______---Assalamualaikum sahabat ku........Selamat datang di " Kantie Baselo " .........Jika kau memerlukan nikmat dunia, cukuplah Islam sebagai nikmatmu. Jika kau memerlukan keasyikan, cukuplah taat pada Allah sebagai keasyikanmu. Dan jika kau memerlukan pengajaran, cukuplah maut itu sebagai pengajaran bagimu (Ali ibn Abi Thalib), semoga bermanfaat---_______

Sunday, March 27, 2011

Pemikiran Plato dan Aristoteles

Posted by Dovi Eka Wiranata |


Negara Kota Dalam Pemikiran Plato

Dalam sejarah peradaban umat manusia kita mengenal adanya kota-kota kuno yang menjadi pusat kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Kota tertua di dunia menurut Max Diamont  adalah Jerussalam, setelah itu Kairo, Babilonia, Memphis, Mohenjodaro. Negara Kota Yunani klasik berbeda dengan Negara modern ini,  baik dari luas wilayahnya, struktural sosial, jumlah penduduk maupun lembaga lembaga politiknya, luas wilayah Negara Kota tidak melebihi luas dari propinsi terkecil di Indonesia, dengan jumlah penduduk sekitar tiga puluh ribu orang, jumlah penduduk relatif memungkinkan anggota Negara kota untuk saling mengenal dam memahami. Sehinga sistem demokrasi alat dilaksanakan secara langsung dalam mengambil keputusan politik.
Salah satu kebiasaan orang yahudi kuno adalah membicarakan berbagai persoalan hidup, termasuk permasalahan politii, adalah karena Negara polis sering menganti sistem politik pemerintahan dari monarki ke aristokrasi, dan ke tirani dan baru kemudian ke sistem pemerintahan demokrasi. Sekitar abad V SM, Athena adalah ibu kota Yunani, yang pernah menjadi kota perdagangan, sehingga terbukanya peluang masyarakat perdagangan, proses pertukaran  (barter) barang  barang kebutuhan hidup berlangsung disertai dengan saling pengaruh budaya orang-orang Athena dengan masyarakat di sekeliling Negara kota. Negara kota ini juga memiliki armada laut yang kuat. Athena berkembang menjadi sebuah Negara demokrasi.
Yang menarik, meski demokrasi diterapkan di Negara kota ini, perbudakan dibenarkan yang diangap sebagai kenyataan sosial, pemikir atau filusuf yang mengugat tentang status quo perbudakan diangap aneh, sama dengan keadaan  antara majikan dengan buruh sekarang. Aristoteles, membenarkan perbudakan karena sebagai bagian dari hukum alami, budak menurutnya sebagai pandangan yang bersifat fungsional, golongan budak diperlukan untuk mengerjakan semua pekerjaan, kasar atau pekerjaan yang bersifat fisik, dengan membenarkan perbudakan tersebut Aristoteles menutup kemungkinan terjadinya mobilitas vertikal sosial golongan budak, dan tidak mungkin budak berubah statusnya menjadi Aristokrat..
Di masa Pericles Athena mengalami kemajuan dan kejayaan, berperadaban tinggi, adil dan makmur, yang kemudian berhasil membangun pemerintahan  Athenian Democratia, yang kritterianya yang disampaikan oleh  Roy Macridis. Pertama, pemerintahan dari rakyat dengan partisipasi rakyat secara langsung dan penuh. Kedua, persamaan didepan hukum. Ketiga, pluralisme, pengahargaan atas semua bakat dan pandangan. Keempat, penghargaan terhadap suatu pemisahan wilayah  pribadi.
Negara Athena bersifat peternalistik personal dan memiliki sifat-sifat pegayuban, tidak seperti Negara modern yang mana antara sesame warga Negara kurang memiliki hubungan batin yang kuat bersifat impersonal, di Athena hubungan antara sesama warga Negara seperti hubungan anggota keluarga, dan hubungan penguasa dengan rakyat seperti hubungan antara bapak dengan anaknya.
