil bila dibandingkan dengan mobilitas penduduknya yang semakin tinggi. Mobilitas manusia dari suatu tempat ke tempat lain cenderung meningkat sejalan dengan adanya revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi terutama di bidang transportasi dan telekomunikasi. Dahulu informasi sangat sulit diperoleh dan hubungan antar negara sangat jarang terjadi. Namun kini, tidak ada satu negara pun yang dapat mengisolasi diri dari perubahan dunia. Dunia seolah-olah kecil dan sempit tanpa batas negara, tanpa batas administratif, tanpa batas budaya, tanpa batas politik. Akibatnya, komunitas dan komunikasi manusia antar negara akan menjadi saling ketergantungan satu sama lain (interdependention). Sebagai akibatnya, di mana pun di belahan bumi ini manusia dapat melakukan pertemuan-pertemuan untuk berbagai kepentingan. Apakah ini yang dinamakan globalisasi ?
Globalisasi itu pada intinya adalah perubahan dan perubahan itu akan selalu terjadi pada kehidupan masyarakat. Globalisasi tidak perlu dimusuhi karena di dalamnya mengandung aspek positif dan negatifnya. Dan juga globalisasi tidak mungkin dapat ditolak karena mesin globalisasi yakni media cetak dan elektronik telah menjadi bagian hidup manusia dewasa ini. Oleh karena itu maka kita perlu menyikapi globalisasi itu dengan jalan berpikir global dan bertindak lokal.
Globalisasi berdampak pada segala bidang kehidupan, namun dampak yang paling besar pada tiga bidang, yakni ekonomi, politik, dan kebudayaan. Titik paling rawan ada pada bidang kebudayaan karena pada bidang ini hampir tidak ada kontrol yang membatasi perubahan itu. Gerakan kembali ke adat akan berfungsi pula sebagai alat kontrol terhadap perubahan yang tanpa batas itu, khususnya perubahan dalam bidang kebudayaan.
KEGUNAAN
Bilamana Gerakan Kembali ke Adat ini dapat berkembang dengan baik, menjadi isu nasional bahkan internasional, maka masyarakat akan mengambil berbagai manfaat yang berharga dari kearifan masyarakat lokal tersebut. Gerakan Kembali ke Adat berguna bagi kegiatan-kegiatan antara lain adalah sebagai berikut:
1) Perlindungan budaya (adat-istiadat) masyarakat lokal akan terhindar dari kepunahan.
2) Perwujudan ketertiban, kerukunan, kedamaian, kesetiakawanan sosial dan kesejahteraan sosial masyarakat.
3) Pelestarian dan perlindungan potensi lingkungan hidup, seperti potensi hayati, non hayati, daerah tangkapan air (DTA) dan ekosistemnya.
4) Pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan Taman Nasional dan Taman Margasatwa, dan lain sebagainya.
5) Pengelolaan dan pemanfaatan benda-benda cagar budaya dan situs sejarah untuk tujuan wisata, pendidikan, penelitian dan tujuan religius.
6) Pencegahan dan mengatasi pengaruh narkoba, kriminal, amuk massa, dan penyakit masyarakat lainnya.
DAFTAR BACAAN:
1. Anonim, 1992, "Lembaga Adat Propinsi Jambi", Konsep Buku Acuan Adat Istiadat Daerah Propinsi Dati I Jambi.
2. ----------, 1993, "Lembaga Adat Propinsi Jambi", Materi Pembekalan Adat Istiadat Bagi Kepala Desa / Kelurahan Dalam Propinsi Jambi dari Tanggal l 9 - 13 Februari 1993.
3. ----------, 1995, "Pemda Kodya Jambi: Garis-Garis Besar Pedoman Adat Bagi Pemangku Adat dalam Kotamadya Dati II Jambi".
4. ---------, 1986, Dampak Moderenisasi terhadap Hubungan Kekerabatan pada Suku Bangsa Melayu Jambi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jambi.
5. ---------, 2002, "Identifikasi Unsur Budaya Melayu Jambi", Rekomendasi Dialog Budaya Melayu Jambi, YBLB Jambi, 20 Oktober 2002, Jambi.
6. Mukti Nasruddin, 1989, Jambi dalam Sejarah Nusantara, Jambi.
7. Fachruddin Saudagar, 2000, Tanah Adat dan Daerah Otonom, Jambi.
8. S. Gravengahe dan Martinus Nijhoff, 1912, Adatrechts bundel V, Koninklijk Insituut de Taal Land en Vulkenkunde van Nederlandsch Indie, Amsterdam.
0 comments:
Post a Comment