ADAT ISTIADAT
Wujud kebudayaan merupakan sistem nilai budaya berisikan ide-ide,
gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan aturan-aturan yang berlaku
di dalam masyarakat pendukung di mana kebudayaan itu tumbuh dan
berkembang. Oleh masyarakat pendukungnya, sistem nilai budaya itu
dihormati, dijunjung tinggi dan diyakini kebenarannya, mengikat bahkan
ada sanksi bagi pelanggarnya. Nilai budaya ini bersifat abstrak karena
lokasinya ada di dalam alam pikir manusia pendukungnya. Istilah lain
untuk menyebut sistem nilai budaya ini adalah adat atau adat-istiadat.
Adat adalah sesuatu yang menjadi kebiasaan masyarakat lokal atau
setempat, yang telah berlangsung lama dan diikuti oleh sebagian besar
masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu, berbeda masyarakat maka
berbeda pula adatnya. Berbicara mengenai adat maka konteksnya adalah
keragaman, baik keragaman suku, keragaman agama, maupun sosial budaya.
Agar adat-istiadat dapat berfungsi dalam terciptanya ketertiban,
kerukunan, kedamaian, kesetiakawanan sosial, serta kesejahteraan sosial
masyarakat, maka pelaksanaannya telah diatur dan diselaraskan oleh hukum
adat. Kaidah-kaidah yang mengandung pokok adat adalah sloko adat yang
sering disebut sebagai petatah-petitih adat. Sloko adat paling kurang
memiliki 4 (empat) fungsi utama:
1. sebagai kesusasteraan yang bernilai tinggi
2. sebagai alat masyarakat adat dalam menjaga dan melaksanakan ketertiban umum
3. sebagai pedoman dasar (literatur) adat
4. sebagai referensi adat masyarakat lokal
MASALAH
Jauh, sebelum masa berlakunya 'Undang-Undang No. 5 Tahun 1974' dan
'Undang-Undang No. 5 Tahun 1979', di seluruh wilayah Indonesia telah
berlaku suatu bentuk otonomi asli menurut adat-istiadat masyarakat
lokal. Pada masa itu, adat-istiadat menjadi acuan dasar dalam kehidupan
bermasyarakat maupun dalam kehidupan sosial politik. Dengan kata lain,
adat-istiadat dan hukum adat dipandang mampu menciptakan ketertiban,
kerukunan, kedamaian, dan kesetiakawanan sosial masyarakat.
Di daerah Jambi, misalnya, otonomi asli itu terwujud dalam bentuk
pemerintahan marga, 'mendapo' (di Kerinci), kampung dan dusun, yang
berlaku di seluruh wilayah Keresidenan Jambi. Di sinilah kedudukan nilai
budaya masyarakat lokal (adat) mendapat tempat terhormat di dalam
kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Pada kala itu, pimpinan
pemerintahan menjalankan roda pemerintahannya berdasarkan atas
adat-istiadat yang berlaku pada masyarakat adat (lokal).
Kemudian terjadi perubahan di mana pemerintahan Orde Lama berganti
dengan Orde Baru sehingga tatanan yang lama berganti dengan tatanan yang
baru pula. Pemerintah Orde Baru membawa perubahan yang besar dengan
menerapkan beberapa undang-undang antara lain sebagai berikut:
1) UUPK Nomor 5/Tahun 1967 dan PP Nomor 21 Tahun 1970, yang mengundang pengusaha Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dari Jakarta.
2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang 'Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah'.
3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang 'Pemerintahan Desa dan Kelurahan'.
Kehadiran perusahaan kayu ini, pada mulanya, memang menjanjikan
kehidupan baru bagi masyarakat dalam menunjang ekonominya yang sedang
menurun. Pada masa awal dekade tahun 1970-an, masyarakat Jambi sedang
menghadapi kesulitan ekonomi karena harga karet turun drastis. Oleh
karena itulah maka pada dekade tahun 1970-an hutan-hutan di Jambi mulai
dieksploitasi secara besar-besaran. Sebagian besar para pelopor
eksploitasi hutan-hutan tersebut adalah pengusaha pendatang dari Jakarta
yang memang sengaja diundang oleh pemerintah pusat.