Negara Athena hancur dan berakhir pada tahun 431-404 terjadi perang peloponnesia. Negara kota itu runtuh karena serangan Negara Sparta, yang kemudian sebagian rakyat Athena dijadikan sebagai budak.  Kunci kemenangan Sparta terhadap Athena , diantaranya terkait dengan sistem kenegaraan yang dimilikinya. Sparta adalah sebuah Negara Aristokrat meliter yang kuat, di Negera tersebut seperti yang tertulis dalam konstitusi Sparta , tanpa pengecualian adalah tentara. Rakyat Sparta laki-laki dan wanita, anak-anak diwajibkan oleh Negara latihan olahraga keras dan pendidikan kemiliteran. Menurut penulis inilah yang menginspirasi negara hari ini untuk wajib militer seperti di Amerika Serikat misalnya. Plato merasa tidak percaya dengan begitu cepatnya hancurnya negara Athena yang di idealkan selama ini oleh Plato, Athena yang menjunjung nilai-nilai demokrasi.
Kewajiban latihan fisik itu mendidik rakyat Sparta menjadi manusia yang sangat disiplin, kehidupannya teratur, memiliki ketaatan tinggi pada pemimpin, dan selalu siap menghadapi peperangan. Sementara Negara Athena adalah negara demokrasi yang tidak memiliki program militerisasi yang ketat seperti Sparta, inilah yang membuat kelemahan dari Athena dalam mempersiapkan diri dalam peperangan. Mungkin ini salah satu faktor penyebab hancurnya Athena, bagaiamana dengan kondisi komtemporer hari ini, hancurnya negara Islam apakah juga disebabkan lemahnya negara Islam dalam militer atau bagaimana?
Plato meratapi kehancuran Athena, negara yang selama ini dia idealkan siste pemerintahannya,  ratapan Plato itu nampak dalam karya-karyanya pemikir politik ini, meskipun kekalahan Athena berdampak positif,  mirip dengan Jepang yang kalah perang melawan Amerika Serikat dan tentara sekutu pada perang dunia II, yang kemudian bangkit menjadi adi kuasa di kawasan Asia saat ini. Athena sekarang menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat kenegaraan justru sesudah kekalahannya dalam perang peloponnesos, ternyata Athena menjadi pusat pendidikan Negara-Negara di sekitar laut tengah.
Pada 469 SM, lahirlah Socrates yang kemudian menjadi filusuf terkemuka, yang kritis dan tidak mudah percaya dengan sesuatu apapun tentang kebenaran, akal harus digunakan untuk secara terus menerus meragukan, bertannya dan selalu bertannya dan sampai dan kebajikan itu benar-benar dipahami, bertanya dan kemudian Socrates menjawab pertanyaan tersebut, sehingga orang yang bertanya membuat kehabisan pertanyaan. Karena diangap sesat dan menyesatkan pemikirannya menyesatkan masyarakat oleh penguasa politik dan konspirasi kaum sofis, Socrates dijatuhi hukuman mati dengan meminum racun 399 SM.
Sesudah peradaban  dan kebudayaan Mycena runtuh, kerajaan sebagai simbol kekuasaan dengan megahnya istana. Walaupun tidak ada dua dari ratusan negara kota yunani yang memiliki sistem organisasi pemerintahan yang sama, namun secara umum memiliki persamaan dalam hal ini memiliki persamaan yaitu memiliki Mahkamah –Mahkamah (dikasteria), senat atau Dewan, yang berhak dihadari oleh semua warga, badan-badan kehakiman atau mahkamah itu sesunguhnya berasal dari kebiasaan pengadilan kepala-kepala suku, sedangkan senat dan sidang umum berasal dari tradisi kolektivimisme.
Sebagaimana yang telah dikemukakan  sebelumnya, meskipun Yunani terdiri dari negara kota  yang mandiri yang saling bertempur, namun senantiasa mereka memiliki ikatan yang senantiasa menyatukan, kesadaran ini yang membuat mereka bersatu ketika mereka sedang menghadapi ancaman dari luar, membuat mereka segera bersekutu.
Puncak kejayaan Yunani pada sekitar abad 5 SM, kejayaan Yunani yang mencapai puncaknya kemudian mulai memudar dan akhirnya runtuh sama sekali, hal ini disebabkan peperangan melawan Persia yag terjadi 3 kali, perang peloponesos perang antara Sparta dan Athena, namun Athena telah mampu meninggalkan peradaban yang luar biasa, dan Athena dibalik kehancurannya mampu melahirkan filsafat politik yang mengagumkan dunia seperti Plato, yang lahir dari peradaban ini.

Pemikiran Plato
Socrates adalah sangat besar berpengaruh terhadap pemikiran Plato, ia adalah murid setia Socrates yang banyak mewarisi tradisi keilmuan dan filsafat gurunya, malalui Plato pemikiran-pemikiran Socrates dilestarikan, Socrates mempunyai kelemahan karena buah atau hasil dari pemikirannya tidak ditulis dalam bentuk tulisan oleh Plato, adalah kemudian Plato berinisiatif menulis semua pemikiran-pemikiran gurunya, melalui karya Plato yang fenomenal diantarannya; dialog, republic, negara dan apologia.
Nilai-nilai atau pandangan Plato pada dasarnya adalah pandangan tentang kebajikan  sebagai dasar negara ideal, ajaran Socrates kebajikan pengetahuan adalah diterima secara taken for granted, jadi penulis melihat bahwa pemikiran Plato nilai- nilai orisionalitasnya dipertannyakan, penulis berani mengatakan bahwa pemikiran Plato tidak ada, tapi yang ada adalah kelanjutan pemikiran Socrates saja yang ditulis dan dilanjutkan oleh Plato, artinya Plato hanya melanjutkan pemikiran Socrates yang kemudian dikembangkannya yang tidak terlalu mendalam, jadi  menurut penulis kita tidak boleh terlalu mengagung-agungkan pemikiran Plato itu sendiri.
Menurut Plato negara ideal menganut prinsip yang mementingkan kebajikan. Kebajikan menurut Plato adalah pengetahuan. Apapun yang dilakukan atas nama Negara harus dengan tujuan untuk mencapai kebajikan, atas dasar itulah kemudian Plato memandang perlunya kehidupan bernegara. Tidak ada cara lain menurut Plato untuk membanguan pengetahuan kecuali dengan lembaga-lembaga pendidikan,  inilah yang kemudian memotivasi Plato untuk mendirikan sekolah dan akademi pengetahuan.
Plato menilai negara yang mengabaikan prinsip kebajikan jauh dari negara yang di dambakan oleh manusia, sehinga negara yang ideal menurut Plato adalah negara negara yang menjunjung kebajikan. Plato mengambarkan seorang filsuf adalah dokter, filsuf meski mengetahui penyakit-penyakit yang dialami oleh masyarakat, mampu mendiagnosa dan mendeteksi sejak dini. Plato beranggapan munculnya negara adalah akibat hubungan timbal balik dan rasa saling membutuhkan antar sesama manusia.
Plato berangapan munculnya negara karena adanya hubungan timbal balik dan rasa saling membutuhkan antara sesama manusia, manusia juga dianugerahi bakat dan kemampuan yang tidak sama, pembagian kerja-kerja sosial muncul akibat adanya perbedaan alami, masing-masing memiliki bakat alamiah yang berbeda, perbedaan bakat dan kemampuan justru baik bagi kehidupan masyarakat, karena menciptakan saling ketergantungan, setiap manusia tentu tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya secara subsistensi, yang untuk memenuhi kebutuhan tersebut membutuhkan orang lain, negara dalam hal ini berkewajiban memperhatikan pertukaran timbal balik, dan berusaha agar kebutuhan masyarakat terpenuhi.
Negara ideal menurut Plato juga didasarkan pada prinsip-prinsip larangan atas kepemilikan pribadi, baik dalam bentuk uang atau harta, keluarga, anak dan istri inilah yang disebut nihilism. Dengan adanya hak atas kepemilikan menurut filsuf ini akan tercipta kecemburuan dan kesenjangan sosial yang menyebabkan semua orang untuk menumpuk kekayaannya , yang mengakibatkan kompetisi yang tidak sehat. Anak yang baru lahir tidak boleh dikasuh oleh ibu yang melahirkan tapi itu dipelihara oleh Negara, sehinga seorang anak tidak tahu ibu dan bapaknya, diharapkan akan menjadi manusia yang unggul, yang tidak terikat oleh ikatan keluarga dan hanya memiliki loyalitas mati terhadap negara.
Plato juga tidak memperkenankan lembaga perkawinan, tak seorang pun yang dapat mengklaim istri mereka, istri hanya bisa menjadi hak kolektif, hubungan seks yang dilakukan tidak boleh monogam melainkan poligami, Plato melihat lembaga perkawinan membuat ketidaksamaan antara laki-laki dan perempuan, yang lembaga perkawinan telah mengekang bakat alami manusia dan membuat diskriminasi.
Pemikiran Plato yang anti individualism yang telah merusak kehidupan sosial masyarakat Athena, manusia menjadi individualism hanya mementingkan kebutuhan diri mereka sendiri dan mengabaikan kepentingan orang lain. Padahal kehidupan bernegara menekankan petingnya saling ketergantungan sesama warga negara.
Ada tuduhan yang mengatakan bahwa Plato adalah anti demokrasi, adalah argumentasi ini membenarkan tuduhan itu. Mengapa Plato menjadi anti demokrasi, pemikiran Plato tidak terlepas dalam konteks sosio-hostoris kehancuran Athena. Kehancuran Athena menurut Plato bukan hanya karena kekalahan Athena dalam perang peloponesos. Kemenanagan Sparta atas Athena menunjukkan prinsip-prinsip dari kenegaraan bersifat Aristokrat militeristik yang ternyata lebih unggul dibandingakan dengan struktur kenegaraan Athena yang demokratis. Inilah yang melahirkan karya-karya Plato dalam judul republik. Dalam buku ini Plato secara tegas menunjukkan simpati dan kekagumannya kepada sistem kenegaraan otoriter Sparta dan antipatinya kepada demokrasi. Plato menuduh kehancuran Athena disebabkan akibat demokrasi yang lemah dan disintegrasi serta tidak stabil.
Di Negara demokrasi setiap orang berhak dan memiliki kebebasan dalam melakukan apa yang dikehendakinya, tanpa ada kontrol yang ketat dari negara, karena adanya kebebasan setiap orang berhak dalam mengkritik orang lain, terlepas apakah yang di kritik tersebut rakyat atau negara. Bila kekuatan saling mengkritik tanpa adanya control pemerintah, maka akan  menimbulkan kekacauan sosial.