Dari sisi ekonomi, kehadiran pengusaha pemegang HPH dipandang mampu
menopang percepatan roda perekonomian, akan tapi bagi masyarakat hukum
adat kehadiran HPH ini dipandang sebagai awal dari penghapusan hak
masyarakat adat. Menghadapi kenyataan ini masyarakat adat tidak dapat
berbuat apa-apa karena kuatnya sentralisasi. Akibatnya, masyarakat adat
pun semakin lama semakin kehilangan hak adatnya untuk mengelola dan
mengawasi sumber daya hutan miliknya, yang berlanjut dengan kehilangan
sumber pendapatan beserta pajaknya. Sementara itu, pihak pengusaha HPH
merasa tidak perlu lagi turut membangun masyarakat lokal, karena pihak
pengusaha HPH telah membayar upeti atau pun royalti kepada pemerintah
pusat. Oleh karena itu, pengusaha HPH secara leluasa melakukan
penebangan hutan tanpa ada pihak lokal yang dapat mengontrolnya karena
pihak masyarakat adat telah kehilangan wibawa dan legitimasinya.
Intervensi pemerintah pusat ke daerah masih dilanjutkan lagi dengan cara
yang sistematis melalui penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979
tentang 'Pemerintahan Desa dan Kelurahan' di seluruh Indonesia.
Berlakunya undang-undang ini di daerah Jambi diatur melalui Peraturan
Daerah No. 8 Tahun 1981. Pelaksanaan Undang-Undang No.5 Tahun 1979 pada
dasarnya menganut tiga prinsip umum, yakni (1) pola keseragaman; (2)
tidak mengatur desa dari aspek budaya atau adatnya; serta (3) tidak
mengakui prinsip otonomi daerah. Oleh karena itu, pelaksanaan Undang
Undang No.5 Tahun 1979 dipandang sebagai penghapusan tahap kedua hak-hak
masyarakat adat.
Namun demikian fakta sejarah menunjukan bahwa meskipun Undang-Undang No.
5 Tahun 1979 telah diberlakukan di daerah Jambi dan secara de facto
wilayah dan pemerintahan marga, 'mendapo', kampung maupun dusun manjadi
hapus, akan tetapi secara yuridis formal eksistensi marga, mendapo,
kampung dan dusun masih ada. Hal ini karena penghapusan marga,
'mendapo', kampung dan dusun tersebut sampai saat ini belum pernah
diatur oleh ketetapan perundang-undangan yang berlaku, atau pun semacam
Peraturan Daerah.
Pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 dengan menerapkan pola
keseragaman sangat menguntungkan dan memperkuat posisi pemerintah
pusat, misalnya antara lain adalah sebagai berikut.
1. Melalui kebijakan pemerintah pusat (melalui departemen) maka potensi
sumber daya alam seperti tambang, laut, hutan, dan tanah yang berada di
daerah dikuasai dan dikelola sepenuhnya oleh/melalui pemerintah pusat.
2. Karena pemerintah daerah tidak memiliki pendapatan asli daerah yang
memadai maka pemerintah daerah pun akan selalu tergantung pada
pemerintah pusat, terutama mengenai anggaran pembangunan.
Sebaliknya dengan pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 telah
menimbulkan banyak kerugian masyarakat daerah, antara lain adalah
sebagai berikut.
Pemerintahan desa (dusun, kampung, dan lain-lain) kehilangan sumber
pendapatan aslinya karena keberadaan tanah adat (marga, 'mendapo',
kampung dan dusun) telah dikuasai pemilik modal HTI / HPH dan perorangan
lainnya.
1. Masyarakat hukum adat kehilangan haknya untuk mengelola dan
memanfaatkan potensi sumber daya alam karena telah berpindah tangan
kepada pemilik modal HTI / HPH dan perorangan lainnya.
2. Masyarakat desa kehilangan wadah dan saluran demokrasinya.
3. Timbul berbagai bentuk penyakit sosial (kriminal, narkoba, mabuk
minuman keras, serta dekadensi moral) karena nilai budaya dan pimpinan
adat telah kehilangan legitimasinya.
4. Kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan masih melanda masyarakat pedesaan.
5. Rasa tanggung jawab, kesetiakawanan sosial menjadi menurun dan
masyarakat menjadi gamang karena pimpinan adat dan masyarakat adat
kehilangan legitimasinya.