Etika Plato
Apakah tujuan hidup manusia? Bagi Plato adalah kehidupan yang senang dan bahagia, manusia harus mengupayakan kesenangan dan kebahagian itu, menurut plato kesenangan itu tidak hanya kepuasan hawa nafsu selama hidup di dunia, Plato sepakat dengan kesenangan dua dunia itu. Dunia ide semua ide dengan ide yang baik atau kebaikan dengan kebajikan sebagai ide yang tertinggi di dunia, ide adalah realitas yang sesunguhnya, sementara segala sesuatu yang ada di indrawi merupakan realitas bayangan . Hanya orang yang baik dan bijaksana yang akan dapat memahami segala sesuatu yang beraneka ragam yang berubah-ubah yang ada di dunia indrawi.
Dengan demikian jelas bahwa etika Plato adalah etika yang berdasarkan dengan ilmu pengetahuan yang benar itu, sementara pengetahuan hanya dapat diperoleh diraih, dimiliki lewat akal budi, maka itulah kenapa etika Plato disebut dengan etika rasional.

Pemikiran Aristoteles
Aristoteles adalah murid Plato di akademi, dikenal sebagai pemikir emperis-realis berbeda dengan Plato yang berfikir utopis dan idealis. Bisa jadi pemikiran Aristoteles  adalah bentuk protes terhadap pemikiran dan gagasan  Plato.
Negara menurut Aristoteles diibaratkan dengan tubuh manusia, negara lahir dalam bentuk yang sederhana kemudian berkembang menjadi kuat dan sederhana, setelah itu hancur dan tenggelam dalam sejarah.  Negara terbentuk karena manusia yang membutuhkan Negara, manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa orang lain, hubungan saling ketergantungan antara individu dengan masyarakat.
Negara ideal menurut Plato adalah city state, negara yang tidak terlalu luas dan tidak terlalu kecil, negara luas akan sulit untuk menjaganya, sementara negara yang terlalu kecil akan sulit untuk dipertahankan karena mudah dikuasai. Menurut Aristoteles, negara adalah lembaga politik yang paling berdaulat, bukan berarti lembaga ini tidak memiliki batasan kekuasaan. Tujuan terbentuknya negara adalah untuk kesejahteraan seluruh penduduk atau rakyat bukan kesejahteraan individu. Negara yang baik menurut Plato adalah negara yang dapat mencapai tujuan-tujuan negara. Sementara negara yang tidak dapat melaksanakan tujuan-tujua tersebut maka adalah negara gagal.
Idealnya menurut Aristoteles monarki sebagai negara ideal, karena ia diperintah oleh seoarang filsuf, arif dan bijaksana. Kekuasaan untuk kesejahteraan rakyat. Tapi Aristoteles menyadari sistem monarki nyaris tak mungkin ada dalam realitas, ia hanya gagasan yang lahir bersifat normative  yang sangat sukar diwujudkan dalam dunia emperis. Oleh karena itu demokrasi menurut Aristoteles dari tiga bentuk negara itu yang bisa diwujudkan dalam kenyataan. Berbeda dengan Plato tidak bersifat realistik ketimbang Aristoteles .
Berbeda dengan Plato mengenai hak milik, Aristoteles membenarkan adanya hak milik individu, hak milik penting untuk memberikan tanggung jawab bagi seseorang untuk mempertahankan kelangsungan kehidupan sosial.   
Karya terbesar filsafat yang dihasilkan oleh Aristoteles adalah logika, sehingga banyak orang mengatakan dia sebagai penemu, atau bapak logika, sebebarnya istilah logika tidak pernah dipergunakan oleh Aristoteles, tapi juga kita mengenal ini dengan dealetika, inti dari logika adalah cara untuk menarik prosisi demi mencari kebenaran, juga sebagai sarana untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
Pengaruh Aristoteles terhadap cara berpikir Barat di belakang harisungguh mendalam. Di zaman dulu dan zaman pertengahan, hasil karyanyaditerjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Latin, Arab, Itali, Perancis,Ibrani, Jerman dan Inggris. Penulis-penulis Yunani yang munculkemudian, begitu pula filosof-filosof  Byzantium mempelajari karyanyadan menaruh kekaguman yang sangat. Perlu juga dicatat, buahpikirannya banyak membawa pengaruh pada filosof Islam dan berabad-abad lamanya tulisan-tulisannya mendominir cara berpikir Barat. Ibnu Rusyd (Averroes), mungkin filosof Arab yang paling terkemuka, mencoba merumuskan suatu perpaduan antara Teologi Islam dengan rasionalisme Aristoteles. Maimomides, pemikir paling terkemuka Yahudi abad tengah berhasil mencapai sintesa dengan Yudaisme.
 Tetapi, hasil kerja paling gemilang dari perbuatan macam itu adalah Summa Theologia-nya cendikiawan Nasrani St. Thomas Aquinas. Di luar daftar ini masih sangat banyak kaum cerdik pandai abad tengah yang terpengaruh demikian dalamnya oleh pikiran Aristoteles. Kekaguman orang kepada  Aristoteles menjadi begitu melonjak di akhir abad tengah tatkala keadaan sudah mengarah pada penyembahan berhala. Dalam keadaan itu tulisan-tulisan Aristoteles lebih merupakan semacam bungkus intelek yang jitu tempat mempertanyakan problem lebih lanjut daripada semacam lampu penerang jalan. Aristoteles yang gemar meneliti dan memikirkan ihwal dirinya tak salah lagi kurang sepakat dengan sanjungan membabi buta dari generasi berikutnya terhadap tulisan-tulisannya.
Beberapa ide Aristoteles kelihatan reaksioner diukur dengan kacamata
sekarang. Misalnya, dia mendukung perbudakan karena dianggapnya sejalan dengan garis hukum alam. Dia percaya kerendahan martabat wanita ketimbang laki-laki. Kedua ide ini-tentu saja-mencerminkan pandangan yang berlaku pada zaman itu. Tetapi, tak kurang pula
banyaknya buah pikiran Aristoteles yang mencengangkan modernnya, misalnya kalimatnya, “Kemiskinan adalah bapaknya revolusi dan kejahatan,” dan kalimat “Barangsiapa yang sudah merenungi dalam-dalam seni memerintah manusia pasti yakin bahwa nasib sesuatu emperium
tergantung pada pendidikan anak-anak mudanya.” (Tentu saja, waktu itu belum ada sekolah seperti yang kita kenal sekarang).

Demokrasi Athena VS Militer Sparta
Sebelum Athena mengenal demokrasi, bentuk negara kota Athena ialah monarki kemudian oligarki, maka Athena mengenal beberapa orang, satu orang yang berkuasa, secara bersama-sama yang menjalankan pemerintahan dinamakan tiran.  Baru pada abad 594 SM Solon negarawan yang sangat bijaksana itu meletakkan nilai- nilai demokrasi, para petani dibebaskan utang-utang mereka, sedangkan orang-orang Yunani yang telah menjadi budak dikembalikan bebas dari perbudakan (mardeka), sejak itu orang Athena sangat melarang menjadikan budak yang berasal dari bangsa mereka.
Sementara Sparta tidak mengenal demokrasi seperti Athena yang sudah mengajarkan nilai-nilai demokrasi. Sparta lebih dominan kepada sistem Monarki (yang memerintah satu orang) tapi Sparta menang dalam militer yang kuat. Athena ternyata akhirnya hancur juga, kunci kemenangan Sparta terhadap Athena , diantaranya terkait dengan sistem kenegaraan yang dimilikinya. Sparta adalah sebuah Negara Aristokrat meliter yang kuat, di Negera tersebut seperti yang tertulis dalam konstitusi Sparta , tanpa pengecualian adalah tentara. Rakyat Sparta laki-laki dan wanita, anak-anak diwajibkan oleh Negara latihan olahraga keras dan pendidikan kemiliteran. Menurut penulis inilah yang menginspirasi negara hari ini untuk wajib militer seperti di Amerika Serikat misalnya. Plato merasa tidak percaya dengan begitu cepatnya hancurnya negara Athena yang di idealkan selama ini oleh Plato, Athena yang menjunjung nilai-nilai demokrasi.
Kewajiban latihan fisik itu mendidik rakyat Sparta menjadi manusia yang sangat disiplin, kehidupannya teratur, memiliki ketaatan tinggi pada pemimpin, dan selalu siap menghadapi peperangan. Sementara Negara Athena adalah negara demokrasi yang tidak memiliki program militerisasi yang ketat seperti Sparta, inilah yang membuat kelemahan dari Athena dalam mempersiapkan diri dalam peperangan. Mungkin ini salah satu faktor penyebab hancurnya Athena, bagaiamana dengan kondisi komtemporer hari ini, hancurnya negara Islam apakah juga disebabkan lemahnya negara Islam dalam militer atau bagaimana?

 Analisis Bacaan Dari Tinjauan Berbagai Aspek
Baik Plato maupun Aristoteles adalah anak-anak peradaban Yunani, mereka lahir dan dibesarkan di Yunani, yang dalam satu peradaban yang dikenal sebagai peradaban barat dewasa ini. Tanpa peradaban Yunani dan Romawi, Romawi, Kristiani dan Islam, munculnya peradaban barat hanya kebetulan saja “kebetulan belaka” peradaban barat tidak memiliki orisionalitas, karena peradaban barat hanya kelanjutan dan cikal bakal dari kelanjutan peradaban Yunani dan Romawi.
Penulis melihat bahwa Plato dan Aristoteles adalah pemikir pada masa Yunani, yang dibesarkan pada peradaban Yunani. Aristoteles dikenal sebagai pemikir emperis-realis berbeda dengan Plato yang berfikir utopis dan idealis. Bisa jadi pemikiran Aristoteles  adalah bentuk protes terhadap pemikiran dan gagasan  Plato.  Aristoteles adalah murid dari Plato, sementara Plato sangat dipengaruhi pemikirannya oleh Socrates, baik gagasan, ide dan nilai- nilai yang disampaikan oleh Socrates, semuanya ditulis oleh Plato dalam bentuk buku, terutama karyanya yang fenomenal sampai sekarang. Penulis melihat pemikiran Plato relatif tidak memiliki nilai-nilai orisinalitasnya dipertannyakan, sebab Plato hanya melanjutkan pemikiran-pemikiran yang disampaikan oleh Socrates, bisa jadi penulis berani mengatakan pemikiran Plato tidak ada tapi yang ada hanya pemikiran Socrates, tapi itu relatif menurut penulis, karena Plato juga telah mengembangkan ide dan nilai-nilai yang diajarkan oleh Socrates, sebab Socrates tidak pernah menulis  pemikirannya dalam  bentuk buku, disinilah barangkali kelemahan Socrates.
 Kembali kepada Plato dan Aristoteles, inilah menurut penulis subtansi pemikiran mereka yang mendasar antara dua tokoh yang berpengaruh dan menguncang dunia, hampir semua orang di abad dua satu ini mengenal tokoh Plato dan Aristoteles, suka atau tidak suka mau atau tidak mau yang jelas pemikirannya telah mempengaruhi peradaban manusia itu sendiri.
 Pandangan kedua tokoh ini tentang negara berbeda sekali, Negara ideal menurut Plato adalah city state, negara yang tidak terlalu luas dan tidak terlalu kecil, negara luas akan sulit untuk menjaganya, sementara negara yang terlalu kecil akan sulit untuk dipertahankan karena mudah dikuasai. Menurut Aristoteles, negara adalah lembaga politik yang paling berdaulat, bukan berarti lembaga ini tidak memiliki batasan kekuasaan. Tujuan terbentuknya negara adalah untuk kesejahteraan seluruh penduduk atau rakyat bukan kesejahteraan individu. Negara yang baik menurut Plato adalah negara yang dapat mencapai tujuan-tujuan negara. Sementara negara yang tidak dapat melaksanakan tujuan-tujuan tersebut maka adalah negara gagal.
Sementara Negara idealnya menurut Aristoteles monarki, karena ia diperintah oleh seoarang filusuf, arif dan bijaksana. Kekuasaan untuk kesejahteraan rakyat. Tapi Aristoteles menyadari sistem monarki nyaris tak mungkin ada dalam realitas, ia hanya gagasan yang lahir bersifat normatif  yang sangat sukar diwujudkan dalam dunia emperis. Oleh karena itu demokrasi menurut Aristoteles dari tiga bentuk negara itu yang bisa diwujudkan dalam kenyataan. Berbeda dengan Plato tidak bersifat realistik ketimbang Aristoteles .
Berbeda dengan Plato mengenai hak milik, Aristoteles membenarkan adanya hak milik individu, hak milik penting untuk memberikan tanggung jawab bagi seseorang untuk mempertahankan kelangsungan kehidupan sosial.   Sementara mengenai hak milik menurut Plato tidak dibenarkan bahkan dalam hubungan seks istri juga milik bersama, lembaga perkawinan menurut Plato membuat kelas perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Poligami yang lebih disukai oleh Plato dibandingkan dengan monogami.  Kepemilikan pribadi menimbulkan hubungan yang tidak sehat, terjadi kompetisi sehinga semua orang berlomba-lomba mengumpulkan harta kekayaan. Penulis melihat nilai- nilai yang disampaikan oleh Plato bertentangan dengan realitas sekarang, kerena matinya sosialisme Marx, yang berkembang sekarang ada kapitalisme, terjadinya kompetisi yang membuat negara maju, tapi penulis juga yakin dengan sebagian pemikiran Plato, ketika kapitalisme hari ini telah membuat kesenjangan yang begitu besar antara sekaya dengan simiskin ini baru menjadi masalah, namun itulah realitasnya.
Aristototeles dia mendukung perbudakan karena dianggapnya sejalan dengan garis hukum alam. Dia percaya kerendahan martabat wanita ketimbang laki-laki, sangat berbeda dengan Plato anti perbudakan, karena Athena yang telah mengajarkannya, ketika Athena kemudian mengakui hak-individu bahkan budak akhirnya dibayar gajinya, dan tidak dibenarkan perbudakan di Athena.
 