Nampaknya perubahan terus bergulir. Hal ini disebabkan pemerintahan Orde
Baru harus berakhir karena jatuhnya Presiden Soeharto pada tanggal 21
Mei 1998. Pemerintahan Orde Baru berganti dengan Pemerintahan Orde
Reformasi. Seiring dengan itu terbitlah Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
tentang 'Pemerintahan Daerah', dan pada tanggal 1 Januari tahun 2001
secara resmi berlaku pula 'otonomi daerah' di seluruh Indonesia.
Seharusnya desa dan masyarakatnya ikut pula mengalami perubahan makna
atas keadaan tersebut.
Undang-Undang No 22 Tahun 1999 telah memberikan harapan baru dan angin
segar tentang keberadaan adat-istiadat, yang hidup pada masyarakat lokal
di seluruh Indonesia. Bagi masyarakat lokal ada sedikit kesempatan dan
peluang di dalam 'otonomi daerah' tersebut, untuk membangun adat
istiadatnya. Peluang ini diperoleh karena Undang-Undang No. 22 Tahun
1999 menganut prinsip dasar: (1) keanekaragaman budaya (adat); (2)
partisipasi masyarakat; (3) otonomi asli; (4) pemberdayaan masyarakat;
(5) demokratisasi.
Dilihat dari sisi adat-stiadat sebagai akibat dari pelaksanaan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 maka kelemahan terbesar pada era otonomi
daerah ini ada pada minoritas kreatif (pemangku adat) dan mayoritas
kreatif yang telah kehilangan daya kreativitasnya. Hal ini dapat
dimengerti karena sejak Orde Baru sampai saat ini posisi ketokohan
pemangku adat telah diambil alih oleh kalangan politisi dan birokrasi.
Kondisi seperti ini diikuti pula dengan sikap masyarakat umum yang
seolah-olah tidak memerlukan lagi adat-istiadat serta memandang adat itu
merupakan persoalan masa lampau.
Inilah problema di seputar adat istiadat dan masyarakat adatnya di
tengah-tengah alam demokrasi dan 'otonomi daerah'. Sampai awal abad
ke-21 ini, posisi marginal yang disandang masyarakat adat di
tengah-tengah alam demokrasi dan otonomi daerah masih belum banyak
berubah (berjalan di tempat) seperti kondisi masa pemerintahan Orde Baru
yang lalu. Padahal, di dalam suasana masyarakat yang selalu mengalami
perubahan inilah, diperlukan suatu aksi masyarakat yang konstruktif
yakni Gerakan Kembali Ke Adat. Dengan gerakan ini diharapkan mampu
berfungsi menggerakkan segenap komponen masyarakat untuk mencintai
budaya dan adat istiadatnya masing-masing.
FILOSOFIS
Fakta menunjukan bahwa kehidupan manusia sulit dipisahkan dengan
berbagai bentuk kebiasaan-kebiasaan perilakunya termasuk di dalamnya
adat-istiadat. Bagi manusia yang cinta dengan nilai budaya tentunya
mendambakan (das sollen) agar adat-istiadat, dapat mengatur perilaku dan
kehidupan sosial manusia di dalam masyarakatnya. Mereka ini
bercita-cita agar adat-istiadat kembali menjadi tuntunan dan pedoman
hidup manusia dalam mengatur tata kelakuannya, akan tetapi kadang kala
harapan tidak sesuai dengan kenyataan (das sein). Oleh karena itu,
antara das sollen dan das sein tidak selalu terdapat kesesuaian,
sehingga adat-istiadat sering tertinggal dan ditinggalkan oleh
masyarakat pendukungnya di tengah-tengah perubahan dan arus globalisasi.
Dalam keadaan seperti ini maka gerakan kembali ke adat adalah titik
temu antara perubahan masyarakat di satu pihak, dan hasrat ingin
mempertahankan adat-istiadat yang luhur di pihak lain.