Tuesday, December 21, 2010

Mengingat Kembali Sejarah Hari Ibu

Posted by Dovi Eka Wiranata |



Mandala Bakti Wanitatama
Mandala Bakti Wanitatama


Hari Ibu mengingatkan saya pada sebuah bangunan yang berkaitan erat dengan peringatan Hari Ibu ini, namun sering kita lupakan.
Mungkin tidak banyak yang tau kalau ternyata Jogja punya peranan yang amat penting atas tercetusnya tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu.

Nah, di Jogja ada sebuah bangunan yang menjadi monumen untuk mengingat peristiwa sejarah lahirnya Hari Ibu.

Bangunan ini mungkin banyak yang tidak menyangka, karena seringnya bangunan ini digunakan untuk acara resepsi pernikahan dan pameran, kalo punya kisah sejarah tersendiri.

Bangunan ini adalah gedung Mandala Bhakti Wanitatama!

Tau tidak kenapa tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu?
Ternyata Hari Ibu ini ada sejarahnya. Pada tahun 1928, bertepatan dengan tahun diadakannya Kongres Pemuda, organisasi-organisasi wanita saat itu tidak mau kalah. Mereka bikin kongres juga di Yogyakarta.
Pada tanggal 22-25 Desember 1928 kongres wanita pertama diadakan, yang kini dikenal dengan nama Kongres Wanita Indonesia (KOWANI).
Saat itu ada 30 organisasi wanita dari 12 kota di Jawa dan Sumatra yang ikut serta. Mereka saat itu berkumpul untuk mempersatukan organisasi-organisasi wanita ke dalam satu wadah demi mencapai kesatuan gerak perjuangan untuk kemajuan wanita bersama dengan pria dalam mewujudkan Indonesia merdeka.

Hayah. :))
Penetapan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu ditetapkan pada Kongres Wanita ke-3 yang diadakan di Bandung pada tanggal 22 Desember 1938.
Penetapan tanggal ini bertujuan untuk menjaga semangat kebangkitan wanita Indonesia secara terorganisasi dan bergerak sejajar dengan kaum pria.
Mengingat pentingnya makna Hari Ibu tersebut, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit No. 316 Tahun 1959 pada tanggal 16 Desember 1959 yang menetapkan Hari Ibu sebagai Hari Nasional namun sayangnya bukan hari libur.;))

Pada kongres yang diadakan di Bandung pada tahun 1952, Ibu Sri Mangunsarkoro mengusulkan untuk dibangun sebuah monumen untuk memperingati kongres pertama tersebut.
Pada tanggal 20 Mei 1956 dibangunlah Balai Srikandi yang peletakan batu pertamanya dilakukan oleh menteri wanita pertama di Indonesia, Maria Ulfah.
Kemudian seluruh kompleks bangunan pun dibangun dan akhirnya diresmikan oleh Presiden Suharto menjadi kompleks gedung Mandala Bhakti Wanitatama pada tanggal 22 Desember 1983.
Ada beberapa bangunan pada kompleks ini. Museum terletak pada salah satu bagian dari Balai Srikandi. Kemudian di sekelilingnya terdapat bangunan yang sering digunakan untuk acara resepsi dan pameran, yaitu Balai Shinta, Kunthi, dan Utari. Ada pula kompleks wisma penginapan Wisma Sembodro dan Wisma Arimbi serta perpustakaan.
Museum yang terletak di Balai Srikandi menyimpan berbagai koleksi benda-benda yang digunakan saat kongres waktu itu serta diorama.

Nah, setelah tau sejarahnya, maka persepsi kita soal Hari Ibu selama ini mungkin berubah.

Tuesday, November 30, 2010

Keutamaan Diam

Posted by Dovi Eka Wiranata |



Saya menyingkat kalimat “Dahulukan Islam di Atas Mazhab” menjadi DIAM. Ttulisan ini tidak membicarakan keutamaan DIAM, tapi keutamaan diam dalam arti harfiah. Ada sebuah ungkapan terkenal yang mengatakan:
إذ كان الكلام من فضة فالسكوت من ذهب
“Jika berbicara itu perak, maka diam adalah emas.”
Meski diam memiliki keutamaan, bukan berarti semua diam juga memiliki keutamaan. Ada tiga jenis diam yang dijelaskan oleh Khalil Al-Musawi dalam bukunya Kaifa Tatasharruf bi Hikmah, yakni:
  • Diam karena berpikir dan hikmah
  • Diam dari amar makruf nahi mungkar
  • Diam yang merupakan penyakit
Dari ketiga jenis diam di atas, hanya diam jenis pertama yang memiliki keutamaan. Diamnya orang yang berpikir adalah mengendalikan akalnya agar memperoleh hikmah serta menjaga lisannya untuk mengucapkan hikmah. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Diam merupakan di antara pintu-pintu hikmah.”
Contoh nyata diam yang memiliki hikmah adalah diamnya Allamah Thabathabai, penulis Tafsîr Al-Mîzân. Banyak orang bercerita, salah satunya murid beliau yang bernama Syekh Taqi Misbah, bahwa sedikit orang yang mengetahui kedalaman ilmu Allamah, karena di majelis ia banyak diam. Jika tidak ditanya, ia tidak akan berbicara. Tetapi ketika ia berbicara, barulah seluruh perhatian orang-orang tercurah kepadanya.
Mungkin inilah maksud dari ucapan Rasulullah saw., “Jika engkau melihat seorang mukmin diam, maka dekatilah. Karena dia akan menyampaikan hikmah.” (Mîzân Al-Hikmah, jil. 5, hlm. 436). Sayidina Ali bin Abi Thalib as. mengatakan, “Sesungguhnya sedikit bicara adalah kebaikan bagi dirinya, dan banyak bicara adalah dibenci. Tidak akan tergelincir orang yang diam, dan tidak ada yang diperoleh dari orang yang banyak bicara kecuali ketergelinciran.”
Sedangkan diam yang kedua, yaitu diam dari amar makruf nahi mungkar, jelas sangat berbahaya. Ketika kejahatan dan kezaliman semakin meluas, seorang ulama memiliki peran penting, karena (seharusnya) ucapan ulama diikuti oleh orang banyak. Ketika pemimpin pemerintahan bertindak zalim, ulama harus melawan minimal dengan ucapannya. Rasulullah bersabda, “Jihad yang paling utama adalah berkata benar di hadapan penguasa zalim.”
Diam yang ketiga, yakni karena penyakit atau malu, bisa disebabkan tiga faktor; keturunan, pendidikan, atau lingkungan. Namun ini semua masih bisa diubah jika seseorang menginginkannya. Beberapa teman mengatakan saya pendiam. Namun semoga diamnya kita semua merupakan bagian memikirkan kekuasaan Allah. Wallahualam.

Monday, November 29, 2010

Mengapa Kita Cenderung “Menghakimi”?

Posted by Dovi Eka Wiranata |


Kecenderungan manusia untuk “menghakimi” (yaitu, melabeli, mengkritik, menghukum, dan sebagainya) memainkan peran penting dalam mendorong pemisahan diantara kita. Untuk alasan apa pun, pikiran kita agaknya memiliki apa yang tampaknya menjadi kecenderungan alami untuk memberikan penilaian pada orang, tempat, situasi, dll
Meskipun tidak ada seorang pun yang ingin dianggap menghakimi, sepertinya deskripsi ini membawa konotasi yang sangat negatif, faktanya adalah bahwa semua orang pernah menghakimi. Pada dasarnya adalah mustahil untuk sepenuhnya menghindari melakukan penilaian, karena kenyataannya hampir setiap pikiran kita memiliki beberapa penilaian yang terkait dengannya.
Sebagai contoh, untuk menilai makanan sebagai lezat adalah penilaian, seperti komentar yang  menyebutkan orang tertentu sebagai menarik. Namun, sangat penting di sini untuk membuat perbedaan antara istilah penilaian dan observasi. Penilaian melibatkan pendapat Anda bersama dengan emosi Anda, sedangkan observasi hanya melibatkan komentar pada apa yang Anda perhatikan. Dalam setiap peristiwa, langkah pertama dalam mengenali kecenderungan Anda untuk menilai adalah dengan mengakui kepada diri sendiri bahwa Anda sedang melakukan penilaian. Hal ini tidak berarti dengan cara apapun bahwa Anda adalah orang yang menghakimi, melainkan hanya berarti bahwa Anda mengakui kecenderungan perilaku ini bukan menyangkal. Hanya ketika Anda sadar untuk menerima bahwa Anda melakukan penghakiman secara teratur, Anda dapat mulai untuk menjadi lebih sadar ketika Anda melakukannya.
Hal ini juga sangat penting untuk memahami tentang apa arti menilai orang lain. Secara khusus, alasan kita menilai orang lain adalah bahwa kita melihat mereka, bukan sebagai mereka, tetapi seperti kita. Dengan kata lain, kita memfilter mereka melalui sistem keyakinan kita. Oleh karena itu, penilaian kita tidak benar-benar mengatakan apa-apa tentang orang lain; mereka hanya menggambarkan apa persepsi kita. Setiap kali seseorang berbuat tidak ‘sesuai’ dengan standar pribadi kita, kita secara otomatis memberi semacam penilaian pada mereka.