Gerakan Kembali ke Adat adalah perwujudan rasa kesadaran masyarakat
dalam mempertahankan, melestarikan, serta melindungi adat istiadat
leluhur yang bernilai tinggi dari ancaman kepunahan sebagai akibat
proses perubahan dan globalisasi. Gerakan ini adalah obsesi dari segenap
komponen masyarakat yang cinta damai dan mengagumi nilai budaya yang
bernilai tinggi. Oleh karena itu, kesadaran ini tumbuh dari bawah
sebagai suatu bentuk kepedulian masyarakat terhadap budaya leluhur yang
saat ini terancam kepunahan. Manusia sadar bahwa di tengah-tengah
kehidupan masyarakat yang tergantung dengan IPTEK ternyata adat-istiadat
masih diperlukan, bahkan semakin diperlukan. Oleh karena tujuan dan
cita-cita gerakan kembali ke adat, adalah menuju perwujudan ketertiban,
kerukunan, kedamaian, kesetiakawanan sosial, dan kesejahteraan sosial
masyarakat.
Ditinjau dari segi filosofis maka gerakan kembali ke adat adalah gerakan
moral masyarakat dalam upaya pelestarian, penyelamatan, dan pewarisan
nilai-nilai budaya kepada generasi penerus. Gerakan ini dapat berfungsi
antara lain adalah sebagai berikut: (1) Sebagai sumber motivasi dan
inspirasi masyarakat menuju terwujudnya ketertiban, kerukunan,
kedamaian, dan kesetiakawanan sosial dan kesejahteraan sosial dalam
rangka kehidupan masyarakat. (2) Sebagai model pemberdayaan masyarakat
untuk menuju ketertiban, kerukunan, kedamaian, dan kesetiakawanan sosial
dan kesejahteraan sosial dalam rangka kehidupan masyarakat. (3) Sebagai
koreksi masyarakat atas kekurangan dan kelalaian dalam pemberdayaan
masyarakat adat. (4) Sebagai alat kontrol masyarakat dalam menghadapi
perubahan yang tanpa batas.
ENTRY POINT
Secara umum permasalahan adat di seluruh Indonesia adalah sama, namun di
setiap daerah memiliki problematika yang berbeda. Oleh karena itu untuk
masing-masing daerah maka entry point atau titik awal gerakan kembali
ke adat tentunya tidak sama. Berdasarkan pada permasalahan tersebut di
atas maka untuk daerah Jambi maka Gerakan Kembal ke Adat dapat dimulai
dari upaya pemberdayaan institusi tradisional melalui kinerja pegawai
syarak.
GERAKAN MORAL
Posisi adat-istiadat yang selama ini menjadi pedoman dalam pengatur tata
kelakuan manusia telah diambil alih posisinya oleh sistem nilai yang
baru. Sedangkan struktur masyarakat adat telah pula cenderung berubah
menuju masyarakat moderen. Perubahan ini ditandai dengan timbulnya
kenyataan-kenyataan dalam kehidupan sehari-hari antara lain sebagai
berikut:
1. Sistem nilai budaya atau adat istiadat lokal yang selama ini mengatur
tata kelakuan hidup manusia telah kehilangan legitimasinya sehingga
posisi adat-istiadat telah diganti oleh hukum positif dan politik yang
dikendalikan negara.
2. Nilai-nilai kepercayaan yang bersumber dari agama mulai luntur dan
posisinya telah diganti oleh nilai-nilai ilmu pengetahuan yang sekuler.
3. Di dalam masyarakat telah mulai luntur nilai gotong-royong dan
diganti dengan nilai individualistis yang mengancam akhlak manusia.
Munculnya 3 (tiga) fenomena tersebut di atas menandaskan kepada kita
bahwa Gerakan Kembali ke Adat adalah gerakan moral yang berisi cita-cita
moral agar segenap komponen masyarakat dapat melestarikan nilai budaya
(adat-istiadat) masyarakat yang bernilai tinggi. Sehingga dampak negatif
dari perubahan dan globalisasi tidak mengikis habis bangunan moral
masyarakat lokal. Paling tidak, gerakan ini akan memperingatkan kepada
kita untuk tetap memelihara unsur-unsur budaya dan adat istiadat
masyarakat lokal supaya terhindar dari kepunahan. Oleh karena itu,
Gerakan Kembali ke Adat sebenarnya juga berisikan cita-cita moral
sebagai berikut:
1. Mencegah kepunahan adat-istiadat.
2. Mempertahankan adat-istiadat yang bernilai luhur serta mendukung
terwujudnya ketertiban, kerukunan, kedamaian, kesetiakawanan dan
kesejahteraan sosial masyarakat.
3. Mendukung (tidak anti) proses perubahan dalam masyarakat.
FUNGSI GERAKAN
Fungsi pertama Gerakan Kembali ke Adat adalah juga merupakan sebagai
sumber motivasi dan inspirasi masyarakat dalam menuju perwujudan
ketertiban, kerukunan, kedamaian, dan kesetiakawanan sosial dan
kesejahteraan sosial dalam rangka kehidupan masyarakat. Oleh karena itu,
maka gerakan kembali ke adat merupakan sumber motivasi dan sumber
inspirasi masyarakat dalam menyongsong kehidupan masa depan yang lebih
baik. Wujud nyata gerakan kembali ke adat bukanlah impian untuk
mengembalikan semua nilai budaya (adat-istiadat) lama di tengah-tengah
kehidupan dewasa ini. Melainkan sebagai revitalisasi adat-istiadat ke
dalam kehidupan sehari-hari untuk menunjang ketertiban, kerukunan,
kedamaian, kesetiakawanan sosial dan kesejahteraan sosial masyarakat.
Untuk mencapai cita-cita wujud nyata tersebut maka diperlukan proses
perubahan sosial dan perubahan kebudayaan dalam masyarakat. Perubahan
yang dimaksud adalah perubahan yang berisikan perpaduan antara
adat-istiadat yang penuh dengan tradisi dengan nilai-nilai baru yang
penuh dengan IPTEK. Perubahan ini akan berjalan dengan baik bila dalam
masyarakat terdapat proses akulturasi, inovasi, discovery (penemuan
baru), dan invention (pembudayaan). Proses ini akan berlanjut bila ada
pemberdayaan kepada masyarakat pendukung di mana kebudayaan itu tumbuh
dan berkembang. Dengan kata lain pemberdayaan adalah proses awal menuju
akulturasi, inovasi, discovery (penemuan baru), dan invention
(pembudayaan) di dalam masyarakat. Gerakan kembali ke adat berfungsi
pula sebagai model pemberdayaan masyarakat terutama masyarakat adat.
Sebagai akibat dan pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 dan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1979, maka kondisi kehidupan masyarakat di
pedesaan sampai awal abad ke-21 ini mengalami banyak masalah dan
kemunduran. Salah satu di antara masalah dan kemunduran itu ialah nilai
budaya atau adat istiadat masyarakat lokal yang selama ini mengatur tata
kelakuan hidup manusia telah kehilangan legitimasinya karena posisinya
telah diganti oleh hukum positif dan politik yang dikendalikan negara.
Di samping adanya kemunduran tersebut dewasa ini, kehidupan sosial
budaya manusia cenderung tergantung pada ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK). Semakin lama semakin tinggi tingkat ketergantungan manusia pada
IPTEK itu.
Oleh karena itu maka Gerakan Kembali ke Adat merupakan sebuah bentuk
koreksi terhadap kedua hal tersebut di atas, yakni kemunduran bidang
nilai budaya (adat-istiadat) dan ketergantungan yang tinggi terhadap
IPTEK. Koreksi masyarakat ini juga merupakan suatu peringatan kepada
kita bahwa di dalam masyarakat masih terdapat kesenjangan dan masalah di
sekitar adat-istiadat. Bilamana masalah ini tidak dapat diselesaikan
atau tidak ada pemecahannya maka dikhawatirkan akan muncul masalah baru
yang lebih besar lagi.
Dalam abad ke-21 ini, kita telah menyaksikan betapa dunia semakin lama
menjadi semakin sempit dan kecil bila dibandingkan dengan mobilitas
penduduknya yang semakin tinggi. Mobilitas manusia dari suatu tempat ke
tempat lain cenderung meningkat sejalan dengan adanya revolusi ilmu
pengetahuan dan teknologi terutama di bidang transportasi dan
telekomunikasi. Dahulu informasi sangat sulit diperoleh dan hubungan
antar negara sangat jarang terjadi. Namun kini, tidak ada satu negara
pun yang dapat mengisolasi diri dari perubahan dunia. Dunia seolah-olah
kecil dan sempit tanpa batas negara, tanpa batas administratif, tanpa
batas budaya, tanpa batas politik. Akibatnya, komunitas dan komunikasi
manusia antar negara akan menjadi saling ketergantungan satu sama lain
(interdependention). Sebagai akibatnya, di mana pun di belahan bumi ini
manusia dapat melakukan pertemuan-pertemuan untuk berbagai kepentingan.