Melakukan refleksi kembali saat itu dalam hidup kita, menerima kenyataannya bahwa, jauh di dalam hati, kita tahu bahwa menilai orang lain itu salah, tapi kita tak punya kesadaran untuk mengatasinya. Sampai kita mengerti bahwa menilai orang lain hanya mendefinisikan preferensi kita, dan bahwa orang-orang akan tetap menjadi apa pun menurut preferensi mereka, setelah itu hidup kita tidak pernah benar-benar sama lagi. Tentu saja, kita masih tetap punya kecenderungan untuk menilai, tetapi perbedaannya adalah bahwa sekarang kita setidaknya memiliki kesadaran ketika kita sedang menghakimi sesuatu, sedangkan di masa lalu, kita sama sekali tidak menyadari itu. Kesadaran ini tidak hanya dirasakan pada tingkat intelektual, tetapi sering secara fisik juga, karena kadang-kadang kita benar-benar merasakan sensasi dalam dada kita ketika ketika sedang menghakimi. Poin lain yang sangat penting untuk memahami tentang penilaian dijelaskan dalam bagian yang sangat menarik dari sebuah buku berjudul, “You Are The Answer”, oleh Michael J. Tamura:
Kita bisa menipu diri sendiri ke dalam kepercayaan bahwa kita pada dasarnya berbeda dari orang yang kita hakimi, namun, sebenarnya, kita tidak pernah dapat mengenali pada orang lain apa yang tidak kita miliki dalam diri kita sendiri.
Silakan baca kutipan di atas sekali lagi dan mengambil beberapa saat untuk merenungkan hal itu; ini dapat menjadi konsep yang sangat sulit untuk dipahami. Yang pada dasarnya berarti bahwa apa pun tentang orang lain yang sangat mengganggu Anda sebenarnya mencerminkan kembali kepada diri Anda suatu aspek dari diri Anda yang sangkal, tekan, atau belum belajar untuk mencintai. Ini  adalah kutipan dari buku Debbie Ford “The Dark Side of the Light Chaser” yang dibangun berdasarkan titik yang sangat penting ini:
Kemarahan kita atas perilaku orang lain biasanya mengenai aspek yang belum terselesaikan dari diri kita sendiri. Jika kita mendengarkan segala sesuatu yang keluar dari mulut kita ketika kita berbicara dengan orang lain, menghakimi orang lain, atau memberi nasihat, kita harus berbalik dan seolah olah memberikannya pada diri kita sendiri.
Ini adalah konsep yang jelas yang menantang bagi kita untuk menerima, terutama karena pada tingkat sadar, kita hampir tidak menyadari bahwa aspek-aspek tersebut bahkan ada. Namun, jika Anda berpikiran cukup terbuka, dapat memberi Anda sudut pandang lain untuk pemahaman yang lebih baik dari diri Anda. Misalnya, bila Anda menemukan diri Anda menghakimi, Anda dapat menggunakannya sebagai kesempatan untuk melihat ke dalam diri dan bertanya pada diri sendiri, “Apa yang orang ini tunjukkan tentang diriku?” Jawabannya mungkin tidak datang dengan segera, tetapi jika Anda tulus dalam niat Anda untuk menemukan itu, pada akhirnya Anda akan menemukan.

Jika Anda benar-benar jujur dengan diri sendiri dalam proses ini, sangat mungkin bahwa Anda akan juga cenderung melakukan hal yang sama.
Hal terakhir yang harus Anda perhatikan terhadap penilaian adalah jika Anda terlibat di dalamnya, akan dapat mengganggu hubungan Anda dengan Divinity itu sendiri. Deepak Chopra menegaskan hal ini dalam kutipan berikut dari bukunya “The Seven Spiritual Laws of Success”:

“Bila Anda terus-menerus mengevaluasi, mengklasifikasi, melabeli, menganalisis, Anda menciptakan banyak turbulensi dalam dialog batin Anda. Ini mengakibatkan kekacauan aliran energi antara Anda dan bidang potensi murni diri Anda. Dan Anda benar-benar menciptakan “celah”antara pikiran. Celah ini adalah hubungan Anda dengan bidang potensi murni. Ini adalah keadaan kesadaran murni,  ruang yang diam diantara pikiran, keheningan batin yang menghubungkan diri Anda dengan kekuatan sejati. “
Bidang “murni potensi”ini, juga dikenal sebagai ‘Kekuasaan Tuhan’, adalah sumber segala kreativitas Anda. Dengan demikian, berpartisipasi dalam penilaian tidak hanya mendorong pemisahan antara Anda dan sesama jiwa yang lain, tetapi juga membatasi kekuatan pribadi  dan keseluruhan potensi kreatif Anda juga. Oleh karena itu, adalah kepentingan terbaik Anda untuk mengurangi jumlah penilaian yang Anda lakukan setiap hari. Hal ini, tentu saja, membutuhkan banyak latihan, tetapi sekali Anda datang ke kesadaran bahwa menghakimi tidak membawa kebaikan dengan cara apapun, menjadi hampir mustahil bagi Anda untuk menghakimi dan menjadi canggung untuk melakukannya. Ketika Anda membuat kemajuan dalam upaya Anda untuk keluar dari penghakiman, Anda tidak hanya akan mengalami pikiran yang lebih tenang, tetapi juga akan memiliki perasaan ‘keterkaitan’ yang lebih besar dengan semua manusia, dan dengan segenap unsur-unsur ciptaan lain juga....
Allahu 'alam......

Our Partners

Website Hit Counter
Free Hit Counter A4GUY826KBGS