Apakah ini yang dinamakan globalisasi ?
Globalisasi itu pada intinya adalah perubahan dan perubahan itu akan
selalu terjadi pada kehidupan masyarakat. Globalisasi tidak perlu
dimusuhi karena di dalamnya mengandung aspek positif dan negatifnya. Dan
juga globalisasi tidak mungkin dapat ditolak karena mesin globalisasi
yakni media cetak dan elektronik telah menjadi bagian hidup manusia
dewasa ini. Oleh karena itu maka kita perlu menyikapi globalisasi itu
dengan jalan berpikir global dan bertindak lokal.
Globalisasi berdampak pada segala bidang kehidupan, namun dampak yang
paling besar pada tiga bidang, yakni ekonomi, politik, dan kebudayaan.
Titik paling rawan ada pada bidang kebudayaan karena pada bidang ini
hampir tidak ada kontrol yang membatasi perubahan itu. Gerakan kembali
ke adat akan berfungsi pula sebagai alat kontrol terhadap perubahan yang
tanpa batas itu, khususnya perubahan dalam bidang kebudayaan.
KEGUNAAN
Bilamana Gerakan Kembali ke Adat ini dapat berkembang dengan baik,
menjadi isu nasional bahkan internasional, maka masyarakat akan
mengambil berbagai manfaat yang berharga dari kearifan masyarakat lokal
tersebut. Gerakan Kembali ke Adat berguna bagi kegiatan-kegiatan antara
lain adalah sebagai berikut:
1) Perlindungan budaya (adat-istiadat) masyarakat lokal akan terhindar dari kepunahan.
2) Perwujudan ketertiban, kerukunan, kedamaian, kesetiakawanan sosial dan kesejahteraan sosial masyarakat.
3) Pelestarian dan perlindungan potensi lingkungan hidup, seperti
potensi hayati, non hayati, daerah tangkapan air (DTA) dan ekosistemnya.
4) Pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan Taman Nasional dan Taman Margasatwa, dan lain sebagainya.
5) Pengelolaan dan pemanfaatan benda-benda cagar budaya dan situs
sejarah untuk tujuan wisata, pendidikan, penelitian dan tujuan religius.
6) Pencegahan dan mengatasi pengaruh narkoba, kriminal, amuk massa, dan penyakit masyarakat lainnya.
DAFTAR BACAAN:
1. Anonim, 1992, "Lembaga Adat Propinsi Jambi", Konsep Buku Acuan Adat Istiadat Daerah Propinsi Dati I Jambi.
2. ----------, 1993, "Lembaga Adat Propinsi Jambi", Materi Pembekalan
Adat Istiadat Bagi Kepala Desa / Kelurahan Dalam Propinsi Jambi dari
Tanggal l 9 - 13 Februari 1993.
3. ----------, 1995, "Pemda Kodya Jambi: Garis-Garis Besar Pedoman Adat Bagi Pemangku Adat dalam Kotamadya Dati II Jambi".
4. ---------, 1986, Dampak Moderenisasi terhadap Hubungan Kekerabatan
pada Suku Bangsa Melayu Jambi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Jambi.
5. ---------, 2002, "Identifikasi Unsur Budaya Melayu Jambi",
Rekomendasi Dialog Budaya Melayu Jambi, YBLB Jambi, 20 Oktober 2002,
Jambi.
6. Mukti Nasruddin, 1989, Jambi dalam Sejarah Nusantara, Jambi.
7. Fachruddin Saudagar, 2000, Tanah Adat dan Daerah Otonom, Jambi.
8. S. Gravengahe dan Martinus Nijhoff, 1912, Adatrechts bundel V,
Koninklijk Insituut de Taal Land en Vulkenkunde van Nederlandsch Indie,
Amsterdam.